Tiba saatnya dimana Aisyah dan Feng akan berangkat ke Bangkok. Gwen masih bersikap seperti biasa, dengan rencana yang sudah ia siapkan agar bisa menyusul saudarinya ke sana.
Mereka sarapan tanpa Rebecca dan Yusuf, sebab keduanya sedang ada acara sejak semalam belum pulang. Namun, Rebecca dan Yusuf sudah memberikan izin kepada putrinya bertugas.
"Kalian berangkat jam berapa?" tanya Gwen.
"Mau tau aja urusan orang!" jawaban Aisyah membuat Gwen kesal tentunya. Gwen merasa memang Aisyah sudah tidak menyayanginya lagi, saat Feng ada bersamanya.
"Dih, nanya baik-baik juga. Kenapa jawabnya gitu? Kalau masih sakit hati sama ustadz Khalid, ya jang--" ucapan Gwen terputus ketika Aisyah menatapnya dengan tatapan tajam.
"Um, aku berangkat ke kampus dulu. Assalamu'alaikum!" lanjut Gwen dengan menggigit rotinya dan terburu-buru.
"Jilbab, dimana jilbabmu Gwen!" tegur Aisyah.
"Gerah, Kak. Ada kok dalam tasku." jawab Gwen dengan berteriak.
"Anak ini--"
Feng hanya tersenyum, ia membuatkan susu hangat untuk Aisyah. Lalu, meminta segera meminumnya karena waktunya sudah tiba. Feng memang bagaikan kakak idaman bagi Aisyah dan juga Gwen. Apapun keadaannya, Feng selalu menjadi yang pertama ada untuk mereka.
"Aku tau, adikku ada dua. Aku mohon, jaga mereka. Gantikan posisiku saat ini, suatu saat nanti, aku akan kembali dan menjaga mereka. Berjanjilah kepadaku Feng, atau kau akan mati ditanganku."
Itu hal yang pernah dikatakan oleh Chen sebelum Chen berangkat ke Amerika 13 tahun lalu, usai menyaksikan kedua orang tuanya menikah kembali.
"Bagaikan kabarnya sekarang? Mengapa dia tidak menemuiku, apakah dia masih ada di Amerika, atau dia sudah kembali? Mengapa Chen sangat lama berada di sana?" gumam Feng dalam hati.
"Aku ingin sekali bertemu dengan Kakakku, Ko. Apakah aku bisa? Semalam, aku bermimpi diberi misi oleh Nenekku, untuk membawa Kakakku pulang," ungkap Aisyah.
"Kau percaya dengan mimpi seperti itu?" tanya Feng.
Aisyah menunduk, rasanya tak ingin percaya dengan mimpi itu. Namun, mimpi itu bagaikan nyata didepan matanya. Bukan hanya sekali, sering kali Aisyah bermimpi diberi misi oleh Aisyah (almh) untuk menyatukan keluarga mereka menjadi utuh dengan tiga anak kembar.
Begitu pula dengan mimpi yang dialami Gwen. Gwen juga bermimpi diberi petuah oleh alm Rifky, kakeknya, untuk membawa Chen kembali ke rumah.
"Anjay, kenapa Kakek terus masuk dalam mimpiku? Kenapa tidak masuk ke mimpi Aisyah saja, kan jadi merinding disco!" gerutunya.
"Tapi dimana ane bisa membawa Kak Chen kembali? Terakhir, menurut informasi … bukannya dia di Amerika, ya? Ya kali ane ke sana?"
"Terus, wajahnya juga sekarang seperti apa? Kan kagak ngerti ane. Kenapa dengan Kakek ini, huft!"
Gwen masih saja menggerutu sambil berjalan ke kampus. Dengan langkah yang lambat, membuat Pak Raza gemas ingin segera menariknya masuk ke kelas.
Ehem!
Pak Raza mendeham."Apa, sih? Noh, jalan lebar. Kalau mau lewat ya lewat aja. Ane lagi pusing ini!" sentak Gwen masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Maaf, apa pagi ini kamu tidak mengorek telinga?" Pak Raza memberi kode, agar Gwen segera berlari ke kelas. Tapi, masih saja Gwen berjalan dengan santai.
"Apaan, sih? Kalau lu naksir ama ane, ane bakal--" ucapan Gwen terputus ketika ia menoleh ke belakang. "Hehe, Pak Raza. Pagi, Pak. Udah ganteng aja, deh!"
"Bakal apa? Jam berapa ini? Kenapa kamu masih di sini, Gwen Kalian Lim?" Pak Raza menatap dengan serius.
"Kok, Kalian, sih? Kalina, Pak. Kapan Bapak bikin jenang abangnya? Main ganti-ganti nama aje," memang Gwen tidak bisa dibilangin dengan lembut, alhasil ia menerima jejeran dari Pak Raza.
Gwen terus berteriak bahwa mereka bukan mahram dan tidak boleh saling bersentuhan. Meski memang hal itu benar, tetap saja Pak Raza menjewer telinga Gwen sampai dibawa masuk ke kelas.
Tingkah Gwen memang suka mengada-ngada. Seluruh temannya sampai menatapnya dengan tawa yang menggelegar. Dilain ekspresi, Anita terlihat tidak menyukai hal itu. Ia merasa cemburu, Anita tidak suka jika Gwen selalu dekat dengan Pak Raza, pujaan hatinya yang baru.
"Kamu, duduk di depan sini. Tolong yang disebelah tempat duduk Gwen … Bawa ke depan kursinya," punya Pak Raza.
"Pak, kalau suka denganku, tidak begini caranya. Kita bisa obrolin hal ini secara baik-baik, Pak." celetuk Gwen.
Pak Raza hanya diam dan meminta Gwen segera duduk, kemudian Pak Raza memulai kelasnya. Anita terus saja merasa jika dirinya dikalahkan oleh Gwen, padahal Gwen tidak melakukan apapun yang dapat merugikannya.
"Sialan, si cicit ustadz kw itu rupanya main halus. Gayanya sok menolak, tapi dalam bicaranya sangat menginginkan bersama dengan Pak Raza," gumamnya dalam hati.
"Ini tidak boleh terjadi, aku harus memikirkan sesuatu!" Anita memiliki niatan untuk membuat Gwen menjauh dari Pak Raza.
Kelas telah usai, waktunya Gwen untuk segera pergi menyusul saudarinya ke Bangkok. Ia sudah sangat senang ketika kelas sudah mulai kosong, segera merapikan tasnya dan hendak kabur dari kelas tambahan yang akan dibimbing Pak Raza siang itu.
"Eits, mau kemana?" tanya Pak Raza menahan kerah jaket jeans Gwen menggunakan jarinya.
Gwen menoleh, kemudian menyeritkan alisnya. Bertanya dengan ketuanya, "Ada apa lagi?"
"Kamu lupa? Kemarin, kakak kamu memberi saya izin untuk memberikan kamu kelas tambahan. Kamu mau lulus tahun ini, bukan?"
Gwen berpikir keras dengan pernyataan Pak Raza tersebut. Ia bertanya-tanya, darimana Pak Raza bisa menerima izin dari Aisyah untuk memberinya bimbingan pribadi.
"Kamu ingat, di jadwal kelas saya kosong? Saya tidak hadir ke kampus karena menghadiri pernikahan teman saya. Dan teman saya itu, rupanya guru masa kecilnya kakak kamu," ungkap Pak Raza.
"Lha, terus?" Gwen masih pura-pura tidak tahu meski ia sudah tahu, mereka bakal bertemu di acara pernikahan itu.
"Seharusnya kamu sudah mengerti apa yang saya maksud. Ayo, ikut saya!" Pak Raza tidak melepaskan Gwen begitu saja.
Di pernikahan ustadz Khalid dan istrinya, memang Feng dan Aisyah bertemu dengan Pak Raza. Mereka mengobrol banyak tentang suatu hal, dan tentunya tentang kenakalan Gwen.
Pak Raza berjanji dengan Aisyah untuk membimbing Gwen sampai dia lulus dengan hasil yang bagus.
"Haduh, kalau begini ceritanya, aku nggak bisa nyusul merek, dungs? Gimana caranya aku bisa lepas dari kelas tambahan ini, ya?" gumamnya dalam hati.
"Jangan ngadi-ngadi, saya tidak akan melepaskanmu begitu saja. Ini sudah tanggung jawab saya karena janji dengan kakakmu!" tegas Pak Raza, seolah ia paham apa yang katakan Gwen dalam hati.
Gwen memiliki ide dalam sekejap, ia pun bertanya kepada Pak Raza, "Pak, Bapak pernah kamu luar negri, nggak?"
"Kenapa?"
"Ya tanya aja," ujar Gwen dengan harapan tinggi.
"Pernah," jawab Pak Raza singkat.
"Bisnis, atau sebagai pelancong?" tanya Gwen lagi.
"Apa sih maksudnya?" Pak Raza mulai kesal. "Ya jawab aja, biasa aja kali kagetnya!" malah Gwen kesal sendiri.
Gwen berpikir bisa memperalat Pak Raza, agar Pak Raza bisa mengantarnya ke Bangkok. Namun, apakah Pak Raza bersedia dengan ide gila Gwen ini?
"Kamu mau apa, sih?" tanya Pak Raza serius."Jawab aja. Kapan terakhir Pak Raza bepergian keluar negri, terus visa-nya masih aktif atau tidak, gitu!" Gwen masih mendesak agar Pak Raza mau menjawab semua pertanyaannya."Huft, Allahu Akbar. Iya, saya jawab nih, ya. Saya terakhir kali ke luar negri lima hati yang lalu, dengan bisa pelancong. Terus, kamu mau apa?" jelas Pak Raza sedikit kesal."Cocok, hari ini kita otw ke Bangkok. Janji aku bakal belajar dengan gajian. Tapi, hari ini, memang kita harus segera berangkat!" seru Gwen dengan mata yang berbinar-binar.Pak Raza terkejut dengan pernyataan itu. Ia berusaha menolak dan menanyakan mengapa Gwen mengajaknya ke luar negri secara mendadak. Tanpa mendengarkan penolakan dan penjelasan dose
Kedatangan Chen bersamaan dengan kedatangan Aisyah dan Feng di Bandara Internasional Suvarnabhumi. Mereka telah tiba di waktu yang sama di ibukota Negara Seribu Pagoda itu. Mereka juga sempat jalan depan belakang keluar dari bandar. Lalu, berpisah kembali karena Aisyah dan Feng sudah dijemput dari dinas kesehatan di sana.Chen merasakan kehadiran saudarinya, jantungnya berdebar kencang, dan air matanya mulai menetes tanpa membendung. "Ada apa denganku? Kenapa jantungku berdebar dengan cepat seperti ini?" gumamnya dalam hati seraya menyentuh dadanya.Tanpa Chen sadari, bahwa adiknya baru saja berdiri dibelakangnya. Ia pun menoleh, namun Aisyah sudah tidak ada lagi di sana. Air matanya juga tiba-tiba menetes tanpa sebab, hatinya juga merasakan kegelisahan yang tidak tahu apa penyebabnya juga."Tuan, mobilnya sudah datang. Mari, kita akan segera bertemu dengan Tuan Wil." ucap Asi
Chen dan Gwen saling menatap, wajah manis Gwen mengingatkan akan seseorang dalam ingatan Chen, setelah beberapa saat, Chen pun menutup kaca mobilnya kembali."Sepertinya … aku pernah melihat gadis itu. Tapi, dimana aku pernah melihatnya?" gumam Chen kembali menatap Gwen.Tak sengaja, ia melihat dirinya dari cermin di kaca depan mobilnya. Kemiripan pada dirinya menyiratkan tanda tanya. Sekilas, mereka sangat mirip, bedanya hanya pada mata mereka.Jika saja Gwen juga memiliki mata berwarna biru, mereke berdua hanya akan dibedakan oleh gender. Keduanya sangat mirip dengan ibunya, Rebecca."Jika dilihat, gadis itu mirip denganku. Hm, aku pernah dengar jika di dunia ini, semua orang memiliki 7 rupa yang hampir mirip meski orangnya berbeda," gumam Chen."Sialan, kupikir dia akan mendatangiku. Ganteng sih, tapi sombong. Eh, mobilnya keren juga,
Masing-masing regu di dampingi oleh perawat maupun dokter dari pribumi agar bisa berkomunikasi meski akan ada perbedaan dalam berbahasa sedikit.Mereka berempat di sambut dengan ramah oleh kepala desa dan seluruh warga. Keadaan desa itu sangat menyeramkan bagi Syamsir yang penakut.Meski menggunakan obor dan listrik hanya ada di gedung besar dan balai desa, tetap saja baginya sangat menakutkan.Jamuan makan malam juga berlangsung khidmat. Mereka mulai bercengkrama dengan baik. Makanan yang disiapkan juga sesuai dengan selera Aisyah, Feng dan juga Syamsir sebagai seorang muslim. Hanya sayuran dan tanpa adanya daging di sana."Jika boleh tau, dokter ini dari mana? Satu negara, atau beda negara?" tanya Mee Noi, anak kepala desa yang baru saja pulang dari Ibu Kota.
Waktunya salat subuh tiba, alarm yang dipasang Feng berbunyi. Ia segera bangun dan ingin mengajak Aisyah untuk salat bersama-sama. Tentunya dengan Syamsir juga."Lah, kamu sudah bangun, Syah?"Feng melihat Aisyah tengah duduk dengan menyelimuti seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Feng jadi ingat, saat mereka kecil, mereka pernah mengunjungi tempat yang angker. Aisyah melihat sesuatu dan pulangnya, ia menjadi demam tinggi.Namun sebelum demam itu menyerang, Aisyah akan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut terlebih dahulu."Syah, kamu kenapa?" tanya Feng lagi. "Apa kamu melihat penampakan?"Aisyah mengangguk pelan. Meski ketakutan, Aisyah tetap tidak menunjukkan bahwa dirinya tengah takut, ia hanya menutupi seluruh tubuhnya dan
"Saya ke toilet dulu, kamu jangan kemana-mana!" Pak Raza meninggalkan Gwen di luar toilet."Hati-hati, jangan salah pilih toilet, Guru pembimbing!" teriak Gwen dengan tawa mengejek.Ketika Gwen membalikkan badannya, tak sengaja ia bertabrakan dengan seorang lelaki berpostur tinggi. Tasnya terjatuh, dan lelaki itu malah menyalahkannya."Aw," jerit Gwen."Aduh, tas kamu ini isinya apa? Bisakah kau berjalan dengan melihat jalan? Dimana matamu? Kau mengotori bajuku!" bentak lelaki itu."Woy!" teriak Gwen. Tatapan matanya sangat tajam dengan tangan mengepal mengarah wajah lelaki itu.Namun, hal tak terduga terjadi. Lelaki itu adalah Chen, Chen Yuan Wang, kakak kandungnya yang selama ini i
Pertemuan antara Chen dengan Tuan Wil malam itu juga terlaksana. Rupanya, si Tuan Wil ini adalah Willy. Kaki tangan sekaligus ayah angkat dari saudaranya, Gwen."Tuan muda Wang, apakah anda tidak ingin melihat adik-adik anda yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik sekarang ini?" tanya Willy memberikan potret Aisyah dan juga Gwen."Hey, Paman. Aku keponakanmu, mengapa kau memanggilku dengan sebutan itu?" sahut Chen meneguk arak di tangannya."Tuan muda Wang, mau bagaimana juga … kau adalah pewaris pertama Tuan Wang. Aku tidak mau jika memanggilmu hanya dengan sebutan nama saja. Itu akan menjadi sebuah penghinaan begituan Tuan Wang sendiri," jawab Willy."I don't want to see the portraits of my two sisters now, Tuan Wil," tolak Chen menutup foto mereka.
Sesampainya di rumah Willy, mereka disambut oleh Willy dan istrinya yang tengah hamil besar. Meski Gwen hanya anak angkatnya, tetap saja Willy dan istrinya menyayanginya seperti anak sendiri. Mereka juga sering bertemu ketika Gwen libur sekolah dan kuliah dahulu.Hanya Willy yang selalu memanjakan Gwen dengan sepenuh hati. Maka dari itu, kedisiplinan yang di ajarkan oleh Aisyah dan keluarga pesantren lainnya selalu luntur dengan kemanjaan yang diberikan oleh Willy."Nona muda, apakah itu dirimu. Kemari dan aku akan membuatmu gemuk di sini," sambut Willy."Ayah angkat, aku sangat merindukanmu. Lihatlah siapa yang aku bawa ini! seru Gwen manarik lengan Pak Raza.Willy mengucapkan salam kepada Pak Raza sebagai penyambutan. Pak