"Saya mau ini, saya mau ini, ini, ini dan ini, oh tambah satu lagi, yang sana." Frida menunjuk baju-baju cantik yang ada di mall bintang lima yang ia datangi bersama Berlian. Berlian seperti asisten yang membawa banyak belanjaan di tangan kanan dan kirinya. Namun Frida masih belum puas, perempuan itu masih memilih-milih baju yang ia sukai.
Berlian merasa seluruh tubuhnya sangat gatal, ia juga cemas dengan dirinya sendiri, kepalanya sejak beberapa menit lalu sudah terasa pusing melihat deretan baju yang tertata tidak rapi. Juga tangan Berlian terasa kaku harus memegang benda-benda yang bahkan ia sendiri tidak pernah memegang sebanyak itu, selalu ada asisten yang membantunya. Beberapa kali Berlian menata ulang belanjaan Frida kala otaknya menyuruh menata ulang, kalau tidak begitu, otaknya selalu mengatakan akan ada yang celaka.
Berlian sudah gelisah, tapi Frida sama sekali tidak peduli. Frida masih memilih-milih belanjaan. Seratus juta sudah terbuang sia-sia
"Lihat itu, kamu hanya memberikan saya beberapa baju, tapi kamu berani membentakku," ucap Frida menatap sinis ke arah Berlian."Tidak begitu, Bu. Aku sedang ... aku .... aku ... ah iya, menarik perseneling." Berlian menarik persenelengnya. Gadis itu berusaha keras untuk mengendalikan dirinya yang sudah cemas akut. Berlian membawa obat penenangnya, tapi tidak mungkin mengkonsumsi di depan Frida. Yang ada, akan banyak pertanyaan yang mungkin tidak bisa dijawab oleh Berlian."Kamu bisa mengendarai atau tidak, sih?" tanya Frida yang sudah marah dengan Berlian. Berlian mengangguk-anggukkan kepalanya, gadis itu mulai menjalankan mobilnya dengan perlahan.Sepanjang perjalanan, Frida tidak berhenti mengoceh, membicarakan sikap Berlian yang tidak masuk akal, angkuh dan semena-mena. Segala keburukan Berlian diucapkan Oleh Frida. Saat-saat gangguan kecemasan muncul, yang Berlian inginkan hanya ketenangan agar ia bisa mengendalikan dirinya. Namun yang ada,
Bara membawa Berlian untuk pulang ke rumah gadis itu. Untungnya Berlian masih sedikit sadar untuk memberikan kode akses untuk pintu. Berlian sudah lemas di pelukan Bara, saat sudah masuk, Bara membopong tubuh Berlian ke sofa. Pria itu menidurkan Berlian di sana dengan menumpuk bantal sofa untuk alas kepala gadis itu.Bara bergegas mengambilkan air untuk Berlian. Napas Berlian masih memburu, gadis itu memejamkan matanya, kepalanya berdenyut sangat sakit. Setelah mendapatkan air, Bara mendekati Berlian lagi."Berlian, minum dulu," ucap Bara membantu Berlian bangun. Tangan Berlian ingin meraih gelas itu, tapi tangannya bergetar hebat.Bara yang melihat hal itu, mendekatkan gelas yang ia pegang pada bibir Berlian. Berlian melirik Bara sekilas, tidak ada alasan lagi untuknya mempertahankan sikap gengsi, lagi pula Bara yang paling tahu keadaannya. Berlian meminum airnya sedikit demi sedikit."Obatku," cicit Berlian berusaha mencari tasny
"Apa kamu benar-benar gila, Berlian? Kamu mengantar orang asing belanja dan kamu yang membawakan belanjaannya. Kamu pikir sikap kamu itu terpuji? Enggak sama sekali." Suara teriakan nyaring terdengar tatkala Berlian membuka pintu rumahnya. Ibunya masuk dengan mendorong Berlian kencang, tubuh Berlian sedikit limbung."Apa kamu lupa siapa kamu, Berlian? Reputasimu yang bagus akan hancur dengan beberapa foto dan video yang tersebar di luaran sana," teriak Risa lagi."Bu, itu keinginanku," jawab Berlian."Keinginan menjatuhkan nama baik keluarga Evans maksud kamu?""Sejak kapan Evans punya keluarga, Bu?" teriak Berlian yang ikut tersulut emosi."Sejak aku kecil, ibu menyerahkan gugatan cerai di pengadilan karena ayah yang kurang kaya. Aku sudah tidak punya keluarga sejak kecil karena ibu."Plak!Tamparan kencang mendarat mulus di pipi Berlian. Berlian memalingkan wajahnya, pipiny
Berlian menatap Deon yang berjalan mendekatinya. Mata pria itu juga tampak berkaca-kaca menatapnya. Berlian mendudukkan dirinya di sofa dengan lemas."Berlian, apa maksudnya?" tanya Deon berdiri di depan Berlian."Aku gila," jawab Berlian."Apa maksudmu?""Aku yang salah, Deon. Aku salah sudah tidak memberitahumu tentang penyakitku. Sekarang kamu pun sudah tahu, aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Tapi aku melakukannya bukan karena ak-""Ternyata kamu tidak pernah mempercayaiku, Berlian," sela Deon dengan cepat."Bukan begitu, Deon. Aku percaya sama kamu.""Kalau kamu percaya sama aku, kenapa kamu menyembunyikan hal besar ini padaku, Berlian?""Aku tidak mau hubungan kita hancur.""Tapi kamu sendiri yang menghancurkan hubungan kita!" bentak Deon yang membuat Berlian tersentak."Tanpa kamu sadari kamu juga sudah membuat harga diriku terinjak-injak dengan semu
"Berlian, siapa dia? Kenapa dia ada di rumahmu?" tanya Deon menuntut penjelasan pada Berlian. Berlian tidak menjawab, gadis itu memalingkan wajahnya masih dengan menangis pilu."Aku dokter yang menanganinya. Aku tidak akan membiarkan pasienku diganggu sama orang seperti kamu."Deon menatap Bara dari atas sampai bawah, "Seorang dokter ke rumah pasiennya?" tanya Deon."Aku yang menyuruhnya ke sini. Deon, apa kamu tidak tahu arti kata pergi?" ujar Berlian yang akhirnya membuka suara."Deon, aku tidak mengenalmu secara pribadi. Tapi kamu seorang pria, pacar Berlian. Lantas apa yang kamu pikirkan hingga kamu berani menyakitinya. Aku dengar Berlian sudah menantikan kepastian dari kamu, tapi sampai detik ini kamu tidak memberinya. Juga, dia sudah melakukan banyak hal untuk ibu kamu, tapi apa yang dilakukan ibu kamu? Dia hampir membuat Berlian celaka saat di jalan," ucap Bara dengan tajam."Bukan Berlian yang tidak pantas bers
"Ibu puas sekarang?" teriak Deon pada ibunya."Puas," jawab Frida dengan angkuh. Satu kakinya diangkat ke atas meja dan menatap anaknya dengan lurus."Ibu puas dengan keputusan kamu. Dari kamu kecil sampai dewasa, ibu yang membiayai sekolah kamu, ibu yang selalu berharap kamu bahagia. Sekarang ibu bahagia kamu putus dengan Berlian," tambah perempuan paruh baya itu."Tapi aku tidak bahagia, ibu!" ujar Deon."Aku sayang sama Berlian, aku pun cinta sama dia. Ibu bilang ibu berharap aku bahagia, lalu bahagia serti apa yang ibu inginkan untukku?""Bahagia tanpa Berlian.""Apa salah Berlian, Bu. Ya, aku tahu dia angkuh dan sombong, tapi dia baik. Bahkan dia membelikan apa yang ibu inginkan demi hubunganku dengan dia. Tidak kah ibu anggap dia pantas?""Selamanya keluarga Evans tidak akan pantas dengan kita, Deon," sentak Frida."Lalu apa yang ibu sudah lakukan? Ibu hampir membuat dia cel
Malam ini menjadi malam yang panjang untuk Berlian. Bara sudah pulang sejak sore tadi setelah memasak makanan. Bara ijin pulang karena harus mengurus keponakan kecilnya. Malam ini hujan turun dengan deras, suara guntur menggelegar saling bersahutan dan kilat menyambar-nyambar. Cahaya kilat terlihat sampai di kamar Berlian. Berlian mengeratkan selimutnya, tubuh gadis itu bergetar hebat dengan keringat yang bercucuran di dahinya.Hari ini Berlian benar-benar sangat hancur, sejak pagi emosinya tidak stabil, kalimat ia yang dituduh membunuh kakaknya dan mencelakai kakaknya terus menusuk hati dan otak Berlian. Dengan kejamnya suara-suara itu menyudutkan Berlian. Putus hubungan dengan Deon, laki-laki yang sangat ia cintai pun juga membuat hatinya sangat sakit. Ibunya tidak merestui, ibunya membuka semuanya pada Deon. Segalanya Berlian tutupi agar Deon mau menerimanya. Namun, sepintar-pintarnya menutupi bangkai, pasti baunya tercium juga."Hikss hiksss ...." isakan
Bara menatap wajah Berlian yang pucat pasi terbaring di brankar rumah sakit. Sudah delapan jam Berlian tidak sadarkan diri. Semalam Bian langsung membawa Berlian ke rumah sakit setelah Berlian pingsan di pelukannya.Bara bersama dokter seniornya yang hari ini berpindah di rumah ini untuk bertugas. Sejak masuk ke ruang rawat VIP Berlian, dokter seniornya terus menatap lurus ke arah Berlian."Dokter, ada apa?" tanya Bara pada pria di sampingnya yang merupakan Psikiater juga.Pria itu mendekati Berlian, duduk di kursi samping ranjang dan memegang tangan Berlian dengan erat. "Dulu aku meninggalkannya, sekarang dia sudah dewasa," ucap Evan mengusap tangan Berlian dengan pelan."Dokter kenal dengan Berlian?" tanya Bara."Dia anak saya," jawab Evan yang membuat Bara tersentak. Bara menatap Dokter Evan dan Berlian dengan bergantian, kedua orang itu bagai pinang dibelah dua, wajahnya sangat mirip. Pantas saja ia seperti tidak a