Seorang pasien gangguan jiwa paruh baya, sedang membaca buku dengan teman dan santai di atas ranjangnya dengan duduk sambil menyandarkan punggungnya di atas bantal yang tempelkan di dinding. Ia terlihat sedang tersenyum malu ketika membaca sebuah buku anak-anak. "Haha, si kancil sudah kabur!" ujarnya sambil tertawa. Lalu, Erik dan seorang perawat perempuan memasuki ruangan pasien untuk melakukan pemeriksaan. Sontak pasien itu menyembunyikan buku yang sedang dibacanya di bawah selimut. Ia langsung terdiam dengan memasang tatapan yang kosong. "Selamat Pagi, Bu Hasti," sapa Erik memberikan senyuman. "Aku tidak baik, Perawat Harris. Aku kesakitan. Seluruh tubuhku memanggil nama anakku dan anakku. Apakah Perawat Harris tau, dimana dia berada?" tanya pasien itu seraya memegang tangan Erik kuat. "Ibu Hasti tenang dulu, kita akan mencari anak ibu," sahut perawat wanita. Sontak pasien itu menatapnya dengan tajam. "Diam kau, Syifa!" ucap pasien lantang. "Syifa? Bu Hasti tau nama saya?" t
Rasa cemburu Jeremi semakin mengebu-gebu, saat melihat kedekatan Eva dan Rendra. Ia berlari menuruni tangga untuk melabrak Eva dan Rendra. Eva dan Rendra menaiki tangga tingkat dua menuju ke ruang kelas. Siswa-siswi lainnya menatap Eva dan Rendra sambil tersenyum malu. "Sepertinya mereka sudah resmi pacaran," bisik salah satu siswi perempuan kepada kawannya. "Je, tahan emosimu! Jangan sampai membuat keributan," ujar Diyo mengikutinya dari belakang. Saat Jeremi sudah berhadapan dengan Eva dan Rendra. Jeremi menarik tangan Eva dengan kasar. "Je, kau ini apa-apaan? Lepaskan tanganku!" suruh Eva kesal. Eva mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Jeremi. Tapi, Jeremi menekannya lagi dengan kuat dan tidak melepaskan Eva. "Eh, jangan main tarik tangan cewek dengan kasar!" sahut Rendra. "Diam kau! Jangan ikut campur urusanku dengannya!" bentak Jeremi. "Oke. Aku tidak ikut campur urusan kau dengan dia. Tapi, sebaiknya kau lepaskan tangannya dan berbicaralah dengan baik," jelas Ren
"Bukankah Mas Pati sudah menemukan alamat orang itu?" tanya Rendra pada Pati. Pati sedang berada di rumah Rendra. "Sudah, Tuan Muda. Kita bisa pergi kesana besok," jawab Pati. "Saya tidak sempat besok. Saya harus ikut ulangan di sekolah." Rendra berdiri dari tempat duduknya menuju ke arah meja untuk melihat jadwal hariannya. Pada selembar kertas, Rendra menuliskan jadwal hariannya. Ia orang yang sangat di siplin. "Jadi, bagaimana Tuan Muda?" "Kita pergi di malam hari saja. Setelah saya selesaikan ulangan, kita langsung bergegas kesana," ucap Rendra. "Baiklah, Tuan Muda." Pati berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi. "Tunggu dulu!" suruh Rendra. Ia menghentikan Pati pergi. "Iya. Kenapa Tuan?" "Jangan kabari Daddy, dulu." "Baik, Tuan Muda," jawab Pati. Lalu, ia segera pergi dari rumah Rendra. Saat waktu sudah menunjukkan pukul 13:30 siang, Eva keluar dari rumahnya menuju toko buku menggunakan mobil pribadinya yaitu Mini Cooper, untuk mencari beberapa buku yang berkaia
Eva bersama ketiga sahabatnya menghampiri Kak Yen di kantin sekolah untuk berbincang-bincang dan menggoda Kak Yen yang sudah berpacaran dengan Koki Dodi. Mereka duduk secara berhadapan di meja makan sepanjang dua meter. Eva dan Kak Yen duduk berdampingan. Sedangkan Cici, Raisa, dan Rena duduk di deretan yang sama. "Kok bisa Kak Yen dengan Koki Dodi? Bukannya, Kak Yen dengan Koki Dodi saling bermusuhan?" tanya Cici pada Kak Yen. Kak Yen tersipu malu sambil tersenyum. "Ini, angin-anginnya ... Benci tapi cinta," sahut Eva tertawa. Eva mencolek tangan Kak Yen. "Terus Kak Yen, gimana dengan Paman saya?" goda Eva. "Ah, Paman kau itu, dingin sekali. Susah sekali taklukin hatinya. Kak Yen mengalah saja sama Pak Erik. Mendingan sama Mas Dodi saja," jelas Kak Yen tersipu malu. "Wah, cepat ini perkembangannya. Sudah panggil Mas Dodi segala," goda Cici lagi. "Ya iyalah. Sekarang hati Kak Yen hanya untuk Koki Dodi. Cuma dia seorang," ucapnya genit sambil menempelkan telapak tangan ke dada di
Sore harinya, Rendra bergegas meninggalkan rumah bersama pengawalnya, Pati. Perjalanan yang mereka tempuh terlihat cukup jauh. Rendra membawa beberapa makanan ringan untuk santapan mereka. "Kali ini, saya tidak mau gagal Mas. Jadi, kita harus berhati-hati," ujar Rendra yang duduk di belakang Pati. "Baik, Tuan Muda. Saya pastikan dia tidakkan tau," jawab Pati sambil menyetir dengan fokus. Rendra dan Pati pergi menggunakan mobil Jeep. Sedangkan di sisi lain, Eva terlihat begitu penasaran dengan Rendra yang buru-buru pergi. Untuk memastikannya, Eva menghampiri Rendra ke rumahnya. Eva menekan bel rumah Rendra. "Ting, tong, ting, tong." Eva menekannya berkali-kali. "Ren!" panggil Eva. Ia menekan bel kembali berulang kali. "Ren, ini aku Eva! Kamu ada di rumah 'kan?!" teriak Eva memastikan keberadaan Rendra. Eva menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar suara Rendra di dalam rumah. Tapi, suara Rendra sama sekali tidak terdengar. "Berarti, Rendra memang tidak ada di rumah. Dia p
Keesokan paginya, saat langit masih terlihat remang-remang. Rendra, dan Pati berjalan di atas jalan yang licin tanpa aspal yang di tuntun oleh seorang penjaga ronda pendesaan. Hawa yang sejuk dan embun pagi yang menetes ke bawah tanah dari dedaun pohon, membuat Rendra semakin kedinginan. Lalu, Rendra melipat kedua tangannya ke dada untuk menahan dinginnya hawa alam yang begitu asing baginya, walaupun Rendra memakai jaket yang tebal. Pati melirik ke arah Rendra. "Apa Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Pati. "Aku baik-baik saja," jawab Rendra. Rendra dan Pati terus berjalan mengikuti penjaga ronda itu. Perjalanan mereka terasa sudah jauh dari tempat ronda. Rendra melihat ke arah sisi kanan dan kiri jalan, ia memperhatikan pohon-pohon di hutan yang begitu tinggi dan lebat. Hatinya sedikit ragu saat mengikuti penjaga ronda itu. "Apa Bapak yakin mereka tinggal di sana?" tanya Rendra. "Iya, mereka tinggal di sana. Dik Rendra dan Mas Pati tenang saja, setelah melewati hutan lebat ini, di
Para murid berjalan membaris mendaki gunung kembar dengan hati-hati. Eva berada di barisan ketiga, Rena di barisan ke empat, Raisa di barisan ke enam, dan Cici di barisan ke tujuh. "Eva! Rena! Kalian memang tak setia kawan!" teriak Cici mengeluh seraya menghentikan langkahnya. Eva dan Rena saling tersenyum mendengar keluhan Cici. "Ayo, Ci, Rai! Cepat jalan! Jangan patah semangat!" balas Rena. Raisa menghela napas panjang dan menghentikan langkahnya seraya mengambil botol mimuman di samping kantong kiri tas ransel dan meminumnya. "Me-mereka memang ku-kurang setia." Raisa mengatur napasnya yang terengah-engah. Citra yang berada di barisan ke lima hanya diam dengan bergumam kesal di dalam hati. 'Dasar kelompok alai' Sedangkan, murid lainnya meneruskan pendakian dengan melewati barisan Cici dan Raisa. Di barisan depan dan akhir, ada seorang guru laki-laki dan perempuan yang menjaga para murid tetap aman di saat mendaki gunung. Guru perempuan bernama Siska yang mengawal di barisan d
Jeremi dan ketiga temannya berada di tengah hutan dengan mengikuti petunjuk dari peta yang ada di tangan Jeremi. "Kau yakin arahnya ke sini?" tanya Diyo kepada Jeremi. "Sepertinya iya. Coba kau lihat titik besar ini. Dia tempat kejutan yang kita tuju. Puncak gunung kembar," ujar Jeremi. "Tidak menurutku arah ke kirilah yang menunjukkan tempat puncak indah itu," sahut Diyo. "Menurutku ke kanan," sahut Jeremi lagi. "Ke kiri," sahut Diyo. "Ke kanan," balas Jeremi lagi. Jeremi dan Diyo saling berbedat memilih jalan yang berlawanan. "Sudah, sudah, sudah. Kita pilih jalan arah kanan saja, oke. Kata orang tua, pilihlah arah kanan agar tak tersesat," ujar salah satu temannya. "Baiklah. Kita ke arah kanan," sahut Diyo mengalah mengalah. Jeremi pun memilih arah kanan menuju puncak kembar. "Memang tak tau diuntunglah si Citra itu! Sudah baik-baik kita tunggu dia, malah di suruhnya kita tinggalin dia. Terserahlah!" geram Eva seraya menaiki tanjakan gunung. Lalu, Eva menemukan titik segi