Bagi Rendra, sekolah adalah tempat mencari ilmu. Rendra sama sekali tidak peduli kursi siapa yang ia duduki. Menurutnya, meja yang kosong bisa dimiliki oleh siapa saja. Saat Erik memulai pengajaran, ia hanya fokus belajar dan mengejar pelajaran yang tertinggal tanpa memperdulikan siswa yang memperhatikannya. Kekesalan terlihat jelas di wajah Diyo yang tidak menyukai keberanian Rendra saat pertama kali masuk sekolah. Saat waktunya istirahat, Diyo keluar dari ruangan dan menghampiri Jeremi di atap sekolah yang sedang melepaskan asap rokoknya. Jeremi sangat menikmati kebebasan saat menghisap rokok yang sudah menjadi kebiasaannya. Ia menatap banyak pepohonan di depan sekolah membuatnya merasakan kebebasan yang sungguh menyenangkan. "Je?" panggil Diyo menepuk bahu Jeremi. Sontak Jeremi terkejut hampir menjatuhkan rokok yang dipegangnya. "Yo!" teriak Jeremi kesal. "Maaf-maaf," ucap Diyo tersenyum. Lalu, Diyo berdiri di samping kiri Jeremi, "Kamu nggak takut ketahuan, Je? tanya Diyo. "
Erik bersiap-siap memasukkan pakaian ke dalam tas. "Bukankah minggu lalu Paman baru pulang dari luar kota?" tanya Eva mengikuti Erik ke mobil yang terparkir di depan rumah. "Paman ada urusan mendesak," jawab Erik seraya membuka pintu mobil. "Kamu jaga diri, oke? Jangan keluar malam dan jangan ketemu Jeremi lagi." Erik memperingatkan Eva untuk menjauh dari sang mantan. "Siap, Bos!" jawab Eva tanpa membantah. "Ya sudah, Paman pergi dulu," tandas Erik memasuki mobil. Erik menghidupkan mesin mobil dan memundurkan mobilnya lurus keluar pagar rumah. "Hati-hati, Paman." Eva melambaikan tangan. Erik membuka kaca mobil dan membalas lambaian Eva sambil tersenyum. Setelah Erik jauh dari pandangannya, Eva tertawa gembira setelah Erik pergi keluar kota selama lima hari karena ada urusan penting. "Yes, yes, yes! Akhirnya aku bisa ajak Cici, Raisa, dan Rena ke rumah. Aku bisa sekalian bikin party lagi sama mereka." Eva melompat-lompat kegirangan. Eva membalikkan badannya ke arah rumah. Lalu
Bel berbunyi pada pukul 14:00 WIB. Tak tunggu lama semua siswa-siswi SMA Angkasa bergegas pulang dari sekolah. "Rai, Ren. Saatnya kita berangkat menuju ke rumah Eva." Cici memasukkan bukunya ke dalam tas. "Aku akan ikut kalian." Jeremi dan Citra meminta ikut ke rumah Eva. "Kalian mau ikut?" tanya Raisa. "Iya," jawab mereka serentak. Rena ingin menolak permintaan mereka, "Tapi, kami..." Potong Jeremi, "Kalian nggak boleh tolak." "Kalau kalian tolak, aku akan paksain masuk ke rumah Eva tanpa sepengatuan kalian semua," sahut Citra memaksa. Cici, Raisa, dan Rena terlihat kesal kepada Jeremi dan Citra yang memaksa ikut. Sedangkan hubungan mereka dengan Eva sedang tidak baik. Namun, mereka terpaksa menurutinya karena Jeremi dan Citra adalah orang yang sangat nekat. *** Di sisi lain, Rendra meninggalkan sekolah dengan mobil pribadinya yaitu Honda Civic Type R. Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi, lalu, ia berhenti di sebuah super market untuk membeli air mineral botol sebanyak dua
Eva mengakhiri hubungannya dengan Jeremi. Jeremi terpaksa menuruti keputusan Eva yang tak ingin bersamanya lagi. Ia pergi meninggalkan rumah Eva dengan rasa kecewa dan penyesalan. Tiada gunanya Jeremi memohon pada Eva untuk memaafkannya. Rasa cinta Eva telah sirna, bahkan hatinya tak pernah lagi berdebar untuknya. Eva memeluk ketiga sahabatnya itu seraya menghela nafas lega. "Aku yakin kamu pasti kuat, Ev," ucap Rena menepuk lembut bahu Eva. Mereka saling melepaskan pelukan. "Aku nggak papa." Eva hanya tersenyum. Cici, Raisa, dan Rena saling menatap dengan rasa khawatir. "Benaran kamu nggak papa?" tanya Raisa. "Kalau kamu mau nangis, nangis saja. Kami ngerti kok, Ev, gimana rasanya putus cinta?" tambah Cici. "Hadeh. Aku baik-baik saja. Jeremi sudah jadi masa laluku. Aku ingin melupakan dia dan menemukan cinta sejati yang sesungguhnya," jelas Eva tersenyum. *** Di sisi lain Citra ingin membuktikan rasa keraguannya terhadap isu pernikahan Erik. Ia mencari foto pernikahan Erik d
Dengan beraninya Eva membuat Rendra jadi serba salah di depan karsir toko kelontong itu. Rendra sangat kesal melihat tingkah Eva. Tanpa ragu, Rendra membalas perbuatan Eva dengan kejam. "Maaf Pak, ini bayarannya lima belas ribu. Perlu Bapak tau ...," ucap Rendra namun terpotong dan melepaskan tangan Eva dari tangannya. "Saya ini bukan pacar dia. Saya bukan pelit, tapi saya memang nggak kenal sama ini cewek." Rendra menatap Eva tajam. "Ka... Kamu," "Kalau mau jadi penipu, bukan dengan saya," ujar Rendra cuek. Rendra ingin segera pergi. "Otak miring, ngaku-ngaku jadi pacar orang," gumam Rendra menyindir Eva. Rendra mengambil minumannya dan pergi meninggalkan toko itu. "O... Otak miring? Hei, dasar cowok sombong!" kesal Eva. Eva kembali ke rumah dan menelpon Pamannya dengan penuh kemarahan. "Paman!" panggilnya dengan suara keras. Kemarahan Eva terhadap Rendra masih terasa. Ia mondar-mandir di ruangan tamu sambil memukul-mukul sofa. "Kamu kenapa lagi?" tanya Erik dari seberang po
Semua siswa-siswi kembali tenang saat seorang guru perempuan memasuki ruang kelas dan memulai pengajaran. "Citra,"panggil guru itu mengabsen nama-nama siswa. Namun, Citra tidak hadir ke sekolah. "Dimana Citra?" tanya guru itu. "Kami tidak tau, Bu," jawab siswa-siswi. Disisi lain, Eva sedikit melirik ke arah kursi Citra yang kosong. "Apa Paman sudah menegurnya? Bodoh amat, ah, untuk apa aku peduli sama dia. Sama sekali tidak tau diri," lirih Eva dalam hati. Eva masih sangat kesal pada Citra karena sembarangan memasuki rumah Pamannya. Cici berbalik badan ke arah Eva. "Ev, kamu tau Citra dimana?" tanya Cici. "Aku nggak tau," jawab Eva tak peduli. "Oke, kita lanjut saja. Rendra Pratama," panggil guru itu lagi. Rendra mengangkat tangannya kepada guru itu. "Jadi, kamu siswa pindahan luar negeri?" tanya guru itu pada Rendra. "Iya Bu," jawab Rendra singkat. Eva sekidit memalingkan wajahnya kearah Rendra. "Rendra? Nama yang buruk," lirih Eva lagi dalam hati seraya tersenyum di u
Saat akhir pekan tiba, Eva memilih untuk tidur sampai siang. Menurutnya, akhir pekan adalah hal yang sangat penting baginya, karena bisa tidur tanpa bangun di waktu pagi. Namun, akhir pekan kali ini berbeda, kepulangan orang tua Eva tanpa sepengatahuannya membuat suatu kejutan untuknya tanpa ia sangka. Suara bel rumah berbunyi berkali-kali dan menganggu tidurnya. "Aduh! Siapa sih yang bunyikan bel pagi-pagi. Paman jangan iseng!!!" jeritnya seraya menutup telinganya dengan bantal. "Dia pasti masih tidur, Pa," ujar Mama Nia. "Coba tekan belnya lagi," suruh Papa Eva. Kedua orang tuanya terus menekan bel agar Eva membuka pintu. "Ah. Bikin kesal aja deh, pagi-pagi begini," ujar Eva seraya bangun dari tidurnya dan pergi membuka pintu. "Surprise!" ucap kedua orang tua Eva. Lalu, Mama Nia melebarkan tangannya untuk memberikan pelukan hangat kepada Eva. "Mama! Papa!" sapa Eva segera memeluk Mama Nia dengan penuh kegembiraan. "Sayang Mama," ucap Mama Nia menepuk bahu Eva lembut. Eva me
Rendra berjalan menuju perpustakaan untuk meminjam beberapa buku. Ia memberikan kartu perpustakannya pada guru pustakawan. "Kamu hanya bisa mengambil tiga buku saja, ya," ucap guru itu. "Baik, Bu," jawab Rendra dan bergegas pergi menuju buku yang hendak di pinjamnya. "Tampan sekali siswa itu. Seandainya saja aku masih muda," ujar guru itu dengan suara rendah sambil tersenyum. Tiba-tiba, Rendra melihat Eva menyembunyikan sebuah buku di rak paling bawah. "Pencuri!" teriak Rendra. Sontak Eva terkejut mendengar teriakan Rendra yang menuduhnya mencuri. "Ka... Kau! Siapa yang mencuri?" bantah Eva kesal. "Itu, kau mau sembunyikan apa?" tanya Rendra balik. "I... Ini... Buku aku," "Buku kau..." "Siapa yang mencuri?" tanya Guru perpustakaan menghampiri Eva dan Rendra. "Sa... saya tidak mencuri loh, Bu. Saya hanya ingin menyusun buku-buku di bawah itu. Ibu, jangan termakan omongan siswa pindahan ini, sembarangan saja kalau ngomong!" cetus Eva. Tak peduli ocehan Eva, Rendra pergi ke s