Share

Part 02

—02—

            Pertemuannya dengan Marvin kemarin membuatnya terus tersenyum walau dirinya sempat mendapat omelan dari pemilik kedai ice karena salah membuatkan pesanan pelanggan.

            Dan sekarang pemilik kedai terheran-heran dengan kedatangan Aleandra yang lebih cepat darinya. Bahkan gadis itu dengan cekatan membantu pemilik tersebut menyusun kursi dan meja di bagian depan kedai, sambil memperhatikan jalan dengan lamunannya.

            "Butuh bantuan?" tanya suara laki-laki mendekati Aleandra yang melamun.

            "Oh astaga! Kau mengagetkanku!" pekik Aleandra terkejut. Karena dirinya sedang melamuni seseorang dan orang itu muncul secara tiba-tiba.

            "Apa aku menyeramkan?" tanya Marvin.

            "Tidak! Kau tampan, dan jaket apa yang kau kenakan?" tanya Aleandra menilik penampilan Marvin yang terlihat lebih muda dari kemarin.

            "Kenapa? apa tak cocok?"

            "Tidak! Kau terlihat lebih tampan!" ungkap Aleandra dengan santainya. Dan Marvin hanya bisa tersenyum. Lalu kembali membantu Aleandra dengan mengangkat kursi yang dipegang wanita itu.

            "Tidak usah ... Sungguh, aku masih ingin hidup dengan tenang," ujar Aleandra kembali membuat kerutan dikening Marvin.

            "Maksudmu? Apa bos mu akan memecatmu?"

            "Bukan. Tapi, jika para gadis pelajar itu datang dan melihat seorang pria tampan membantuku, mereka pasti akan mengejekku lagi,” ungkap Aleandra. Dan tawa Marvin pecah seketika.

            "Aku yakin dikepalamu ini tersimpan banyak imajinasi yang luar biasa," ujar Marvin dan kembali membantu dengan paksaan.

            "Jadi kau ingin pesan apa pelanggan pertamaku?" tanya Aleandra pada Marvin yang duduk di kursi yang dia rapikan tadi.

            "Aku ingin ice cream matcha, dan memakannya ditemani dirimu," ujar Marvin.

            "Ah, sayang sekali aku tak masuk dalam menu," jawab Aleandra dan tersenyum lagi.

            "Kau benar, maka dari itu aku akan menunggumu saat jam istirahat saja, bagaimana?" tanya lagi Marvin.

            "Hm ... Baiklah," kata Aleandra semakin mengembangkan senyumnya.

            "Oh, hm ... Apa tak ada upah dari hasil mengangkut kursi dan meja ini?" tanya Marvin.

Aleandra tertawa, itu perkataannya kemarin dan Marvin menggunakan itu untuk menggodanya.

            "Apa segelas kopi cukup?" tanya Aleandra.

            "Sangat cukup, terima kasih Aleandra."

            "Untuk apa?"

            "Karena kau mau meladeni orang tua sepertiku."

            "Usiamu yang banyak, bukan jiwamu. Kau sangat menyenangkan Marvin," ungkap Aleandra tersenyum lagi, sambil melangkah ke dalam kedai untuk membuat secangkir kopi.

            "Astaga ... kenapa suaramu begitu indah saat menyebut namaku?" gumam Marvin.

Namun, sempat terdengar oleh Aleandra hingga merona.

            Beberapa saat kemudian Aleandra datang dengan dua gelas kopi dan beberapa kue. Pemilik kedai memberinya untuk ucapan terima kasih karena Marvin membantu pekerjaannya.

            “Ini kopimu Marvin, dan pemilik kedai memberimu upah atas pekerjaanmu mengangkat meja dan kursi," ujar Aleandra duduk di hadapan Marvin.

            "Ya, Thanks. Jadi berapa usiamu sebenarnya?"

            "Tebaklah," ujar Aleandra setelah menyeruput kopinya.

            "Hm ...." Marvin tampak berpikir, "dua puluh tahun?"

            "Tepatnya dua puluh satu," jawab Aleandra.

            "Oh sungguh tak terlihat," puji Marvin tulus dan Aleandra kembali merona.

            "Apa kau seorang mahasiswi? Kenapa bekerja di kedai ice ini?"

            "Hm ... aku hanya lulusan highschool," jawab Aleandra menjadi murung walau akhirnya dia tetap tersenyum.

            "Kenapa?" tanya Marvin. Aleandra mengedikkan bahunya.

            "Karena satu dan lain hal," jawab Aleandra terlihat tak ingin membahasnya. Marvin mengerti dan memilih diam.

            "Sudahlah ... Jangan membahas tentangku. Bagaimana denganmu? Aku tak pernah melihatmu berkunjung ke kedai ice ini." Aleandra berusaha menyembunyikan raut wajah sedihnya.

            "Ya, aku berniat membuka kantor cabang baru di dekat sini, jadi aku akan berada beberapa hari disekitar sini."

            "Oh ya? Lalu bagaimana dengan anak dan istrimu?"

            "Mereka di Sydney, aku sudah berpisah dengan istriku."

            "Benarkah?!" seru Aleandra sedikit berlebihan, membuat Marvin mengerutkan keningnya.

            "Kau tampak sangat bahagia mendengarnya?" tanya Marvin.

            "Hah? Oh tentu ... Itu artinya kau mendapat predikat duda tampan dikalangan para gadis seperti kemarin," gurau Aleandra dengan ringan tanpa malu.

            "Begitukah? Astaga ... Pantas saja kemarin mereka begitu senang saat aku tersenyum."

            "Begitulah," balas Aleandra mengedikkan bahunya lalu melihat jam tangannya, "Baiklah ... Aku harus bekerja, bagaimana denganmu?"

            "Aku akan menunggu jam makan siangmu tiba, sebelum berakhir seperti kemarin," ujar Marvin lagi-lagi menggoda Aleandra dengan mengulang ucapan Aleandra yang kemarin.

            "Baiklah ... selamat menunggu," ujar Aleandra tersipu dan memilih berlalu untuk melakukan pekerjaannya. Dia yakin jika terlalu lama bicara dengan Marvin, wajahnya akan seperti kepiting rebus nantinya.

            Sementara Marvin sibuk dengan ponselnya, dia meminta sekretarisnya untuk menyiapkan semua keperluan untuk pendaftaran study lanjutan untuk Aleandra.

***

            Siang hari, suasana cafe yang cukup ramai didatangi oleh orang-orang yang ingin mengisi perutnya. Beberapa pengusaha melakukan janji temu makan siang dengan rekan bisnisnya, ada juga beberapa wanita sosialita yang terlihat lebih berisik dari yang lain.

Namun, semua tak terganggu dengan aktifitas dari masing-masing kelompok. Mereka semua bergerak sesuai dengan porsi dan kebutuhan mereka dalam menjalani kehidupan bersosialisasi.

            Sama hal nya dengan Aleandra dan Marvin, mereka akhirnya memilih cafe yang cukup ramai untuk mereka beristirahat sejenak dari pekerjaannya. Lalu menikmati makan siang mereka sambil berbincang.

            "Ku kira kau hanya bergurau, apa kau sungguh tak ada pekerjaan?" tanya Aleandra. Sambil menunggu makanan mereka datang.

            "Permisi ... ini pesanan anda, silakan dinikmati." Seorang pelayan wanita meletakkan dua piring makanan yang mereka pesan. Pelayan itu mengedipkan matanya pada Marvin yang sangat jelas terlihat oleh Aleandra.

            "Eherm!" Aleandra sedikit berdeham untuk menyadarkan pelayan tersebut. Entah kenapa dia merasa kesal saat beberapa wanita menatap Marvin penuh minat.

            "Maaf, Miss. Saya—"

            "Kemari, dekatkan telingamu," ujar Aleandra dan dituruti pelayan itu. Lalu Aleandra dengan sengaja berbisik.

Namun, suaranya bahkan bisa didengar jelas oleh Marvin.

            "Kau yakin akan menggodanya? Kuberitahu satu hal, pria di depanku ini seorang gay!" Pelayan tersebut langsung menarik kepalanya dan pamit undur diri. Memecahkan tawa Aleandra dengan Marvin yang menggeleng tak percaya.

            "Oh astaga .... Aku tak percaya kau begitu pecemburu sampai menuduhku agar tak lagi diperhatian para wanita itu."

            "Itu tak benar! Jelas aku menyelamatkanmu," ujar Aleandra, pipinya merona. Lalu dia kembali tertawa.

            "Oh ayolah, apa itu sangat lucu?" tanya Marvin, walau dia juga tak dapat menghentikan tawanya.

            "Baiklah, aku akan berhenti. Mari kita makan sebelum ini dingin," ujar Aleandra, lalu mereka memakan makan siangnya.

            "Ehm ... Ini sangat enak," ujar Aleandra disela-sela makannya.

            "Benarkah?"

            "Ya, mungkin karena ada pria tampan yang menemaniku makan siang hari ini," celetuk lagi Aleandra membuat Marvin kembali tertawa. Entah sudah berapa kali dia tersenyum saat bersama Aleandra.

            "Oh astaga ... Aku terlalu tua untuk mendapat gombalan," gurau Marvin disela tawanya.

            "Aku rasa umur tak menjadi penghalang untukmu mendapat sebuah pujian, karena kau memang tampan."

            "Cukup sampai di situ, aku tak ingin ada kata tapi setelah kau memujiku," tanggap Marvin.

            "Ya ampun. Di situlah letak pembuktian bahwa kau memang sudah banyak umur untuk mengetahui niatku," ujar Aleandra kembali tertawa.

            "Baiklah ... Kau pandai membuatku tersenyum, bolehkah aku mengajakmu makan siang dalam beberapa hari ke depan?"

            "Secara tak langsung kau memintaku untuk menghiburmu?" tanya Aleandra.

Marvin kembali tergelak, gadis di hadapannya itu mampu membuatnya lupa akan wibawanya sebagai lelaki matang.

            "Apa kau tak ingin melanjutkan studymu?" tanya Marvin tiba-tiba.

            "Aku ingin, tapi aku tak bisa," ujar Aleandra, lalu dia melihat jam tangannya.

            "Kena—"

            "Aku harus kembali Marvin, jam istirahatku sudah selesai. Dan kakakku akan datang hari ini, dia ingin memakan ice cream," ujar Aleandra memotong ucapan Marvin.

            "Baiklah, aku akan mengantarmu," tekad Marvin lalu dia meminta bill untuk membayar makanannya.

-

            Marvin menghentikan mobilnya tepat di depan kedai ice tempat Aleandra bekerja.

            "Itu kakakku, dia sudah duduk di tempat biasa. Ayo aku kenalkan kau dengannya," ajak Aleandra tanpa sadar menarik tangan Marvin. Namun, Marvin tak beranjak, membuat Aleandra tertarik kembali. Walau tak sampai menabrak tubuh liat Marvin.

            Aleandra tersadar dengan apa yang dia lakukan, lalu dengan cepat dia menarik tangannya.

            "Ma-maaf, aku terlalu antusias. Kakakku—"

            "Tak apa .... Aku akan menjawab seperti kemarin jika kakakmu bertanya," ajak Marvin sekarang dia yang menggenggam tangan Aleandra.

            Gadis itu tertatih menyamakan langkahnya sambil menggelengkan kepalanya. Karena bukan ide yang bagus untuk mengatakan lelucon seperti di restoran cepat saji kemarin. Leanor mungkin akan bertanya macam-macam jika tahu adiknya memiliki kekasih.

            Setelah langkah mereka sama, Aleandra berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Marvin. Setelah terlepas, Marvin dengan jahil malah meraih pinggang Aleandra.

            "Hentikan leluconnya, kakakku sangat galak!" bisik Aleandra berdusta.

            "Benarkah? Aku yakin dia tak akan galak jika melihatku."

            "Kau terlalu percaya diri!" Aleandra melepaskan diri dari rengkuhan Marvin. Lalu sedikit berlari untuk menghampiri kakaknya lebih dulu.

            "Kakak, dengan siapa kau datang?"

            "Hanya sendiri. Siapa yang bersamamu?" tanya Leanor menatap Marvin yang berjalan menuju ke arah mereka.

            "Dia Marvin, pelanggan di sini. Ceritanya panjang, Lea. Akan kuceritakan di rumah. Sekarang bolehkah kau menemaninya mengobrol? Aku harus kembali bekerja," pinta Aleandra. Lalu Marvin tiba.

            "Marvin, kenalkan dia kakakku."

            "Leanor, panggil saja Lea."

            "Marvin Williams, panggil saja Marvin," balas Marvin, lalu mereka berjabat tangan.

            "Baiklah, aku akan ambilkan ice kesukaanmu Lea, dan kau Marvin?"

            "Aku tidak, aku masih kenyang," jawab Marvin.

            "Baiklah .... Kalian mengobrollah."

            Lalu Marvin menggunakan kesempatan itu untuk menanyakan kepada Leanor, kenapa Aleandra tak melanjutkan studynya. Awalnya Leanor tampak ragu untuk menceritakannya, tetapi Marvin membujuknya dan berkata akan membantu. Leanor akhirnya menceritakan tentang Aleandra yang sempat mempunyai penyakit kanker tulang, dan baru saja sembuh juga baru mulai bekerja di sini karena keadaan ekonomi mereka. Hingga tak terasa jam pulang kerja Aleandra tiba, Marvin mengajak mereka untuk makan malam.

-

            "Jadi, Jika kalian bersedia bercerita, aku siap mendengarkan. Mungkin aku bisa membantu kalian," ujar Marvin mengakhiri ceritanya.

            "Aku dan adikku sebenarnya tak pernah menginginkan ini terjadi. Semua karena salahku. Ale harus bekerja di tempat ini walau aku tahu kakinya masih sering merasakan sakit sedikit, karena harusnya dia menuntaskan penyembuhannya," ungkap Leanor.

            "Jangan menyalahkan dirimu lagi, Lea. Kau sudah banyak berkorban untukku hingga kau kesusahan. Untuk sekarang ijinkan aku yang membantumu."

Leanor tersenyum, lalu kembali menceritakan kisah hidup mereka. Mengenai kecelakaan di pabrik sepatu milik kedua orang tua Aleandra dan Leanor. Hingga kepindahan mereka dari apartemen di Perth. Sampai kisah dibalik kehamilan Leanor.

            Marvin cukup terkejut mendengar cerita perjuangan kedua wanita di hadapannya, namun mereka masih saling menguatkan.

            Apa mungkin kedua anak laki-lakiku mau jika dijodohkan dengan Ale dan Lea, batin Marvin.

            "Jangan berpikir untuk menjodohkan kami Marvin," terka Leanor seolah tau jalan pikiran Marvin.

Pria itu terkekeh pelan. "Kau seperti pembaca pikiran ... Itu hanya terlintas dipikiranku tadi."

            "Anak-anakmu pasti sudah memiliki pilihannya sendiri, jangan membuat mereka marah padamu." Kali ini Aleandra yang menambahkan.

            "Jadi bagaimana jika denganku saja? Adakah salah satu dari kalian yang mau dengan orang tua ini?" tanya Marvin membuat tawa mereka pecah.

            "Jangan dianggap, aku hanya bergurau," ujar Marvin disela-sela tawanya.

            "Bagaimana jika aku menganggapnya serius?" tanya Aleandra membuat Leanor dan Marvin terdiam.

            "Al, Ini sudah tak lucu lagi," ujar Leanor.

            "Hm ... Aku tak berpikir kau akan menganggap ini serius Al, jadi ...."

Seketika suara tawa Aleandra terdengar nyaring, membuat Leanor dan Marvin mengerutkan keningnya.

            "Harusnya aku mengabadikan wajah terkejut kalian, sungguh sangat lucu." Aleandra tertawa sendiri dan disusul dengan Leanor serta Marvin yang tersadar bahwa mereka telah tertipu oleh Aleandra.

            Seandainya kau serius mengucapkan itu Aleandra. Aku ...,  heh! Siapa juga yang mau dengan orang tua sepertiku, batin Marvin.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status