Langit yang cerah membuat perasaan Kia jauh lebih tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan memasuki area makam. Hari ini adalah hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum kedua orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin meminta dukungan kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional nanti.
Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh.
"Ayo berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa.
Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengajaknya untuk mengunjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur, tapi juga ada perasaan sedih karena harus kembali sadar jika dia hanya sendiri di dunia ini.
Setelah berdoa, Kia bergerak untuk mencabut beberapa tumbuhan liar di sekitar makam orang tuanya. Dia tersenyum dan mengelus batu nisan kedua orang tuanya.
"Doain ujian Kia lancar ya."
Mbok Sum mengelus bahu Kia pelan. Dia sangat mengerti perasaan gadis itu. Dia juga pernah kehilangan suami dan rasanya sungguh menyakitkan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan Kia yang harus kehilangan kedua orang tuanya di usia muda.
"Kia sayang sama kalian." Air mata Kia keluar saat dia mengucapkan kalimat itu dengan lirih.
Arfan yang sedari tadi diam mulai bergerak untuk menyentuh batu nisan. Entah apa yang dia pikirkan tapi Arfan menatap batu nisan Pak Surya dengan lekat. Dia seolah sedang berbicara, tapi hanya dirinya sendiri yang tahu. Belum saatnya Kia mengetahui semuanya.
"Kita harus pulang," ucap Arfan setelah selesai dengan semuanya.
Kia sedikit merapikan bunga segar yang ia tabur dan mulai berdiri, "Aku pulang dulu ya. Minggu depan habis ujian aku ke sini lagi."
Kia, Arfan, dan Mbok Sum mulai keluar dari area makam. Keadaan masih begitu hening. Sepertinya perasaan Kia belum kembali ke semula.
"Kita makan dulu," ucap Arfan mulai menjalankan mobil.
"Mas Arfan nggak kerja?" tanya Kia. Hari ini dia memang libur sekolah untuk hari tenang menjelang ujian.
"Saya ke kantor habis makan siang." Arfan melirik Kia sebentar, "Kamu nggak papa?"
Kia mengangguk pelan, "Nggak papa."
"Kamu nggak cocok kalau diem kayak gini."
Kia mulai mencibir, "Diem salah, cerewet salah. Emang cuma Mas Arfan aja yang bener."
Arfan tersenyum mendengar gerutuan Kia, "Saya kan cuma tanya, kenapa kamu marah?"
"Tau ah, males."
Arfan melirik Mbok Sum yang duduk di belakang, "Emang saya salah ya, Mbok? Kan saya cuma nanya. Aneh kan liat Kia diem?"
Mbok Sum terkekeh pelan. Dia tahu jika Arfan sedang berusaha untuk mengembalikan suasana. Jujur saja, Mbok Sum juga lebih senang melihat Kia marah-marah dari pada diam seperti ini.
"Udah deh, Mas. Nggak usah mulai. Darahku udah naik ini." Kia menatap Arfan kesal.
"Mau makan apa?" tanya Arfan pada akhirnya.
"Terserah."
"Kalau kamu nggak jawab kita langsung pulang. Biar kamu makan telur goreng aja di rumah."
"Terserah, Mas!"
"Ya udah, makan terlur aja."
"Ih, nggak mau!" Kia mulai merengek.
"Makan apa?" tanya Arfan sekali lagi.
"Ayam di restoran cepat saji," jawab Kia asal.
Arfan menggeleng cepat, "Nggak sehat, kita makan soto aja."
Kia menatap Arfan kesal. Jika sudah memutuskan makanan apa yang dipilih kenapa harus bertanya? Saat sudah sampai di restoran, Kia dengan cepat keluar dari mobil. Tak lupa dia juga membanting pintu mobil dengan keras.
Mbok Sum dan Arfan yang masih berada di dalam mobil menghela napas lelah. Arfan menatap punggung Kia dari kejauhan dengan tatapan menerawang.
"Ternyata susah ya Mbok urus Kia," gumam Arfan.
"Mas Arfan yang sabar ya. Mbak Kia mood-nya lagi nggak bagus. Mbok yakin suatu saat nanti Mbak Kia bakal ngerti."
"Apa bisa dalam waktu empat tahun Kia berubah?"
"Mas, perubahan hanya bisa terjadi kalau Mbak Kia sendiri yang mau. Mas Arfan nggak bisa nuntut ini-itu. Yang bisa Mas Arfan lakuin sekarang adalah buat Mbak Kia percaya dan perlahan mulai membuka dirinya sendiri."
"Saya tahu," gumam Arfan, "Meskipun nggak gampang tapi demi Pak Surya, saya akan coba bertahan, Mbok."
Mbok Sum tersenyum mendengar itu, entah kenapa dia melihat ada sedikit harapan baik untuk masa depan Kia. Dengan didikan Arfan, Mbok Sum yakin suatu saat nanti Kia akan bisa menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Bukan tanpa alasan Pak Surya mempercayai Arfan untuk menjaga Kia. Selain karena sudah saling mengenal, Arfan adalah pria yang bertanggung jawab. Bisa dibilang jika Arfan adalah pria yang jauh dari kata negatif. Meskipun sedikit kaku tapi itu tidak menghilangkan kesan positif Arfan di mata Pak Surya.
***
Minggu ujian sudah tiba. Bukan hanya Kia yang dipusingkan dengan kegiatan belajar, tapi juga Arfan. Dia ikut turun tangan untuk mengajari Kia. Seketika dia menyesal karena lupa untuk tidak mendaftarkan Kia ke bimbingan belajar. Tidak, Kia bukan gadis yang bodoh. Hanya saja dia harus diberi banyak motivasi agar mau belajar. Seperti saat ini, Arfan harus ikut mengawasi Kia yang tengag belajar untuk ujian matematika besok.
"Ini bener nggak?" tanya Kia memperlihatkan bukunya pada Arfan.
"Salah, kamu hitung lagi. Itu ada step yang kamu lewatin."
Dengan kesal Kia mengacak rambutnya frustrasi. Dia menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan wajah yang masam.
"Baru empat materi tapi kenapa udah capek?" Tangan Arfan terulur untuk mengambil buku Kia, "Sini, saya kasih tau cara cepatnya."
Kia mengangkat kepalanya cepat mendengar itu, "Kenapa nggak bilang dari tadi? Kenapa harus nunggu aku kesel dulu?!"
"Kamu nggak nanya," jawab Arfan santai.
Sudah dua jam Kia belajar dengan bimbingan Arfan dan selama itu pula dia terus mengeluh. Kia ingin menyudahi belajarnya tapi dia yakin jika Arfan tidak akan mengizinkannya.
"Kamu coba kerjain soal ini, pakai cara yang saya ajarin tadi." Arfan menunjuk salah satu soal.
"Capek, Mas. Kepala aku panas."
"Kamu lemah di materi ini, ayo dicoba dulu."
"Aku laper, pingin makan mie."
"Ada nasi di dapur," jawab Arfan cepat.
Dengan kesal Kia mulai mengerjakan soal di depannya dengan terpaksa. Dia tidak sepenuhnya kesal pada Arfan, justru dia berterima kasih karena pria itu mau untuk mengajarinya selama beberapa hari terakhir ini. Namun Kia terlalu gengsi untuk mengucapkan terima kasih.
"Udah, aku udah paham. Udah ya, Mas? Aku capek." Kia mulai membereskan bukunya.
"Masih jam delapan Kia." Arfan menarik Kia agar kembali belajar.
"Capek!" Kia bersandar pada sofa dan menutup wajahnya.
Entah kenapa dia merasa lelah hari ini. Sejak kembali dari makam orang tuanya, perasan hatinya tidak kunjung membaik. Kia malah semakin teringat dengan nasibnya yang menyedihkan. Seharusnya di saat seperti ini ada orang tuanya yang menyemangatinya, bukan malah Arfan yang selalu membuatnya kesal.
"Kamu coba soal yang ini." Arfan melingkari soal-soal yang harus dikerjakan, mengabaikan Kia yang masih duduk sambil menutup wajahnya.
"Aku capek, Mas," gumam Kia dengan suara serak.
Mendengar suara lirih itu, Arfan menatap Kia cepat. Dia terkejut melihat mata gadis itu yang mulai basah. Gadis itu menangis?
Perlahan Arfan mulai menutup buku-buku Kia, "Ya udah, kamu istirahat sana."
Mendengar itu dengan cepat Kia berlalu menuju kamarnya. Dia tidak ingin Arfan melihatnya menangis. Sampai di kamar, Kia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Dia menatap foto kecil keluarganya di atas nakas dengan pandangan sedih.
"Aku kangen kalian," bisik Kia menarik napas dalam, berusaha untuk tidak menangis terlalu keras sampai kesulitan bernapas.
"Seharusnya kalian ada di sini, temenin aku, semangatin aku. Maaf kalau selama ini aku belum bisa jadi anak yang baik," lirihnya.
Di pintu kamar, Arfan mendengar itu semua. Dia tidak bisa menyalahkan Kia, perasaan gadis itu memang sedang tidak baik sekarang. Entah kenapa hati Arfan mulai merasakan sakit. Bukan hanya Kia, tapi dia juga merasa kehilangan. Bisa dibilang jika Arfan juga sudah menganggap orang tua Kia sebagai orang tuanya.
Arfan memutuskan untuk ke dapur. Dia mengambil dua mie instan dan mulai memasaknya. Arfan harap makanan ini mampu meredakan emosi Kia dan membuat perasaannya kembali membaik.
Hanya 7 menit Arfan sudah selesai dengan masakannya. Dia membawa dua mangkok itu menuju kamar Kia. Tanpa mengetuk pintu, dia membuka pintu dengan lengannya.
Kia terkejut saat mendengar pintu yang dibuka. Dengan cepat dia meraih selimut untuk menghapus air matanya. Dia menoleh saat mencium aroma nikmat dari makanan yang Arfan bawa.
Arfan duduk di atas karpet dan meletakkan makanannya, "Ayo, temenin saya makan."
Melihat itu, Kia tersenyum dan mengusap hidungnya yang basah. Dengan cepat dia turun dari kasur dan duduk di hadapan Arfan.
"Makasih, Mas."
"Hm," jawab Arfan tak acuh.
Kia mulai makan dengan nikmat. Memang benar jika mie instan buatan orang lain jauh terasa lebih enak. Bahkan hanya dalam hitungan menit, dia sudah menghabiskan makanannya.
"Kenyang banget," gumam Kia mengelus perutnya.
Arfan berdiri dan membawa mangkok kosong miliknya dan Kia, "Sekarang kamu istirahat, besok bangun subuh dan belajar sebentar," ucapnya keluar dari kamar.
Kia yang mendengar itu membulatkan matanya tidak percaya. Dengan kesal dia meraih bantal dan melemparkannya ke arah pintu, "Nyebelin!" teriaknya kesal.
Memang hanya Arfan yang mampu menciptakan perasaan nano-nano di hatinya. Dasar bunglon!
***
TBC
Enam tahun kemudian."Halo, Yah. Apa kabar?" tanya Kia sambil mengusap batu nisan ayahnya."Ayah pasti bahagia di surga sama Ibu." Kia juga mengelus batu nisan ibunya."Ayah sama Ibu nggak perlu khawatir, aku juga bahagia di sini. Mas Arfan jaga aku dengan baik selama ini."Arfan tersenyum sambil mengelus kepala istrinya sayang. Di dalam hatinya, Arfan tidak pernah berhenti mengucapkan terima kasih pada Pak Surya karena sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Kia. Sudah bertahun-tahun berlalu tapi perasaannya masih sama. Arfan masih tetap mengagumi Kia dan rasa itu semakin bertambah setiap harinya."Ayo, Sayang. Sapa Kakek sama Nenek," ucap Kia mengelus kepala anaknya."Halo, Kek," sapa Bima."Halo, Nek," sapa Bian.Arfan tersenyum dan ikut mengelus kepala dua jagoannya. Abimana Putra Ghaisan dan Abiandra Putra Ghaisan, putra kembar Arfan dan Kia yang sudah berumur empat tahun saat ini."Sekarang aku tau gimana perasaan Ayah dulu waktu jaga aku. Maaf karena aku nakal dan sering biki
Kehidupan rumah tangga yang Arfan inginkan sejak dulu sudah bisa ia rasakan sekarang. Dua bulan setelah resepsi, tidak ada penyesalan di hatinya untuk memutuskan hidup bersama Kia. Arfan bersyukur bisa mengenal keluarga Pak Surya yang berakhir menjadi menantu pria itu. Meskipun Kia dengan sifat uniknya sering membuat kepalanya pusing, tapi justru itu yang membuat hari-harinya menjadi menyenangkan.Seperti saat ini, Arfan terbangun saat mendengar suara gaduh dari lantai bawah. Perlahan dia membuka mata dan melihat jam yang tertempel di dinding. Sudah pukul delapan pagi tapi ia baru membuka mata sekarang. Tidak masalah, hari ini adalah hari sabtu. Dia akan menikmati hari liburnya dengan bersantai.Suara gaduh dari lantai bawah tidak kunjung berhenti. Dengan segera Arfan bangkit dan meraih celana pendeknya yang tergeletak di atas lantai. Tak lupa dia juga mengenakan kaosnya sebelum keluar dari kamar. Saat tidak melihat Kia di sampingnya, Arfan yakin jika wanita itu yang membuat kegaduhan
Kia tersenyum saat melihat pasir putih di hadapannya. Dengan segera dia melepas alas kakinya dan berlari ke tepi pantai. Senyumnya semakin merekah saat merasakan air dingin mulai menyentuh kakinya. Dia terus berlarian tanpa mempedulikan Arfan yang berdiri jauh di belakangnya. Dari kejauhan, Arfan bisa melihat Kia yang tampak bahagia. Dengan dress pantai berwarna kuning, wanita itu semakin terlihat cantik. Pemandangan pantai semakin terlihat indah karena ada Kia di sana. Arfan mulai mengeluarkan ponselnya dan memotret Kia berulang kali. Dia kembali tersenyum saat melihat hasil jepretannya. "Cantik," gumamnya. Arfan dan Kia baru sampai di Pulau Lombok siang tadi. Setelah beristirahat sebentar, mereka memutuskan untuk ke pantai sore ini. Tidak begitu jauh, karena pantai terletak di belakang villa yang mereka tempati. Terlihat cukup sepi dan nyaman. Mereka bisa menikmati matahari terbenam tanpa ada gangguan. "Sini, Mas. Ayo berenang!" ajak Kia. Arfan menggeleng dan duduk di salah sat
Hari resepsi pernikahan telah tiba. Senyum bahagia tidak pernah luntur dari dua bintang utama malam ini, Kia dan Arfan. Sedari tadi mereka terus berdiri untuk menyambut para undangan yang datang. Ucapan selamat tak henti berdatangan untuk mereka. Kia membuka mulutnya tidak percaya saat melihat ada rombongan tamu lagi yang datang. Dia yakin jika mereka bukanlah tamunya. Sampai saat ini Kia masih tidak percaya jika pria pendiam seperti Arfan memiliki banyak teman. Mereka memang menyebar banyak undangan tapi tidak pernah terbesit di pikiran Kia jika akan sebanyak ini. "Mas Arfan temennya banyak banget? Aku kira cupu." "Rata-rata temen bisnis sama orang kantor, sisanya temen kuliah," bisik Arfan. "Banyak orang penting dong di sini?" "Banyak banget," jawab Arfan kembali tersenyum saat beberapa tamu mulai menghampiri mereka. "Selamat Arfan, akhirnya nikah juga," ucap salah satu tamu. "Terima kasih, Pak Ricky." "Cantik istri kamu, Fan. Pantes nolak dijodohin sama anak Ibuk." Kali ini
Perjalanan ke Surakarta berlangsung dengan lancar. Selama dua bulan ini Arfan dan Kia sudah mengurus semua hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan mereka. Setelah disibukkan dengan persiapan resepsi yang juga menguras tenaga, waktu, dan pikiran, akhirnya mereka bisa bersantai. Hari ini mereka memutuskan untuk menjemput Ibu Arfan di desa. "Tutup jendelanya, Ki. Nanti masuk angin," ucap Arfan sambil mengelus kepala istrinya. "Nggak mau, seger banget liat sawahnya," ucap Kia tersenyum sambil melihat hamparan sawah hijau di hadapannya. Arfan tersenyum tipis dan kembali fokus pada jalanan desanya yang tidak rata. Kedatangan mereka kali ini dilakukan secara mendadak dan tanpa kabar. Kia yang memintanya karena dia ingin memberi kejutan untuk Ibu Arfan. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan mertuanya. "Sawahnya Bapak yang mana, Mas?" "Di sana, besok aku ajak kamu ke sana." Tunjuk Arfan pada area sawah yang berada jauh darinya. "Ih, nggak sabar!" Kia menutup jendela mobil dan duduk deng
Bereksperimen di dapur adalah hal yang Kia sukai saat ini. Setelah pulang kuliah, dia memutuskan untuk kembali bermain di dapur. Beruntung Mbok Sum tidak berkegiatan di dapur saat ini sehingga Kia bisa bebas memakainya."Kamu siapin warna apa aja, Nduk?" tanya Ibu Arfan.Kia kembali menatap ponselnya untuk melihat Ibu Arfan yang tengah menjahit. Kepalanya bergerak ke segala arah untuk mencari pewarna makanan yang baru saja ia beli. Saat ini Kia memang melakukan panggilan video bersama Ibu Arfan untuk bertanya bagaimana cara membuat cupcake. Lagi-lagi resep andalan keluarga yang ingin ia buat."Warna merah sama hijau, Buk.""Udah beli lilin juga?"Dahi Kia berkerut, "Buat apa, Buk?" tanyanya bingung.Ibu Arfan berhenti menjahit dan mulai melihat Kia."Loh bukannya kamu mau bikin kue buat Arfan?"Kia menggaruk lehernya bingung, "Iya, Buk. Buat Mas Arfan, buat aku, sama Mbok Sum juga. Tapi kenapa pakai lilin?""Kan Arfan ulang tahun hari ini, Ki. Ibuk pikir kamu sengaja mau bikin kue bua
Di depan sebuah cermin, Kia tidak bisa berhenti untuk tersenyum. Dia kembali memoles bibirnya dengan lip cream yang ia bawa. Sebelum benar-benar keluar dari toilet, dia merapikan penampilannya sekali lagi."Cakep banget gue, pantes Mas Arfan klepek-klepek," gumam Kia terkekeh.Dia keluar dari toilet dan kembali ke mejanya. Dia sana Kia bisa melihat Arfan yang tengah memainkan ponselnya. Dia juga bisa melihat jika makanan yang mereka pesan sudah datang."Wah, kayanya enak nih." Kia duduk sambil mengusap tangannya senang.Arfan memasukkan ponselnya dan menarik piring Kia. Tanpa banyak bicara dia memotong daging di piring Kia menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Melihat itu, Kia tidak bisa menahan senyumnya.Malam ini adalah malam yang istimewa bagi mereka. Setelah disibukkan dengan urusan kantor dan kampus, akhirnya mereka bisa menikmati waktu berdua. Arfan secara mendadak mengajaknya untuk makan malam bersama. Dalam artian benar-benar makan malam romantis dengan lilin di tengah
Arfan tersenyum saat melihat foto tangannya. Dia memasukkan foto itu ke dalam pigura dan meletakkannya di atas meja kerja. Perlahan dia mulai duduk kembali menatap wajah Kia yang saat ini sudah resmi terpajang di meja kerjanya.Sejak malam itu, malam di mana Arfan dan Kia tidur bersama untuk yang pertama kali, hubungan mereka mulai berubah. Arfan yang mulai merobohkan tembok di antara mereka. Jika tidak ada yang bergerak maka hubungan mereka tidak akan berkembang. Keinginan Arfan hanya satu, dia ingin mereka memiliki hubungan suami-istri yang sebenarnya. Sepertinya Kia juga mulai membuka diri dan belajar secara perlahan. Benar kata ibunya, dengan perasaan cinta yang tumbuh di hati mereka, perubahan akan semakin mudah dilakukan.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Arfan. Dia berdeham sebentar dan meminta seseorang di luar sana untuk masuk. Seperti dugaannya, ada Nadia di sana."Selamat pagi, Pak. Saya ingin meminta tanda tangan dan membacakan jadwal Pak Arfan hari ini.""Biar saya
Keadaan dapur malam ini terlihat seperti kapal pecah. Ini karena Kia yang tiba-tiba membantu Mbok Sum untuk memasak. Sebenarnya dia tidak banyak membantu, tapi Mbok Sum menghargai usahanya yang ingin belajar memasak. Jika bersungguh-sungguh, Mbok Sum akan dengan senang hati mengajarinya. "Tambah bubuk kaldunya dikit lagi, Mbak." Kia dengan segera memasukkannya ke dalam sop ayam yang ia buat. "Aduk yang rata." Lagi-lagi Kia menurut. Dia mengikuti perintah Mbok Sum tanpa membantah. Bahkan di sampingnya ada buku catatan yang ia gunakan untuk menulis resep andalan Mbok Sum. "Cobain, Mbok." Kia memberikan sendok berisi kuah pada Mbok Sum. Dia menatapnya dengan harap-harap cemas. "Mantep, Mbak!" "Akhirnya!" Kia bertepuk tangan senang. Sebenarnya tidak sulit untuk membuat sop, hanya saja resep andalan Mbok Sum memiliki bahan tambahan. Kia yang sudah terbiasa dengan masakan Mbok Sum tentu ingin mengetahui resepnya. "Pasti Mas Arfan suka," ucap Mbok Sum. Kia mengangguk dan melepaskan