Empat tahun yang lalu…
Freya berjalan menelusuri lorong-lorong kampusnya. Ia bukan lagi mahasiswa polos yang baru saja selesai ospek. Beberapa tempat di kampus itu sudah sangat familiar bagi Freya. Setiap hari ia menyusuri lorong-lorong itu bukan untuk menuju ke kelasnya. Ia melakukan itu demi melihat pria yang ia suka, Arga.
Pria berbadan tegap itu cukup populer di kampus Freya. Mahasiswa matematika murni itu memang terlihat sangat menawan. Bahkan Freya pun jatuh hati padanya. Bagaimana tidak, perawakannya yang bagus, otaknya yang cukup jenius, ditambah hobinya bermain basket di lapangan kampus mampu membuat para mahasiswi tertarik padanya.
Setiap sore, Freya menunggu. Menuggu waktu yang tepat untuk melihat ke arah lapangan kampus. Disitu, pasti ada pujaan hatinya.
Sore itu seperti biasa, Freya melangkah ke sisi lapangan. Ia melihat Arga tengah bermain basket disana. Hujan gerimis seakan menambah pesona pria itu.
“Frey.” Sebuah tangan menepuk bahu Freya.
“Hai, Dit.” Jawab Freya sambil tersenyum.
“Kau disini untuk Arga?” tanya Dita.
Freya hanya tersenyum. Ia tahu sahabatnya itu mengerti hatinya. “Kalau kau memang menyukainya, kenapa kau tidak memberitahunya?” tanya Dita.
“Kau gila? Dia populer di kampus. Sedangkan aku?” tanya Freya.
“Bahkan mungkin dia tidak pernah melihatku. “
“Sudah banyak mahasiswi cantik di sekitarnya, kau pikir kenapa dia harus memandangku?”
“Jadi, sampai kapan kau akan memendamnya?” tanya Dita.
Freya tertunduk lesu. Ia terlalu sadar diri untuk mengatakan bahwa dirinya menyukai Arga. Ia sadar, ia tak cukup cantik untuk bersanding dengan Arga. Yang Freya tahu, dia hanya gadis gemuk yang memimpikan pria populer di kampusnya.
“Aku justru tidak mau dia tahu.” Ucap Freya.
“Kenapa?” tanya Dita.
“Aku ini bukan siapa-siapa, Dit. Kau lihat? Aku tidak cantik.” Jawab Freya.
“Semua gadis cantik, Frey.” Jawab Dita.
“Ya, kecuali aku. Kau lihat tubuhku? Aku gemuk, kulitku juga tidak bagus, kusam.” Jawab Freya.
“Mana mungkin dia menyukaiku?”
“Kau cantik, Frey. Kau sangat cantik.” Jawab Dita.
“Kau hanya perlu sedikit keberanian untuk menunjukkannya.”
“Aku harus bagaimana?” tanya Freya.
Freya kembali menatap ke lapangan. Padangannya kembali mengikuti gerakan pria yang ia sukai itu. Tiba-tiba mata mereka saling berpandangan. Untuk berapa saat, jantung Freya seakan berhenti. Freya benar-benar terkejut saat Arga menatap matanya. Freya terdiam, ia tak tahu harus melakukan apa.
“Tersenyumlah.” Bisik Dita.
Freya sedikit menunjukkan senyumnya. Mata Arga pun berlalu.
“Apa aku salah?” tanya Freya.
“Kenapa dia membuang muka?”
“Jangan berlebihan. Dia sedang bermain basket. Mungkin dia tidak sengaja melakukan itu.” Jawab DIta.
“Sudah kubilang, dia tidak akan menyukaiku.” Jawab Freya.
“Ayolah, Frey. Jangan berpikir seperti itu.” Jawba DIta.
“Kau mau pulang bersama?” tanya Freya.
Dita mengangguk. Tak lama, mereka pun meninggalkan tempat itu. Freya berusaha tersenyum, tapi dalam hati ia sebenarnya sedih. Banyak pikiran negatif menyerang otaknya. Ia tak bisa berhenti memikirkan hal tadi.
“Mungkin senyumku menyeramkan.” Batin Freya.
“Dit, apa seorang gadis harus bermake-up?” tanya Freya.
“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu? Bukankah kau tidak menyukai itu?” tanya Dita.
“Apa kau mau mengajariku?” tanya Freya.
“Aku ingin mencoba memakai make-up.”
“Kau sedang tidak ingin mencari perhatian Arga, bukan?” tanya Dita.
“Aku hanya ingin bersikap normal seperti gadis lainnya.” Jawab Freya.
“Aku mahasiswi semester lima, tapi sekali pun aku tidak pernah memakai make-up. Kau pikir itu normal?”
“Frey, jadilah dirimu sendiri.” Kata Dita.
"Berubah untuk orang lain hanya akan menyakitimu."
"Kadang kita berusaha berubah agar orang lain menyukai kita, tapi bisa saja itu semua menjadi palsu."
"Dan kau tahu siapa yang akan menderita nantinya?"
"Itu kau sendiri."
“Ya, ya, aku paham itu. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri.” Ucap Freya.
"Jangan sampai demi pria itu, kau menyiksa dirimu sendiri." jawab Dita
"Dita, aku paham apa yang akan kulakukan." ucap Freya
"Tidakkah itu berlebihan?" tanya Dita.
"Kalaupun setelah ini Arga menyukaimu, itu berarti dia tidak menyukaimu apa adanya."
"Dia hanya menyukai dirimu yang bermake-up."
"Dia hanya menyukai wajahmu, bukan dirimu."
"Ayolah, Dit. Kita bahkan belum mencoba hal ini." ucap Freya.
"Aku hanya ingin mencoba sekali saja. Aku berharap ini berhasil."
Sejenak Dita terdiam. Dia semakin khawatir akan sahabatnya itu. Tapi Dita tak punya pilihan lain. Ia juga tidak mau mengecewakan Freya.
***
Sudah beberapa hari Dita mengajari sahabatnya memakai make-up. Meski dalam hati ia sebenarnya mengkhawatirkan Freya. Ia khawatir, kekagumannya pada Arga akan mengubah dirinya. Belum lagi, kalau semua itu hanya berbuah kekecewaan. Dita, tak ingin itu semua terjadi pada sahabatnya.
“Besok, aku akan mencoba memakai make-up ke kampus.” Kata Freya.
“Kau pasti terlihat lebih cantik.” Jawab Dita.
"Benarkah?" tanya Freya.
"Kadang aku heran, apakah sepenting itu kecantikan untuk seorang wanita?"
"Maksudku, apakah ungkapan bahwa semua wanita itu cantik hanyalah kebohongan semata?"
"Frey, semua wanita cantik di mata orang yang tepat. Jadi jangan khawatir." jawab Dita.
***
Keesokan harinya, Freya benar-benar memakai riasan wajahnya. Ini kali pertama baginya memakai riasan wajah ke kampus. Agak sedikit canggung bagi Freya, tapi ia berusaha tetap tenang. Freya tersenyum ketika beberapa teman memuji penampilan barunya, tapi ia juga mendapat beberapa tatapan risih dari temannya yang lain.
Freya tak ambil pusing. Bukan mereka tujuan utama Freya. Hanya Arga.
Sore harinya, Freya kembali ke lapangan basket sambil membawa sebotol air mineral. Ia berharap sore ini, ia punya keberanian untuk memanggil pujaan hatinya itu.
Awalnya, Freya duduk dengan tenang sambil memandang beberapa pria yang sedang bermain basket. Saat mereka berhenti, Freya berusaha memantapkan hatinya.
“Arga!” Suara itu akhirnya keluar dari mulut Freya. Entah mendapat keberanian darimana sampai-sampai Freya berani meneriakkan nama itu.
Arga dan beberapa temannya mendekati Freya. Jantung Freya berdegup semakin kencang. Ia meremas tangannya yang sudah mulai dingin.
Sekarang, beberapa mata menatap Freya. Freya hanya tertunduk malu, lalu memberikan sebotol air mineral itu ke Arga.
“Ini untukku?” tanya Arga.
Freya mendongak. Ia tak percaya kini pria itu ada di depannya. “Ya.” Jawab Freya lirih.
Arga tersenyum tipis. “Hei, kalian tahu siapa badut ini?” ucap Arga dengan sombong.
Hati Freya hancur seketika. Terdengar tawa keras Arga dan teman-temannya, tapi apa yang dirasakan Freya justru seperti terhempas di tempat yang sangat sunyi.
Untuk sesaat, ia tak percaya apa yang baru saja Arga ucapkan padanya. Lalu, Freya memilih untuk bangkit dan pergi dari tempat itu.
“Hei! Kau mau kemana!” seru Arga di belakang.
Freya tak peduli. Ia meneruskan langkahnya sambli tertunduk lesu. Air matanya mengalir begitu saja. Ia belum pernah mendengar ucapan yang begitu kasar dan sialnya, ucapan itu keluar dari mulut pria yang ia suka.
Sampai di kamar, Freya langsung membanting tubuhnya ke ranjang. Ia tak bisa membendung air matanya. Ucapan Arga sangat menyakitkan baginya. Ia sudah bersusah payah untuk belajar merias wajahnya. Freya pikir, itu akan berdampak baik baginya. Tapi, ia justru salah. Keputusannya itu, justru membawa kekecewaan mendalam baginya. Suara Arga masih terngiang di telinganya. Bagaimana pria itu menyamakan Freya dengan badut dan bagaimana teman-teman David tertawa. Sesaat, ia memikirkan ucapan Dita. Memang benar kata sahabatnya itu. Berubah untuk orang lain hanya membawa sakit hati untuknya.Setelah beberapa lama menangis, Freya beranjak. Ia duduk di depan cerminnya sambil mengasihani dirinya sendiri. “Aku bersumpah tidak akan melakukan h
Sejak makan siang bersama beberapa waktu lalu, Arga dan Freya semakin dekat. Tak jarang, Freya memberikan hadiah-hadiah kecil untuk pria pujaan hatinya itu. Hari-hari terasa semakin indah bagi Freya. Tak jarang, Arga pun memberikan perhatian-perhatian khusus pada Freya. “Frey, apa yang kau bawa?” tanya Dita. “Ah ini, makan siang untuk Arga.” Jawab Freya. “Kau semakin dekat dengannya. Apa ada hubungan spesial?” tanya Dita. “Aku nyaman dengannya. Dia juga mungkin menyukaiku.” Ucap Freya.“Kami sering pergi bersama akh
Freya duduk sendirian di tepian jalan. Malam makin larut tapi Freya tak peduli. Ia merasa sangat hancur. Dan sekarang penampilannya pun sudah sangat lusuh. Pipinya basah oleh air mata. Dress yang ia pakai sudah kusut dan kotor karena Freya duduk begitu saja di jalanan.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan Freya. Lalu seorang pria turun menghampirinya. “Hai nona, kau butuh tumpangan?” tanya pria itu. “Tidak, pergilah. Aku tidak butuh siapapun.” Jawab Freya lirih.“Tapi ini sudah hampir larut. Tidak baik seorang gadis sendirian disini.” Jawab pria itu.“Percayalah padaku, aku akan mengantarmu
Setelah wisuda, Freya berusaha mencari pekerjaan yang layak untuknya. Ia terpaksa berpisah dengan sahabatnya untuk mencari kesempatan yang lebih baik. Freya pindah ke sebuah tempat di pinggiran kota. Ia berharap bisa mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan kecil disana. Lagi-lagi Freya tinggal di kamar kos yang sempit dengan perabotan seadanya. Tidak jauh beda dengan kamar kosnya yang dahulu. Freya sadar, ia tidak seberuntung orang lain. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membangun bisnis sendiri atau melanjutkan kuliah. Yang Freya tahu ia hanya harus bekerja. Setiap hari ia berjalan mencari-cari lowongan pekerjaan. Satu demi satu lamaran pekerjaan ia sampaikan di gedung-gedung perusahaan kecil. Sayangnya, setelah menunggu dua minggu belum ada satupun perusahaan yang memanggilny
“Terimakasih.” Ucap Freya.David kembali tersenyum. Ia tak tahu kenapa gadis itu terasa menarik bagi Freya. Dan memang benar, dialah yang membuat David bertahan di tempat makan menjijikan seperti tadi. Entah apakah tempat itu pantas untuk disebut tempat makan. David yakin ada yang berbeda dengan gadis itu. Kalau tidak, tidak mungkin David mau membawa gadis itu pergi. “Frey, bagaimana jika kau berangkat bersamaku besok?” tanya David. “Hmm sebelumnya, aku tidak bermaksud apa-apa.” “Kupikir, itu akan menghemat uangmu bukan?”
David berjalan dengan gelisah di ruangannya. Sudah pukul setengah sepuluh, tapi sosok Freya belum juga muncul. “Sudah terlambat tiga puluh menit, kenapa dia tidak datang?” ucap David.“Apa dia tidak mempercayaiku?” “Arrgghhh!” Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Krisna masuk dengan santainya ke ruangan itu. “Ada apa? Kau terlihat gelisah.” Ucap Krisna.‘Aku sedang menunggu seseorang.” Jawab David.
Krisna membuka pintu ruangan David. Ia begitu terkejut melihat sosok wanita yang duduk di ruangan itu. “Freya?” ucap Krisna.“Kris, hai!” seru Freya dengan gembira.“Kau bekerja disini?” Krisna mengangguk. “Dan kau tahu apa yang lebih istimewa? Dita juga bekerja disini.” Kata Krisna. Freya berteriak gembira. Ia sama sekali tak tahu kalau sahabatnya itu berada di kantor yang sama dengannya. “Benarkah?” ucap Freya.“Kalian saling kenal?
Dita melangkah bersama kekasihnya untuk kembali ke ruang kerja mereka masing-masing. “Rasanya sedikit aneh.” Ucap Dita.‘Sejak kapan ada lowongan untuk menjadi asisten David?” “Setahuku tidak ada lowongan kerja di posisi itu selama ini.” “Memang benar.” Kata Krisna.“Lagipula, untuk apa David butuh asisten? Sepertinya dia lebih nyaman bekerja sendirian.” Jawab Dita. “Apa ada sesuatu antara mereka?” “Tapi kelihatannya Frey