“Sudah cepat makan. Jangan mengoceh terus.” Retta yang malas menanggapi pujian sang suami pun memilih mengakhirinya. Menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya. Rylan hanya bisa tersenyum. Dia mengikuti Retta yang akan makan. Ingin segera merasakan masakan yang dibilang Retta adalah buatannya. Rylan menyodorkan piringnya. Meminta Retta untuk mengisinya dengan makanan. Retta yang melihat itu pun mengisi makanan di piring Rylan. Tak mau berdebat di meja makan. Apalagi dia sudah begitu lapar. Rylan senang ketika sang istri melayani dengan baik. Tak membuang banyak waktu, dia pun bergegas memakan masakan Retta. Rylan akui rasa masakan begitu enak. Jadi membuatnya semakin tidak percaya jika istrinya itu yang memasak. “Rasa masakan ini mengalahkan rasa masakan chef bintang lima.” Rylan benar-benar merasakan masakannya begitu enak. 'Ini yang buat chef bintang lima, bagaimana bisa mengalahkan? Aneh!' Retta hanya bisa menggerutu dalam hatinya. “Ini pakai saus apa?” Rylan menunjuk satu masak
Retta tidak bisa berbuat apa-apa ketika Rylan mengajaknya ke supermarket. Saat turun dari mobil, dia memilih mengekor saja di belakang Rylan, sambil memikirkan apa yang harus dilakukannya. Jika sampai Rylan bertanya akan masak apa, dia pasti akan kebingungan. “Jangan berjalan di belakangku seperti itu.” Rylan menarik tangan Retta. Membawanya ke sampingnya. “Kamu ini adalah pendampingku yang harusnya berjalan di sampingku, bukan di belakangku.” Jika mungkin wanita lain yang mendengar apa yang dikatakan Rylan, pastinya mereka akan terpesona. Terbuai dan merasa begitu berharga dirinya. Sayangnya, bagi Retta, itu tampak biasa saja. Karena belum ada cinta di hati Retta. Mereka masuk ke supermarket. Rylan dengan sigap mengambil troli belanjaan. Kemudian mendorongnya masuk. Retta yang seharusnya berjalan di depan untuk menuntun ke mana mereka harus melangkah, memilih untuk berjalan di samping Rylan. Dia tidak tahu ke mana harus melangkah. Lorong mana yang harus mereka tuju. “Masak apa ki
Rylan langsung tertawa. “Kamu yang menjanjikan akan memasak. Jadi aku mau tahu seberapa besar usahamu untuk memenuhinya. ““Sejak kapan kamu tahu?” tanya Retta yang ingin tahu. “Sejak kita makan di rumah.” Rylan tersenyum. “Kamu tidak sama sekali membantu mama, jadi pasti jelas kamu tidak belajar dari mama.” Dia melanjutkan ucapannya. “Jadi kemarin kamu tahu jika makanan yang aku siapkan bukan makanan yang aku masak?” Retta mencoba menebak kembali. “Iya, jelas aku tahu. Tidak ada sisa masak sama sekali di dapur. Sisa bahan juga tidak ada, lalu bagaimana bisa kamu bilang jika memasak.” Rylan semakin tertawa keras. Sesaat setelah makan kemarin, Rylan memang langsung mengecek keadaan dapur. Mengecek isi lemari pendingin. Sayangnya, tidak ditemukan apa-apa di sana. Sehingga, Rylan memastikan jika istrinya tidak memasak. Retta menekuk bibirnya. “Jika kamu sudah tahu, aku tidak akan repot-repot berusaha masak.” Rasanya Retta benar-benar kesal. “Oke, maaf.” Rylan tersenyum. “Sebagai p
“Tidak masalah apa pun alasannya. Yang terpenting adalah kamu sudah mau masuk ke kehidupanku.” Rylan melebarkan senyumnya. Rasa senangnya kali ini melebihi apa pun.Retta yang melihat Rylan hanya bisa menautkan alisnya keheranan. Sepertinya apa yang dilakukannya sudah membuat Rylan besar kepala. “Terserah apa yang kamu pikirkan.” Retta tidak mau berdebat dengan Rylan. Dia memilih untuk segera kembali ke kamar. Malas jika urusan semakin panjang. Rylan yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum saja. Dia sadar mungkin Retta belum sepenuhnya bisa menerimanya. Namun, jika dia memberikan celah sedikit seperti ini, pastikan dia akan bisa membuatnya masuk ke dalam hati Retta. “Berjuanglah, Rylan.” Rylan memberikan semangat untuk dirinya sendiri. ⭐⭐⭐Rylan dan Retta masih tidur dengan pembatas guling di tengah-tengah. Rylan pun tidak pernah melewati batasannya. Terlebih lagi Retta selalu berjaga karena takut Rylan melakukan apa-apa. Hal itu membuat Rylan akhirnya memutuskan untuk tidak men
Retta duduk di depan cermin. Dia bingung apa yang harus dilakukannya. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambutnya. Namun, tiba-tiba Retta berubah pikiran. Hal yang harusnya dilakukan adalah memoles wajahnya lebih dulu. Hal itu bisa sambil menunggu rambutnya sedikit kering. Saat menatap kaca, dia melihat suaminya dari pantulan cermin. Sang suami masih duduk manis di sofa. Tidak beranjak sama sekali. “Kamu sedang apa di sana?” Retta begitu penasaran dengan yang dilakukan oleh suaminya. “Menunggu.” Rylan dengan tenangnya menjawab. Retta mengerutkan dahinya. Tidak mengerti yang dimaksud oleh Rylan. “Menunggu apa?” “Menunggu sesuatu turun.” Rylan pria normal. Tadi ketika melihat sang istri. Sesuatu yang bawah sana terbangun dari tidurnya. Hal itu membuat Rylan merasakan sesak di celananya. “Apa yang turun?” Retta melihat ke langit-langit kamarnya. Memastikan apa yang dimaksud oleh Rylan. Rylan ikut melihat ke langit-langit. Dia pun langsung
Retta membulatkan matanya ketika suara Rylan tepat di telinganya. Hal itu membuat jantungnya semakin berdesir. Suara Rylan yang begitu merdu di telinganya, membuatnya seperti mendapat sengatan listrik. “Tolong tuangkan ke botolku.” Rylan mengulang kembali permintaannya. Retta mengangguk. Namun, dia tiba-tiba begitu gugup. Dia yang menuang air ke botol minum milik Rylan pun justru menumpahkannya. Rylan yang melihat hal itu pun langsung memegang tangan Retta. Membantu Retta agar tidak tumpah menuang air. “Kenapa harus gemetar? Aku bukan hantu.” Rylan menarik senyum di sudut bibirnya. Sedari tadi dia melihat Retta yang begitu gemetar. Hal itu membuatnya gemas sekali. Seketika Retta menatap Rylan. “Kamu memang hantu yang datang secara tiba-tiba di hidupku!” ucapnya. Rylan meletakkan jar yang dipegangnya bersama dengan tangan Retta. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Retta. “Aku hantu tampan?” Rylan menatap Retta yang menatapnya. Tatapan Rylan yang penuh damba, membuat Retta terd
Rylan begitu bersemangat untuk ikut Retta dan Lora berenang. Dia pastinya akan memanfaatkan dengan baik nanti di kolam renang. Di samping menjaga keponakannya. Rylan masuk ke apartemen. Saat sampai, tampak Retta sedang mempersiapkan keperluan untuk berenang. Dia meletakkan di salah satu tas.“Mana baju renang Lora.” Retta pun meminta Rylan untuk memberikan baju renang keponakannya itu. “Ini.” Rylan memberikannya. Dia memilih baju dengan warna pink kesukaan Lora. Retta langsung menerima dan kemudian memasukkan ke dalam tas. “Punyaku juga sudah dimasukkan?” Rylan mengintip Retta yang sedang memasukkan baju ke dalam tas. “Kamu juga ingin berenang?” Retta pun menatap Rylan. Dia tidak tahu jika sang suami berniat untuk berenang juga. “Tentu saja. Kapan lagi aku bisa menikmati momen ini?” Dengan tanpa sadarnya Rylan mengatakan akan hal itu. Retta menautkan kedua alisnya. Merasa bingung dengan apa yang diucapkan oleh Rylan. “Momen apa?” tanyanya bingung. Rylan terkesiap. Dia merasa j
Retta yang mendapati bibir Rylan tepat berada di bibirnya begitu terkejut. Walaupun itu hanya sebuah kecupan singkat, tetap saja membuatnya terkejut. “Kenapa mencium bibirku?” tanya Retta kesal bercampur malu. Dia tidak suka ketika berada di tempat umum Rylan menciumnya seperti itu. “Aku mau menciumu di pipi, tetapi sayangnya kamu menoleh. Jadi bukan salah aku juga menciummu di bibir.” Rylan tersenyum. Dia puas sekali bisa mendapatkan bibir manis Retta. “Aunty-Aunty ayo kita mau plosotan.” Lora pun mengajak Retta untuk bermain perosotan dan menikmati dari ketinggian berseluncur. Retta yang hendak kesal pun memilih untuk mengalihkan fokus pada Lora. Membuang semua rasa kesalnya pada Rylan dengan bermain. “Ayo,” ajak Retta mengulurkan tangan pada Lora. Mereka berdua menuju ke perosotan. “Uncle, nanti telima aku ya.” Lora pun memberikan perintah pada sang paman dari ketinggian.“Iya.” Rylan mengangguk. Mengerti yang diminta oleh sang keponakan. Retta dan Lora menuju seluncuran air.