Retta mengerjap. Perlahan dia membuka matanya yang terasa berat. Semalam Retta menangis. Jadi matanya terasa begitu sulit untuk dibuka. Semalam dia juga mengurung diri di dalam kamar. Dia masih meratapi semua yang terjadi padanya. Retta semakin terisak ketika mengingat hari ini adalah pernikahannya. Sungguh menyesakkan mengingat akan hal itu.
Suara pintu terbuka, Retta yang berada dalam selimut mengintip sedikit dari balik selimut. Namun, dahinya berkerut dalam ketika melihat siapa dan apa yang dibawa. Dengan segera Retta membuka lebar selimutnya. Berangsur bangun dari tidurnya. “Kenapa gaun itu Kakak bawa ke sini?” Retta kesal sekali melihat gaun pernikahannya. Jika dulu dia begitu menyukai gaun itu, sekarang tidak. Dia membenci gaun itu karena mengingatkan rasa sakit yang sedang dirasakan. Retta sadar jika dia sendiri yang memilih gaun pernikahan itu. Gaun itu benar-benar sesuai dengan keinginannya. Gaun dengan potongan pendek itu sengaja dipilihnya mengingat jika pernikahan diadakan di pinggir pantai. Retta ingin terlihat santai dengan menggunakan gaun selutut dengan warna salem.
“Untuk pernikahanmu, untuk apa lagi?” Shera menjawab enteng.
“Apa Kakak sadar jika sudah tidak ada lagi pengantin prianya. Lalu apa aku harus menjalani prosesi pernikahan itu sendiri?” Retta terisak. Sedih sekali jika benar hal itu terjadi.
“Bukannya kamu sudah janji akan menerima konsekuensinya?” Shera menatap adiknya yang sedang berapi-api menjawab. Dia membungkukkan tubuhnya. Mendekatkan wajahnya pada adiknya. “Jadi pakailah dan jadilah pengantin, agar papa tidak malu karena ulahmu.” Shera tidak mau berdebat. Dia langsung bergegas keluar dari kamar.
“Kak.” Retta berteriak memanggil kakaknya. Kakaknya benar-benar membuatnya kesal. Retta mengalihkan pandangannya pada gaun yang tergantung. Kemudian mengalihkan pandangannya. Rasa sakit sekali melihat gaun tersebut.
“Apa dia bilang aku akan tetap menikah? Apa aku akan di pelaminan sendiri?” Retta memukul tempat tidur. Dia benar-benar kesal. Bisa-bisanya kakak dan keluarganya tetap melangsungkan pernikahan.
“Cepat mandi karena penata rias akan segera datang.” Pintu kembali terbuka. Memberikan peringatan pada Retta.
“Aaachhh …” Retta menjerit kesal. Hari ini adalah hari terburuk yang pernah dirasakannya. Sungguh Retta tak mau sampai terulang kembali. Ini serasa mimpi buruk yang menghampirinya.
🌺🌺🌺
Retta mandi bukan untuk bersiap seperti yang diminta oleh kakaknya, tetapi lebih karena wajahnya sudah terlalu lengket karena menangis. Dia ingin sedikit menyegarkan dengan mandi.
Saat Retta keluar, dia melihat kakaknya dengan seorang wanita yang Retta ketahui itu adalah penata rias yang Retta siapkan untuk acara pernikahan.
“Kenapa dia ke sini? Apa Kakak sengaja melakukan ini untuk menyiksaku dengan perasaan sedihku?” Baru saja Retta menghilangkan air matanya dengan air, tetapi kini air matanya kembali membasahi pipinya.
“Sedih? Apa kamu pikir kesedihan ini hanya milikmu?” Shera menatap tajam adiknya. “Sadarkah kamu apa yang terjadi ini berdampak buruk untuk semua. Jika mungkin kamu lebih hati-hati memilih, pastinya semua ini tidak akan terjadi.” Sebenarnya Shera tidak mau melakukan ini, tetapi adiknya tampak bersikeras hanya meratapi kesedihan. “Dengar, aku tahu apa yang kamu rasakan, tetapi kehormatan papa berada padamu, jadi bersiaplah untuk menikah.”
“Menikah? Apa Kakak sadar jika tidak ada pengantin pria yang akan mendampingiku? Lalu bagaimana bisa menikah?” Retta tidak mengerti jalan pikiran kakaknya.
“Kami sudah menyiapkan calon pengantin pria untukmu. Jadi bersiaplah.” Shera berbalik, bersiap untuk keluar dari kamar.
Sejenak Retta mencerna ucapan kakaknya. Keluarganya sudah menyiapkan calon pria untuknya. Siapa? Retta tidak menyangka jika keluarganya akan senekad itu sampai mencarikan calon suami dalam sehari.
Retta yang tersadar langsung bergegas mengejar kakaknya. Menarik tangan kakaknya. “Kalian mencarikan pengantin pria?” tanyanya memastikan. “Siapa?” Retta menatap kakaknya. Dia begitu penasaran dengan siapa dia akan menikah.
“Rylan,” jawab Shera.
Kedua bola mata Retta membulat sempurna. Pria yang sudah masuk daftar hitam calon suaminya itu akan menjadi suaminya. Sungguh di luar dugaannya jika pria itu akan menjadi calon suaminya.
Da ... Retta, sampai jumpa di pelaminan. Kalimat yang diungkapkan oleh Rylan itu terlintas di kepalanya. Kalimat itu yang diucapkan pria itu, dan kini kalimat itu menjadi kenyataan. Wajah Rylan yang menyebalkan pun tiba-tiba melintas di lensa matanya. Seolah tersenyum meledek, karena akhirnya dia jatuh pada pria muda itu.
“Kenapa harus dia?” tanya Retta.
“Karena dia adalah pilihan tepat.” Shera sudah mendengar banyak tentang Rylan dari Cia. Bagaimana Rylan menyayangi Cia dan anak-anakanya sebagai bagian keluarga membuatnya yakin jika pria itu dapat menjaga adiknya.
“Tapi, dia lebih muda dari pada aku.” Retta tidak suka dengan pria-pria seperti itu.
“Memang kenapa jika lebih muda. Aku rasa tidak masalah. Dari pada yang lebih tua, tetapi suami orang.” Shera melayangkan sindiran pada adiknya.
Retta menatap malas pada kakaknya ketika mendengar jawaban kakaknya. Siapa yang mau menikah dengan pria yang masih berpikir kekanak-kanakan. Lagi pula pasti pria seperti Rylan hanya suka bersenang-senang saja. Tidak akan memikirkan tanggung jawabnya sebagai suami.
“Tapi, aku tidak mencintainya?” Retta masih berusaha untuk menyanggahnya. Tak mau sampai hal itu terjadi. Dia tidak bisa membayangkan akan seperti apa pernikahannya.
“Lalu, kamu mau menikah dengan pria yang mencintaimu begitu? Dengan pria yang memiliki istri begitu?” tanya Shera ketus. “Aku tahu mencintai adalah hal utama dalam pernikahan, tetapi dalam hal ini, kamu tidak punya pilihan. Karena kamu mempertaruhkan nama baik papa. Jadi pikirkan ulang. Kamu lebih memilih mana? Menikah dengan orang yang kamu tidak cintai, atau membatalkan pernikahan, tetapi papa akan sangat terluka dengan apa yang kamu lakukan.” Ucapan Shera mengandung ancaman. Begitu membuat Retta tak berkutik sama sekali. “Kamu bilang akan menerima konsekuensi dari apa yang kamu perbuat bukan? Jadi sekarang terimalah konsekuensi itu. Aku harap kamu segera bersiap.” Shera berbalik dan kemudian meninggalkan adiknya.
Shera mendengus kesal. Semua seperti mimpi buruk baginya. Dia pikir setelah jalinan kisahnya dengan Gerald berakhir, dia akan menenangkan diri terlebih dahulu. Tak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun. Lebih berhati-hati untuk memilih.
Sayangnya, semua sirna ketika keluarganya telah menetapkan pernikahannya tetap berjalan, dengan pengantin pria yang lain.
“Nona, apa sudah siap untuk dirias.” Penata rias sedari tadi menunggu Retta yang berdebat.
Retta menoleh. Jalan yang dihadapinya kali ini adalah pilihan yang begitu sulit. Di satu sisi hatinya belum siap jika harus menikah dengan orang yang tidak dicintainya, di sisi lain nama baik keluarganya dipertaruhkan. Apakah Retta siap untuk menukar kebahagiaan dirinya untuk nama baik keluarganya?
🌺🌺🌺
Di saat Retta masih berada di dalam dilemanya antara memilih menikah atau tidak, Rylan bangun pagi-pagi. Menyiapkan diri untuk hari pernikahannya. Beruntung Rylan membawa jas terbaik yang dipesannya khusus. Sebelum berangkat ke Indonesia, sebenarnya dia heran kenapa ingin sekali membawa setelah jas, dan kini terjawab sudah jika takdir telah mempersiapkan semua dengan indahnya.
Rylan yang baru bangun tidur, langsung menghubungi mama dan papanya. Dia ingin mengabari jika hari ini dia akan menikah.
“Ma, aku akan menikah.” Rylan yang menghubungi mamanya menyampaikan niatnya.
“Ry, bukankah kamu ke Indonesia untuk menyusul Noah? Kenapa bisa kamu akan menikah? Apa dia sana kamu dijebak warga sana?” Mirella Asher-mama Rylan langsung melayangkan pertanyaan itu.
“Ceritanya panjang, tetapi yang jelas aku mencintai wanita yang aku nikahi ini.” Rylan tersenyum lebar. Suaranya terdengar begitu gembira.
“Rylan, kamu menikah dengan siapa?” Suara pria terdengar. Suara itu berasal dari Darwin-papa tiri Rylan.
“Iya, Pak, aku menikah dengan kerabat jauh dari Kak Cia.” Rylan mencoba menjelaskan agar mudah dimengerti.
“Kenapa harus mendadak? Harusnya kamu menikah didampingi oleh kami. Harusnya aku bisa menemanimu dalam pernikahanmu. Kamu dan Noah sama saja. Menikah tanpa mengabari kami. Apa kalian tidak menganggapku?” Papa Darwin begitu murka mendengar rencana pernikahan Rylan.
Noah yang kebetulan masuk ke kamar Rylan mendengarkan amukan sang papa. Adiknya yang menikah, tetapi dirinya yang kena juga. Walaupun apa yang dikatakan ada benarnya. Benar adanya jika dia memang tidak mengundang papanya. Terlebih lagi dulu hubungan dengan sang papa belum baik.
“Jangan berlebihan, Pa, kita bisa adakan acara pernikahan di sana.” Noah pun ikut bicara.
“Menyebalkan sekali kalian.” Papa Darwin tampak kesal dan memberikan ponsel pada istrinya. Karena setelah Papa Darwin berbicara, tak ada suara lagi.
“Noah,” panggil Mama Mirella.
“Iya, Ma,” jawab Noah.
“Mama titip Rylan, Mama hanya bisa mendoakan dari sini.”
“Mama tenang saja. Aku akan mengantarkannya sampai ke pelaminan.”
“Terima kasih,” jawab Mama Mirella, “Rylan,” panggilnya. “Jadilah suami yang baik untuk istrimu. Bertanggung jawablah dengannya. Sayangi dan cintai dia.”
Rylan tahu jika sang mama pasti sedang berusaha menahan tangis. Orang tua mana yang tidak sedih ketika anaknya menikah. Terlebih lagi tidak bisa menemani. “Iya, Ma. Aku akan menjaganya seperti aku menjaga Mama.”
“Doa Mama selalu menyertaimu.”
Rylan mematikan sambungan setelah berterima kasih pada mamanya. Sedih memang ketika menikah kedua orang tuanya tidak ada, tetapi dia bersyukur karena kakaknya masih ada. Jadi masih ada orang terdekat yang menemaninya.
“Bersiaplah, acara dua jam lagi.” Noah menepuk bahu adiknya dan kemudian berlalu keluar dari kamar. Tadi dia memang hanya ingin mengingatkan jika adiknya saja, jika pernikahan akan segera dimulai.
“Baiklah, tarik napas dan embuskan sambil berusaha mengejan.” Dr. Lyra kembali memberikan pengertian pada Retta. Retta menarik napas dan mengembuskannya sambil berusaha mengejan. “Uch ....” “Tarik napas dan embuskan kembali.” Dr. Lyra kembali memberikan aba-aba. Retta kembali mengambil napas dan mengembuskannya. “Uch ....”“Uch ....” Dia berusaha untuk mengejan. Retta benar-benar merasakan seluruh tulangnya patah. Rasanya benar-benar menyakitkan sekali. Dia benar-benar baru tahu jika menjadi seorang ibu bukan suatu yang mudah. “Ayo, Sayang.” Rylan berusaha memberikan semangat pada sang istri. “Uch ....” Retta terus berusaha mengejan. Dia mencengkeram erat lengan Rylan. Melampiaskan rasa sakitnya dengan menancapkan kuku-kukunya di lengan sang suami. Rylan mengabaikan apa yang dilakukan sang istri. Baginya rasa sakit itu tidak sebanding dengan yang dirasakan oleh sang istri. “Kepalanya sudah mulai kelihatan. Sedikit lagi, Re.” Dr. Lyra pun memberitahu posisi bayi. “Ayo, Sayang.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Shera. “Perut aku sakit, Kak,” keluh Retta. “Tadi dia sudah mengeluhkan sakit.” Ghea pun menjelaskan pembicaraan tadi dengan Retta. “Ada apa?” tanya para ibu yang panik. “Perut Retta sakit, Ma.” Shera menatap sang mama mertua. Mama Stella dan Mama Ella pun langsung mendekat pada Retta. Mama Stella memegangi lengan Retta bersama dengan Shera. “Sebaiknya kita segera ke Rumah sakit saja.” Mommy Selly pun memberikan ide. Tidak mau terjadi apa-apa pada Retta. “Frey, Ghe, hubungi para suami.” Mommy Shea memberikan perintah pada Freya. Mereka sangat butuh bantuan. “Bilang kita menunggu di lobi.” “Baik, Mom.” Freya dan Ghea mengangguk. Mereka langsung bergerak menghubungi para pria. Ghea menghubungi Daddy Bryan, sedangkan Freya menghubungi El. Para pria yang berada di area bermain yang dihubungi pun seketika panik. Mereka yang menunggu anak-anak bermain pun langsung menghentikan permainan anak-anak. Mereka langsung membawa anak-anak untuk ke mobil. Rylan
Rylan menjemput papa, mama, dan kakaknya ke Bandara. Mereka semua sengaja datang jauh-jauh untuk menunggu Retta yang akan melahirkan. Usia kandungan Retta sudah mencapai sembilan bulan. Sudah hampir waktunya melahirkan. Hal itu tentu saja membuat semua keluarga siap siaga untuk menjaga Retta. Papa Darwin dan Mama Ella tak mau ketinggalan. Mereka juga ingin menemani proses yang akan dilalui oleh Retta. Noah dan Cia pun tak mau kalah. Mereka juga ingin melihat keponakan mereka. Selain itu memang Cia ada beberapa hal yang harus dikerjakan di toko kue miliknya. Beberapa bulan sekali memang Cia pulang. Dia akan memberikan resep untuk produk-produk baru di tokonya. Dia akan mengajari langsung pegawai di tokonya. Mobil Rylan sampai di rumah. Tadi dia ke Bandara dengan El. El menjemput Cia dan Noah, sedangkan Rylan menjemput papa dan mamanya. Papa dan mamanya akan menginap di tempatnya, sedangkan Cia dan Noah akan ke rumah Papa Felix dan Mama Chika. Saat sampai di rumah Mama Ella dan Papa
Retta mengerjap ketika merasakan perutnya tiba-tiba lapar. Saat membuka matanya, dia melihat sang suami yang masih tertidur. Retta mengalihkan pandangannya pada jam dinding yang berada di kamarnya. Dilihatnya waktu menunjukan jam satu malam. Artinya sudah dini hari. Perut Retta yang begitu lapar membuat Retta akhirnya membangunkan sang suami. “Sayang.” Retta Menggoyang-goyangkan tubuh sang suami. Retta mengerjap ketika merasakan tubuhnya digoyangkan. Saat membuka matanya, dia melihat dilihatnya sang istri yang sudah bangun. “Kamu bangun?” tanya Rylan. “Iya, aku lapar.” Retta memberikan alasannya bangun. “Kamu mau makan, Sayang?” Rylan langsung berangsur bangun. Mendudukkan tubuhnya sambil menatap sang istri yang masih merebakkan tubuhnya. “Iya,” ucap Retta. “Kamu mau makan apa?” Rylan tidak mau sampai sang istri kelaparan. Retta memikirkan apa yang dia inginkan malam-malam seperti ini. “Aku mau burger.” Dia pun menyampaikan apa yang diinginkannya. Rylan berpikir jika is
Dua minggu sudah Retta dan Rylan menikmati babymoon. Mereka sangat puas menikmati waktu di kota kelahiran Rylan. Retta benar-benar disunguhkan keindahan London dengan cara yang berbeda oleh Rylan. Makan malam ditempat spesial, kuliner di street food London, berkunjung ke museum, pergi ke taman bunga yang begitu indah di musim semi. Dua minggu benar-benar dimanfaatkan Rylan dan Retta. Hari ini mereka akan pulang. Kembali ke tanah air tercinta Indonesia. Dua minggu bersama, tentu saja membuat Mama Ella berat melepaskan putra dan menantunya. “Mama akan ke sana menjelang kelahiran.” Mama Ella membelai lembut pipi sang menantu. “Iya, Ma.” Retta begitu terharu jika memang benar sang mama mertua akan datang. Pastinya akan sangat bahagia sekali baginya bisa ditemani kedua orang tua Rylan di saat melahirkan. “Jaga Retta baik-baik.” Mama Ella menatap Rylan. Dia berharap sang putra bisa menjaga kandungan sang istri. "Tentu, Ma.” Rylan mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Papa Darwin meme
Pagi ini Rylan mengajak Retta untuk pergi ke toko kue milik Cia. Mereka ingin menikmati makanan yang ada di toko milik Cia. Rylan dan Retta sengaja memilih untuk menaiki bus. Bus tingkat yang terkenal di London itu selalu menarik untuk dicoba. Bus yang melawati jalanan kota London, menampilkan deretan bangunan-bangunan dari kota Ratu Elisabeth tersebut. Bangunan kuno yang tertata rapi begitu menarik sekali. Membuat mata begitu dimanjakan.Mereka sampai di halte pemberhentian. Mereka harus berjalan lagi ketika menuju ke toko milik Cia. Saat sampai di sana, penampilan toko hampir sama dengan toko-toko sebelahnya. Menampilkan bangunan kuno yang ekstetik. Saat masuk mereka disuguhi dengan interior khas Eropa. Kue-kue yang berjajar di etalase begitu menggugah selera sekali. Pengunjung yang datang pun cukup ramai. Beberapa menikmati makan kue di bangku-bangku yang berada di luar. Ada pun juga yang di dalam, yaitu berada di lantai dua. “Hai, kalian sudah datang.” Cia yang melihat adik-adik
Di rumah keluarga Asher semua orang berkumpul. Ada Mama Ella, Papa Darwin, Noah, Cia, Lora, Nick, Rylan, Retta, Dean, dan Bian. Semua berkumpul untuk merayakan kedatangan Retta dan Rylan.Makanan tersaji di atas meja. Semua menikmati makanan tersebut sambil mengobrol. “Makanlah yang banyak, Sayang.” Mama Sengaja membuat makanan ini untuk kalian.” Mama Ella menatap Retta dan Rylan secara bersamaan. “Jadi Bibi hanya membuatkan untuk Kak Retta dan Kak Rylan saja?” Bian yang berada di meja makan melayangkan protesnya. Dia pura-pura kecewa dengan wanita yang selalu dia datangi akhir pekan itu. Setiap akhir pekan Bian dan Dean mampir ke rumah keluarga Asher. Semua akan berkumpul untuk saling bercengkerama.“Kamu sudah sering makan masakanku. Jadi kini gantian mereka.” Mama Ella menatap Bian dan kemudian mengalihkan pandangan pada anak dan menantunya. “Baiklah, tetapi nanti saat mereka pergi. Masakkan makanan enak untuk aku, Bi.” Bian menggoda wanita yang kini berusia kepala lima itu. “
Tepat di jam satu malam, Rylan sudah terbangun. Kemarin jam sembilan dia sudah tidur. Jadi paling tidak, dia punya kesempatan untuk mengistirahatkan tubuhnya sebentar. Dengan lembut dia membangunkan sang istri. Memintanya untuk bersiap. Retta sebenarnya masih sangat mengantuk. Namun, dia harus segera bersiap. Hari ini mereka akan pergi menikmati liburan mereka. Jadi tentu saja dia tidak akan melepaskan kesempatan itu. Retta dan Rylan yang sudah bersiap, keluar dari kamarnya. Alangkah terkejutnya mereka ternyata Papa Sean dan Al sudah ada di sana. “Papa di sini?” tanya Retta yang terkejut. “Apa kamu tidak tahu jika Papa dan Al yang akan mengantar?” Papa Sean justru balik bertanya.“Aku lupa memberitahu, Pa.” Rylan menjawab cepat. Kemarin karena sibuk, dia lupa hal penting ini. “Sudahlah kalau begitu, lupakan, sekarang ayo cepat kita berangkat ke Bandara.” Papa Sean mengakhiri pembicaraan. Jika diteruskan tentu saja akan memakan banyak waktu. Akhirnya Retta dan Rylan diantar oleh
Shera datang menjemput anaknya. Sudah sebulan ini anak-anaknya tinggal di rumah Retta. Anak-anak begitu senang sekali. Karena katanya setiap hari Retta membuatkan cemilan untuk anak-anaknya itu. Hal itu membuat Shera senang. Saat Shera tiba pun anak-anaknya masih menikmati puding yang dibuatkan oleh Retta. “Mereka masih makan. Tunggulah sebentar.” Retta meminta kakaknya untuk duduk menunggu keponakannya. “Sepertinya kamu akan membuat mereka menjadi gendut.” Shera yang merasa jika adiknya terus menjejali dengan makanan pun merasa jika anak-anaknya akan semakin gembul jika begitu ceritanya. “Aku memberikannya makanan sehat. Tenang saja. Pasti aman. Sekali pun mereka gemuk, pastinya gemuk sehat.” Retta pun menjelaskan pada sang kakak yang memprotesnya. Shera mendengus kesal. Bicara dengan adiknya memang akan percuma saja karena pada akhirnya dia kalah. Hobi baru sang adik justru menyenangkan sekali untuk anak-anaknya. Jadi wajar saja mereka betah di rumah aunty-nya itu. Setela