Dengan perasaan tak baik, Ali mengemudikan mobilnya hingga kecepatan penuh. Meski ia bukan seorang wanita, tetapi melihat Rasya berkhianat pada adiknya, rasanya ia ingin mengh*ntam kembali wajah lelaki itu tanpa ampun.
Sampai di rumah sakit, Ali bergegas masuk. Menyusuri lorong dan bertemu kembali dengan Indri dan Ibunya.
"Bagaimana keadaan Angga?" tanya Ali setelah ia sampai di dekat mereka.
"Kamu kenapa, Al? Wajahmu ...." Rumi menghentikan ucapannya. Ia mengerutkan dahinya ketika melihat Ali terengah-engah dengan raut tak tenang.
Lelaki itu duduk di kursi depan ruangan. Ia menyandarkan kepalanya berusaha menetralisir rasa panas dalam dada. Berusaha mengumpulkan tenaganya untuk memberitahu dua wanita yang ia cintai.
"Ndri, ceraikan Rasya!" Ali menoleh pada adiknya yang tengah berdiri.
Indri sudah tak kaget lagi. Ia sudah paham maksud perkataan kakaknya. Pasti Ali sudah tahu semuanya, batin Indri. Indri sendiri masih diam. Ia tak tahu harus bilang apa.
"Kenapa, Al? Apa yang sudah terjadi?" Kecemasan mulai tampil pada wajah Rumi. Ia menggenggam tangan putra sulungnya agar Ali segera menceritakan.
"Rasya ... Rasya sudah bermain g*la di belakang Indri. Dia sudah menghina keluarga kita, Bu."
Awalnya, Indri kira Mas-nya itu hanya mendapat penolakan atas ajakan ke rumah sakit. Akan tetapi, setelah mendengar kalimat terakhir Ali, Indri pun penasaran.
"Maksud, Mas, apa?" Indri mendekat.
"Rasya jalan sama seorang wanita. Aku jijik melihat wanita itu dengan pakaian kurang bahan. Aku sempat berkelahi dengannya. Sorry, Ndri. Aku tak tahan melihat suami adikku berkhianat."
"Astaghfirullah," lirih Indri. Ia terduduk dengan isakan yang tak begitu kencang dan wajah ditutup kedua tangan. "Mas, tidak sedang bercanda, kan?"
Lengkap sudah penderitaan wanita itu. Sudah hamil tua, anak pertama masih belum sadar, sekarang malah suaminya yang bermain api di belakangnya.
"Buat apa aku bercanda pada keadaan seperti ini? Aku akan bantu kamu sewa pengacara, Ndri. Lepas Angga pulih, kita pulang ke rumah Ibu. Aku antar kamu ke pengacara kenalanku." Ali tak sabar lagi. Ia menghubungi salah seorang rekannya dan meminta menyiapkan berkas.
*
Malam larut hanya terdengar suara jangkrik, Indri meletakkan kepalanya di pi vgir ranjang tempat putranya terbaring lemah. Ia menatap sendu pada balita mungil yang kini suhu badannya di atas rata-rata. Selang infus tertancap di tangannya dan cup oksigen menutupi hidung Angga.
Perih semakin mengiris luka yang masih menganga, Indri tak bisa berhenti menangis. Ia terus saja meratapi dunianya yang seakan ingin runtuh. Nasib malang melintang pada rumah tangganya.
Lagi-lagi hanya dua orang itu yang senantiasa menemaninya. Siang malam masih belum ada perkembangan kondisi Angga, Indri sampai lupa dengan dirinya sendiri. Ia tidak bisa menelan satu suap makanan pun.
"Ndri, kamu harus makan. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Angga? Kasihan juga bayi dalam kandunganmu," tutur Rumi, mendekati putrinya.
"Bu, apakah aku kuat? Apakah dengan perpisahan, tidak akan ada lagi kesedihan?" Indri mengusap wajahnya.
"Semua jawaban akan kamu temukan di dalam salat. Pergilah, ke mushalla! Temukan jawaban semua permasalahan rumah tanggamu sekarang," balas Rumi dengan tenang.
Indri mengangguk. "Titip Angga, ya, Bu."
"Tentu. Ibu akan jagain dia." Rumi mengulas senyum tipis. Hanya dia satu-satunya yang lebih tabah.
Indri mulai berjalan ke arah mushalla di rumah sakit itu. Ia sudah pasrah, tetapi sebagaimana kata Ibunya, ia akan taat.
"Indri ...."
Langkah kaki wanita itu bergetar. Lalu, berhenti tepat di depan raga seorang pria tampan yang kesehariannya mendapat pelayanan darinya.
Indri berusaha tidak menanggapi. Ia melewati begitu saja lelaki yang baru saja menyebut namanya. Namun, lelaki tersebut tidak terima.
"Aku sedang berbicara denganmu!" Lengan Indri dicekal lalu ditarik kuat-kuat dan membentur dinding.
"Lepaskan aku, Mas! Aku sudah cukup bersabar selama ini. Hampir lima tahun aku bersabar dengan kelakuanmu. Pergi saja dengan wanita barumu. Jangan pedulikan aku lagi." Indri sesenggukan.
Bukannya sadar, kini Rasya semakin geram. Ia men*mpar wajah istrinya sendiri di lorong rumah sakit. "Tutup mu*utmu! Kau tidak tahu permasalahannya. Pasti Mas-mu itu yang sudah ngadu yang tidak-tidak agar kita berpisah. Itu tidak akan pernah terkabul, Indri Pradita Haryawan! Kau tidak usah bermimpi!"
Indri masih menumpahkan rasa sakitnya dengan tangisan. Beberapa orang melihat kejadian tersebut dan segera melerai Rasya yang sudah memuncak kemar*hannya.
"Awas kau, Indri. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kita tidak akan berc*rai!"
Rasya akhirnya pergi. Namun, Indri yang kini mendapat tekanan batin bertubi-tubi, lemas seketika. Ia dibantu suster duduk di kursi tunggu. Lalu, suster memberikan minum.
"Sabar, ya, Bu. Semua rumah tangga pasti mengalami ujian."
"Makasih, Sus. Tapi, saya sudah lelah rasanya. Saya ingin hidup tenang dan ikhlas menjalani rumah tangga."
Wanita mana yang tahan dengan sikap semena-mena seorang suami. Setiap masalah datang menghadang, wanita lebih cenderung menggunakan perasaannya. Apalagi, lima tahun menahan sikap Rasya yang tak begitu peduli dengan nafkah batin istrinya.
Rasya datang ketika dia butuh hajat. Ketika sudah terlamp*askan, dia pergi tanpa bertanya apakah istrinya sudah bahagia.
Luka di atas luka yang mengang* lalu dialiri cairan cuka. Indri tiba-tiba merasakan perutnya sakit luar biasa. Suster pun panik dan memanggil bantuan. Indri dibopong ke kamar lain untuk diperiksa.
Rumi yang menanti putrinya tak kunjung datang, mulai was-was. Ia menelpon Ali agar segera kembali karena sejak tadi tak kunjung datang juga setelah meminta izin untuk membeli minuman.
Rumi tidak berhenti berdo'a. Dia terus melantunkan dzikirnya agar Indri kembali dengan selamat. Hatinya tenang dan lapang, lalu menemuinya.
"Ada apa, Bu?" Ali masuk ke ruangan Angga. Melihat komat-kamit Ibunya dengan wajah gelisah duduk di sofa.
"Adikmu, Al. Dia sudah dua jam tidak kembali. Ibu khawatir. Tadi niatnya mau salat di musholla tapi kenapa sampai sekarang tidak kembali juga?"
"Astaghfirullah, dua jam? Ibu, tunggu di sini! Ali akan mencari Indri."
Lelaki dengan alis tebal itu mencium tangan Ibunya lalu bergegas keluar ruangan. Bolak-balik menoleh kanan kiri tidak bertemu juga dengan sosok yang ia cari.
Sampai di depan mushalla dan masuk ke dalam, Indri juga tak ditemukan. Ia bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. Lelah bekerja seharian, kini harus bingung mencari keberadaan Indri. Yang ia khawatirkan bukan hanya wanita itu saja melainkan janin yang terkandung dalam perut.
"Ndri, kamu di mana, sih?" Ali memijat pangkal hidungnya.
Mencoba bertanya pada orang yang lewat dan suster-suster juga satupun tak ada yang tahu. Raga mulai lelah, batin mulai terguncang, dengan pasrah ia kembali ke kamar menemui Ibunya.
"Bagaimana, Al?" Rumi berdiri lalu menghampiri putranya.
Ali menghempaskan tubuhnya pada sofa. Memejamkan mata sesaat, berharap Indri akan kembali secepatnya. Namun, yang ada malah pikiran buruk. Khawatir jika adiknya itu pulang dan menemui Rasya.
"Bu, apa tadi Rasya ke sini?" tanya Ali.
"Tidak. Tidak ada dia ke sini, Al. Ibu yakin, dia juga sudah tidak peduli lagi. Ibu menyesal merestui Indri menikah dengannya." Rumi mulai tak tahan dengan alur takdir yang menimpa putrinya.
"Sabar, Bu. Semua sudah menjadi bagian dari kehendak Allah. Yang penting sekarang, kita temukan Indri dulu. Baru kita pikirkan jalan ke depan. Masalahnya, sekarang Indri di mana? Kita tidak ada yang tahu."
"Apa kita akan menunggu terus sampai dia datang?" tanya Rumi lagi.
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi