MasukSepulang dari sekolah, suasana di rumah keluarga Mahendra terasa lebih tenang. Hanya terdengar suara langkah kecil Kayden yang naik ke kamarnya. Kali ini, ia bahkan tidak melirik Kiara yang sedang bermain puzzle di ruang tengah. “Wah ... Tumben dia tidak menyapa? Ada apa? Kayden pulang langsung masuk kamar?” tanya Arvino yang baru saja melepas dasi, masih mengenakan kemeja kantor. Kayla yang baru menaruh tas kecil Kiara di sofa langsung menghela napas panjang. “Tadi di depan sekolah ... Adeline tiba-tiba cemburu lagi. Dia tidak mau Kayden berteman dengan siapa pun, terutama Zahra. Lalu dia menangis dan ngambek, membuat Kayden semakin malas melihatnya.” Arvino terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Ha ha ... pesona putra kita ternyata luar biasa, ya. Baru kelas dua SD sudah jadi rebutan perempuan. Mirip siapa, ya?” Kayla memelototkan mata sambil mencubit pinggang suaminya. “Mirip siapa?! Kamu bangga? Ini masalah, Vin!” “Aduh ... sakit, sayang. Aku cuma bercanda. Tapi ya lucu juga.
Beberapa jam setelah pelajaran berakhir, semua murid bersiap untuk pulang. Di gerbang sekolah, banyak orang tua yang menunggu.Kayden sedang menunggu ibunya, Kayla, yang sedikit terlambat. Zahra duduk tidak jauh, menunggu ayahnya.Adeline berdiri dengan tangan di pinggang, mengawasi mereka seperti seorang detektif.Zahra tersenyum sopan saat melihat Kayden menoleh ke arahnya. “Kamu belum dijemput juga?”“Iya, sepertinya Mama telat,” jawab Kayden singkat.Zahra mengangguk. “Ayahku juga. Biasanya jam segini …”Adeline langsung menyela. “Jangan ngobrol berdua! Nanti orang-orang salah paham!”Kayden mendesis. “Deline ...”Tiba-tiba Zahra batuk kecil. Kayden segera merogoh tasnya dan mengeluarkan botol minum.“Minum.”Zahra tertegun. “T-Tidak apa-apa… aku ...”“Ambil,” ucap Kayden tegas.Zahra meminum sedikit, lalu mengembalikan botol dengan wajah memerah.”Bang Kay ... kenapa minuman kamu kasih dia!” teriak Adeline sambil melotot ke arah Zahra.Zahra langsung panik. “Bukan! Bukan! Aku cum
Dua tahun kemudian ... Di Sekolah Internasional, pagi itu, kelas 2B sudah dipenuhi suara riuh anak-anak. Namun, di sudut ruangan, seorang anak laki-laki tampan dengan tatapan datar duduk diam sambil membaca buku gambar, Arvino Kayden Mahendra. Wajahnya seperti biasa dingin, tak terjangkau, dan sulit ditebak. Sementara itu, Zahra Putri Azzahra masuk kelas perlahan, jilbab putihnya tampak rapi, langkahnya kecil dan tenang seperti biasanya. Dia selalu duduk di paling depan, dekat jendela. Kayden sekilas mengangkat wajahnya. Sangat cepat, hanya satu detik. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Hanya satu orang yang menyaksikannya. Siapa lagi kalau bukan Adeline, orang yang selalu memperhatikan Kayden. Ia langsung mengerutkan dahi sambil melipat tangan di dada. “Tuh kan, Kayden …” gumamnya tajam. Beberapa saat kemudian, guru masuk kelas, membawa lembar kegiatan. “Anak-anak, kita mulai belajar ya. Siapkan buku temanya,” seru Bu Nisa sambil menatap seluruh kelas. S
“Oke. Dengar ya semua.” Suaranya tegas namun tetap lembut. “Kayden memang terlihat dingin, iya. Tapi papa yakin dia selalu sayang kita semua, termasuk kamu, Adeline. Kayden sayang kamu dan semua juga sayang kamu. Cuma, kamu tidak boleh minta perhatian yang berlebihan dengan marah-marah dan mendorong orang.” ucap Arvino akhirnya mengangkat suara. Reyhan menatap putrinya. “Sayang, kamu punya hati yang baik. Papa tahu. Tapi jika kamu terus manja dan sombong, orang-orang akan menjauh. Termasuk Kayden.” Adeline menatap Kayden, matanya mulai memerah. “Kayden, jadi … kamu tidak suka aku, ya?” Kayden menjawab dengan jujur, “Aku tidak suka kamu yang selalu memaksa. Tapi kalau kamu baik … aku mau main.” Semua orang dewasa di sana saling memandang. Itu adalah jawaban yang sangat dewasa untuk anak berusia lima tahun. Adeline terisak. “Berarti ... kalau aku minta maaf, kamu mau main sama aku?” Kayden menatap Kiara terlebih dahulu. “Minta maafnya ke Kiara dulu. Bukan aku.” Adeline menoleh pe
Lima tahun kemudian, suasana halaman belakang Mahendra Residence sore itu ramai oleh suara anak-anak. Udara sejuk di kota itu dipenuhi dengan aroma bunga kamboja yang baru disiram. Namun, di tengah keramaian itu, ada seorang anak laki-laki yang duduk tenang di bawah pohon mangga, membaca buku tentang dinosaurus kesukaannya Kayden Mahendra, lima tahun, dengan wajah tenang dan dingin seperti biasa. Tidak jauh dari situ, Adeline Wiratama, yang berusia empat tahun, melompat-lompat sambil memanggil. “Kaydeeen! Ayo main sama Adeline!” suaranya manja, nyaring, dan sedikit memaksa. Kayden tidak menoleh. Ia hanya membalik halaman bukunya. Kiara, adik Kayden dan putri kedua Kayla–Arvino, berdiri tidak jauh, memegang boneka kelinci yang sudah usang. Usianya baru tiga tahun, wajahnya manis, tetapi selalu terlihat sedikit minder ketika Adeline ada di dekatnya. Adeline mendekati Kayden dengan cemberut. “Kenapa sih kamu terus baca? Main sama aku, Kayden. Sekarang!” Kayden menghela napas
Singkat cerita, tujuh bulan kemudian, suara tangis bayi terdengar lembut di ruang bersalin. Suara itu seperti melodi baru yang mengisi hati semua orang di luar. Rani terbaring lemah di ranjang, wajahnya masih pucat tetapi tersenyum bahagia. Di sampingnya, Reyhan menatap bayi mereka dengan mata berkaca-kaca. “Sayang, dia sangat cantik,” kata Reyhan dengan suara serak, tangannya bergetar saat menyentuh pipi mungil itu. Rani tersenyum lembut. “Mirip kamu, lihat lesung pipinya.” Reyhan tertawa kecil, “Kamu bohong. Hidungnya jelas mirip hidungmu, manis sekali.” Pintu kamar terbuka. Arvino dan Kayla masuk terlebih dahulu, tatapan mereka langsung tertuju pada bayi mungil yang dibedong rapi. “Ya ampun, cantik sekali,” ucap Kayla sambil menempelkan tangan di dada, terharu. Arvino mendekat, membawa bayi gendongannya sendiri, Arviano Kayden Mahendra, yang kini berusia sepuluh bulan. Bocah itu menatap penasaran pada bayi di ranjang. “Ini dia calon kakak sekaligus calon bodyguard mas







