"Memangnya ada apa dengannya?" Zsalsya semakin penasaran dengan apa yang sebelumnya terucap dari mulut Arzov.Ia tidak mengenal Endrick lebih banyak, tetapi menurutnya Arzov mengetahui sesuatu."Tahu apa? Jangan berbohong!" Zsalsya menepis perkataan Arzov, sebab setahunya, selama ini Endrick juga baik kepada dirinya."Dia merencanakan sesuatu untuk membawamu ke dalam masalah besar."Zsalsya masih tidak paham. Besar seperti apa yang sebenarnya Arzov maksud. Selama ini, semuanya baik-baik saja dan tidak ada yang aneh sama sekali."Oh ya, kalau dia memang peduli padamu, kenapa bukan dia yang membawamu ke sini? Mana dia?" celetuk Arzov.Zsalsya sendiri tidak tahu siapa yang membawanya ke rumah sakit ini. Sebab, ketika bangun dari pingsan, hanya ada seorang perawat di sampingnya. Endrick tidak ada."Benar juga. Kalau dia memang peduli, kenapa dia tidak ada. Tapi saat itu dia juga tampak luka parah," batin Zsalsya."Sudah. Sekarang aku suapi kamu makan dulu. Jangan pikirkan itu, tidak pent
Endrick semakin bingung karena tidak tahu bagaimana dirinya untuk menemukan Zsalsya kembali. Ia khawatir seperti kala itu yang butuh berbulan-bulan sampai akhirnya bertemu Zsalsya."Kita kembali saja, yuk!" ajak Kyora. Diam-diam ia tersenyum senang karena rencananya berhasil. "Semakin berhasil setiap rencanaku, semakin mudah aku mendapatkanmu, En-drick!" batin Kyora dengan tatapan licik.Endrick tidak menyahut, ia melangkah pergi dari sana untuk kemudian kembali ke tempatnya dirawat.Sesampainya di sana, Rosmala tengah membereskan barangnya karena Endrick akan pindah ke ruang VVIP sesuai keinginan Rosmala."Ma, kita mau pindah sekarang?" tanya Endrick."Iya, Nak. Lebih cepat 'kan lebih baik, jadi ... untuk apa menunggu? Memangnya mau menunggu siapa?""Benar, juga."Mereka pun kemudian pergi dari tempat itu."Zsa, aku mau keluar sebentar. Kamu jangan ke mana-mana, ya!" pintanya."Oiya."Saat itu Zsalsya tidak tahu bahwa sebenarnya ia ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk berbicara
"Ah, sudahlah. Kalau kamu mau sama Papa, kamu harus ikut. Kalau tidak mau ke rumah sakit, ya sudah, kamu naik taksi saja sana!" Firman yang sedang kesal pun membuatnya tidak bisa meredam emosi yang menggunung. Sedangkan Nana, ia tidak terbiasa dimarahi, karena memang tidak pernah sekalipun ditegur oleh Rosmala."Papa kenapa kasar banget. Apa karena aku ini anak tiri, jadi Papa begitu sama aku?" ucapnya dengan nada merajuk. Matanya melihat ke lantai dengan wajah yang memperlihatkan seolah dirinya sangat sedih. Sehingga, memancing simpati Firman dan membuat Firman merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya.Firman menoleh ke samping, ia melihat wajah Nana yang tampak sedih. "Sekarang mau kamu bagaimana, terserah! Papa mau pergi sekarang!"Kali ini, rupanya cara Nana untuk meluluhkan hati Firman agar bersimpati kepadanya gagal. Ia tampak kesal. Tetapi, di sisi lain ia juga tidak ingin naik taksi. "Aku ikut, Pa ...!" Nana berjalan mengikuti Firman yang kini sudah agak jauh, kare
"Papa, terima kasih sudah mau datang!" Zsalsya mendekat ke arah Firman dan kemudian memeluknya. Ia merasa sudah begitu lama tidak memeluk sosok Ayah yang disayanginya, dirinya tidak mau melewatkan kesempatan ini."Papa bilang juga apa. Lebih baik kamu terima saja perjodohan ini dan menikah saja dengan Arzov. Dia ini anak yang baik. Sudah mau bawa kamu ke rumah sakit, sekarang pun masih mau menemani!"Arzov yang mendengar pujian itu semakin besar kepala. Ia merasa bahwa idenya kali ini memang cerdas. "HAHAHA! Benar, 'kan kataku, dia pasti langsung tergerak hatinya untuk segera menikahkan kami!" batin Arzov sembari tersenyum. Kala itu, Arzov tidak memikirkan persoalannya dengan Nana. Baginya, untuk saat ini ia ingin mendapatkan Zsalsya terlebih dahulu, lalu setelah menikmatinya ... barulah ia berniat untuk memberi kepastian kepada Nana. "Kalau bisa mendapatkan keduanya, kenapa harus salah satu!" batinnya.Tanpa sadar, Nana yang berdiam diri di sana tengah memendam rasa kesal terhad
Waktu terus berjalan, dan kini malam telah tiba. Endrick hanya berdiam diri di ranjang pasiennya. Tanpa ponsel dan tanpa Zsalsya yang kian jam selalu teringat di kepala."Nak, makan dulu! Sejak tadi kamu belum makan apa-apa," kata Rosmala. Ia merasa khawatir dengan kondisi Anaknya yang lebih banyak diam tanpa mempedulikan apapun."Aku belum lapar, Ma. Nanti saja aku makannya. Mama juga belum makan, 'kan?"Sebaliknya, Endrick pun tidak melihat Rosmala makan. Wanita itu hanya terus menemaninya tanpa pergi kemana-mana."Kamu tidak usah terlalu pedulikan Mama. Kalau lapar, Mama bisa makan sendiri. Tapi kamu, Mama belum tenang kalau kamu belum makan. Bagaimana kamu bisa cepat sembuh, kalau kamu membiarkan perut kosong terus begitu!" Rosmala terus bersungut-sungut. Sebagai seorang Ibu, Rosmala selalu khawatir dengan kondisi Endrick -- Anaknya. Terlebih lagi, ia tidak memiliki Anak lain selain Endrick saja."Tante, apa boleh saya yang suapi Endrick?" tanyanya.Rosmala tidak yakin. Tetapi,
"Setelah saya periksa. Saya menyimpulkan kalau Pak Endrick belum bisa pulang. Sekitar satu atau dua mingguan lagi baru boleh pulang. Perlu melakukan perawatan khusus, agar kondisi kaki kembali pulih!" jelas dokter itu."Tuh, 'kan, Mama bilang juga apa. Memang sebaiknya kamu ini istirahat saja."Malam semakin larut. Walaupun Kyora merasa ingin berdekatan dengan Endrick, tetapi dirinya berpikir masih ada yang perlu diurus."Tante, karena sudah malam, saya izin pulang. Besok saya ke sini lagi!" kata Kyora."Iya, silakan."Hanya itu yang Rosmala katakan. Sedangkan Endrick, ia tampak tidak peduli. Dirinya hanya fokus pada obrolannya dengan seorang dokter laki-laki yang ada di sampingnya, Dokter Denis.Kyora merasa kesal. Tetapi, menurutnya mematangkan strategi permainan juga perlu. "Tidak masalah. Sekarang kamu boleh saja mengabaikanku. Tapi nanti ... aku pasti akan membuatmu bertekuk lutut di hadapanku!" batin Kyora dengan penuh ambisi."Endrick, aku pergi, ya! Besok pagi aku akan ke si
Malam itu menjadi malam yang sepi, tanpa seseorang yang benar-benar menemani sampai rasa sepi itu hilang sendiri.Namun, yang didapat hanyalah segala kesedihan dan air mata yang membuat dadanya semakin sesak. Dan malamnya semakin gulita. Seperti di kegelapan tanpa cahaya.Arzov terus memandangi ponsel, ia pun kemudian bangkit dari duduknya. "Aku harus keluar sebentar. Ditinggal sendiri tidak apa-apa, 'kan?" "Ya, pergi saja."Zsalsya tahu bahwa dirinya memang sendiri. Terbiasa sendiri, bahkan membuatnya tidak lagi mengharapkan apapun. Segalanya tampak menyedihkan."Tidak akan kularang siapapun yang mau pergi dan tidak akan kucegah seseorang yang datang. Walau hatiku masih sulit percaya, apakah aku ini dicintai atau hanya dijadikan pelampiasan oleh seseorang?" Zsalsya berbicara kepada dirinya sendiri dalam hati.Ia mengambil air yang beberapa saat yang lalu diberikan oleh seorang perawat dengan makanan pada porsi kecil. Ada nasi dan sayur sup ayam.Apalah arti makanan enak jika tidak b
Hari telah berganti. Dalam mengisi paginya, Endrick menunggu kedatangan kepala pelayan yang menurutnya pagi ini belum ada di sana.Kepalanya terus menoleh ke arah pintu, berharap kepala pelayan itu datang dengan lebih cepat dari perkiraannya.Kriieett! Sampai suara pintu terbuka. Endrick dengan semangat menunggu orang yang pikirnya sudah ada di depan pintu."Mungkin itu!"Tak lama setelah itu, tampak suara sepatu pantopel memasuki ruangan tersebut. "Tuan Endrick, bagaimana kondisimu sekarang?" tanya kepala pelayan rumah itu seraya menjinjing barang yang diinginkan Endrick sewaktu malam."Cukup baik!" jawab Endrick.Kepala pelayan berdiri di samping Endrick, ia membukakan sebuah kotak berbentuk persegi panjang yang di dalamnya ada sebuah ponsel tipis berwarna hitam."Tuan, ini ponsel yang Anda minta waktu itu!" ucap kepala pelayan seraya menyodorkan barang tersebut.Endrick pun langsung meraih ponsel itu. "Semuanya sudah lengkap!"Ia langsung paham dengan apa yang dimaksudkan oleh k