Share

Rayuan Manis

Seperti biasa, pagi ini, Alena bersiap untuk pergi ke kantor. Saat ia mau mengambil tasnya yang berada di dalam kamar, tiba-tiba bunyi bel apartemen milik Alena berbunyi. Alena pun segera membukakan pintu. Betapa sangat terkejutnya Alena melihat Devin yang datang ke apartemennya sepagi ini.

“Pagi, Sayang! Aku nggak disuruh masuk dulu ini?” tanya Devin yang dengan Pede-nya bilang seperti itu. Tanpa persetujuan Alena, Devin langsung masuk ke apartemen Alena. Ia mendudukkan bokongnya di sofa.

“Buat apa kamu sepagi ini datang ke apartemenku?” tanya Alena dengan menampakkan muka kesalnya.

“Ya, tentu saja menjemput kamu, Sayang. Tapi, ini masih pagi ... bagaimana kalau kita melakukan sesuatu terlebih dahulu?” tanya Devin dengan senyuman jahilnya.

“Maksud kamu apa?” tanya Alena.

“Masa kamu nggak tahu,  Sayang. Kita, kan, pernah melakukannya,” ucap Devin dengan jawabannya yang  sangat blak-blakan.

“Devin, lebih baik kamu diam! Dan, aku mau berangkat kerja sekarang. Jadi, kamu bisa keluar dari apartemenku,” ucap Alena dan berlalu pergi ke kamarnya untuk mengambil tasnya. Tak lama kemudian, Alena datang dengan membawa tasnya seperti biasanya.

“Sayang, tunggu! Aku ke sini, kan, untuk jemput kamu. Jadi, ayo, kita berangkat bareng!” ajak Devin.

“Cukup, Devin!  Aku bukan pacar kamu! Jadi, jangan panggil aku sayang. Mengerti!” ucap Alena dan berjalan ke arah pintu keluar dan diikuti Devin di belakangnya. 

Ya, pagi ini, Devin dan Alena berangkat bareng dengan menggunakan mobil Devin. Sepanjang perjalanan, Alena hanya diam  dan menatap keluar jendela. Ia melihat jalanan yang sudah mulai banyak mobil yang berlalu-lalang, serta orang-orang yang berjalan kaki.

Devin yang merasa didiamkan saja oleh Alena, merasa geram sendiri. Kenapa wanita di sampingnya ini sangat cuek dan menyebalkan? Akan tetapi, kalau dilihat-lihat, ia cantik dan menggemaskan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di perusahaan Devin, mereka berdua keluar dari mobil. Untung saja belum banyak karyawan yang datang. Jadi, tidak ada yang melihat Alena turun dari mobil Devin. Kalau ada yang lihat, bisa jadi bahan gosip dan tak akan pernah hilang dalam waktu tertentu. Alena tidak mau itu terjadi.

Alena langsung masuk ke  ruangannya. Akan tetapi, Devin tetap mengikutinya dari belakang. Entahlah, apa maunya bos ini yang suka berbuat semaunya sendiri. Alena kesal melihat Devin yang bolak-balik jalan di depannya.  Kenapa juga Devin di sini, bukan ke ruangannya?

“Bapak bisa diam, tidak? Dari tadi saya lihat Bapak ke sana ke mari, saya jadi pusing lihat Bapak begitu. Sebaiknya, Bapak ke ruangan Bapak,” ucap Alena dengan sangat ketus. Alena tidak mau melihat Devin lama-lama di ruangannya.

“Saya tidak mau ke ruangan saya. Saya maunya di sini, lihatin kamu yang sedang duduk dan bekerja. Kamu terlihat sangat cantik kalau lagi serius,” ucap Devin dengan senyuman mautnya yang biasa dilihat wanita di luaran sana. Namun, Alena tak tergoda dengan senyuman Devin itu, malah Alena sangat muak dan ingin rasanya menendang bosnya ini keluar angkasa.

“Bapak, kan, juga harus kerja, bukan lihatin saya. Nanti kalau ada karyawan lain yang tahu Bapak ada di sini, pasti mereka akan berkata yang tidak-tidak tentang saya. Jadi, saya tidak mau itu terjadi,” ucap Alena yang fokus kembali dengan pekerjaannya.

“Kamu tenang aja! Saya jamin, tidak akan pernah ada yang menghina kamu ataupun ngomongin kamu di belakang. Satu lagi, kamu akan segera menjadi milikku,” ucap Devin sambil mendudukkan bokongnya di kursi depan Alena.

“Bapak sangat percaya diri sekali,” ucap Alena menatap dingin Devin.

“Ya, karena aku yakin kamu bakal mengandung darah dagingku dan aku akan menikahimu. Oke, kalau begitu, saya pergi dulu ke ruangan saya,” ucap Devin lalu ia berdiri berjalan ke arah pintu keluar.

“Cihh! Seenaknya sendiri. Amit-amit, dah. Jangan sampai gue suka sama bos mesum. Apalagi kalau sampai benar gue ngandung anaknya ... jangan sampai, gue nggak mau,” teriak Alena sambil mengacak-acak rambutnya.

Tokkk! Tokkk! Tokkk!

“Masuk!” suruh Alena.

“Alena, ini ada berkas yang perlu kamu tanda tangani. Dan, yang satu ini laporan mingguan keuangan perusahaan. Yang bulanan, sudah aku kasihkan ke kamu, 'kan?” tanya Aneta.

“Iya, sudah, Neta. Ta, ntar kita makan siang bareng, ya,” ucap Alena.

“Iya, boleh. Emangnya kamu mau makan di mana?” tanya Aneta.

“Gimana kalau kita ke tempat makanan seafood di restoran dekat kantor?  Katanya di situ menu barunya seafood. Kamu nggak ada alergi seafood, kan?” tanya Alena.

“Tenang! Gue, mah, nggak ada alergi seafood. Tapi, nanti kamu yang traktir aku, ya,” ucap Aneta.

“Siap, deh. Ya, sudah, kamu bisa balik ke ruangan kamu. Aku masih ada kerjaan numpuk,” ucap Alena yang kembali fokus ke laptopnya.

“Oke, gue pergi, ya,” ucap Aneta yang langsung berjalan menuju pintu keluar.

Di ruangan lain, Devin masih santai saja duduk di sofanya sambil memejamkan matanya. Entah kenapa, hari ini, rasanya ia sangat malas untuk bekerja. Untung saja hari ini tak ada jadwal meeting atau bertemu dengan klien, jadi ia agak bisa bersantai.

Evan masuk ke ruangan Devin sambil membawa berkas yang harus ditandatangani oleh Devin. Evan juga akan menyampaikan, bahwa ia baru saja mendapat telepon dari mamanya Devin agar Devin segera pulang.

“Siang, Tuan. Ini ada berkas yang harus Anda tandatangani. Setelah nanti Tuan tidak ada pekerjaan lagi, Tuan disuruh pulang oleh Nyonya Besar,” ucap Evan.

“Mama suruh saya pulang. Memangnya ada apa?” tanya Devin.

“Saya sendiri juga tidak tahu, Tuan. Karena Nyonya Besar juga tidak memberi tahu saya,” ucap Evan.

“Hemmm,” gumam Devin lalu Devin mengambil berkas yang dibawa oleh Evan dan menandatanganinya. 

Setelah selesai, Evan berpamit untuk keluar ruangan. Devin pun langsung keluar ruangan dan menuju ruangan Alena. Ia akan memberitahukan kepada Alena bahwa ia akan pulang terlebih dahulu. Padahal Devin bisa mengirim pesan lewat HP, tetapi ia malah jauh-jauh pergi ke ruangan Alena.

Memang dasarnya Devin lagi bucin dengan Alena. Padahal sudah jelas-jelas Alena menolaknya mentah-mentah. Ya, namanya Devin! Ia tak akan menyerah begitu saja jika keinginannya belum tercapai.

Devin langsung masuk begitu saja ke ruangan Alena tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Sayang, kamu masih sibuk?” tanya Devin berjalan ke arah meja Alena.

“Bapak bisa, nggak, kalau masuk ruangan orang, itu harus ketok pintu terlebih dahulu,” ucap Alena menatap mata Devin dengan tajam.

“Ini, kan, perusahaan saya, jadi suka-suka saya, dong! Oh, ya, hari ini, aku pulang duluan karena tadi mamaku menelepon dan nyuruh pulang. Jadi, kamu jangan macam-macam, apa lagi dekat dengan laki-laki lain,” ucap Devin memperingati Alena.

“Lah, Bapak ini bukan siapa-siapa saya, kenapa Bapak ngatur-ngatur saya?” tanya Alena ketus.

“Pokoknya, saya nggak mau dengar ocehan kamu. Kalau kamu sampai ketahuan dekat-dekat dengan laki-laki lain, akan aku pastikan hidup kamu nggak tenang. Aku pergi dulu, ya ingat ya Alena,” ucap Devin meninggalkan ruangan Alena.

“Dasar, Devin gila! Seenaknya saja dia ngatur-ngatur gue,” omel Alena lalu ia pun melanjutkan pekerjaannya.

Sampai tak terasa, jam makan siang pun sudah tiba. Alena dan Aneta makan siang di restoran dekat kantor. Mereka memesan makanan seafood yang katanya adalah menu terbaru restoran ini. Jadi, Alena tidak perlu pergi jauh-jauh. Lagian, ia juga tidak membawa mobil karena tadi pagi, ia berangkat bareng bos gilanya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status