Se connecterBel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.
Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.
Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.
Sesampainya di depan sekolah, El memutuskan menunggu di halte bus umum. Matahari mulai condong ke barat, langit berubah warna menjadi oranye keemasan. Ia menatapnya lama, langit selalu punya tempat tersendiri di hatinya. Aneh ya, padahal tiap hari berubah tapi langit selalu indah.
Angin sore bertiup pelan, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia memasukkan tangan ke saku celana, menatap jalanan yang mulai padat. Hingga tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari arah belakang.
“Naik bus umum juga?” suara lembut itu membuat El tersentak kecil. Ia menoleh cepat dan disana, berdiri gadis yang sedari tadi memenuhi pikirannya.
“Eh… iyaa… lo juga?” jawab El agak terbata.
Tiara mengangguk singkat sambil menatap jalan, bibirnya sedikit tersenyum.
El hanya terdiam. Hatinya berdebar, tapi wajahnya berusaha tetap tenang. Bus akhirnya datang, remnya berdecit halus saat berhenti di depan mereka. El menoleh ke arah Tiara. “Masuk duluan…” katanya sopan.
Tiara menatapnya sejenak, lalu melangkah naik. Ia memilih duduk di kursi belakang dekat jendela. El menyusul dan duduk agak di depan, di kursi dekat pintu. Suara mesin bus terdengar berat saat bus mulai melaju perlahan menembus keramaian sore kota Tangerang.
Suasana di dalam bus terasa aneh, hening tapi tidak benar-benar sepi. Beberapa siswa baru lain sibuk dengan ponsel, beberapa mengobrol pelan. Tapi bagi El, dunia seolah menyempit hanya pada dua orang, dirinya dan gadis itu yang belum tahu siapa namanya.
Dari pantulan jendela, ia bisa melihat Tiara yang tengah menatap keluar. Rambutnya bergoyang lembut mengikuti getaran bus. Sesekali gadis itu menarik napas panjang, entah lelah atau sekadar menikmati pemandangan senja yang berlari di luar kaca.
El menunduk, mencoba menenangkan diri. Kenapa ya, jantung gue kayak gini… batinnya. Ia membuka ponselnya, mengetik pesan singkat pada ibunya:
Bu, aku pulang telat ya. Jalanan macet banget nih.
Tak lama kemudian, balasan masuk:
Okee, hati-hati ya El.
Ia tersenyum kecil membaca pesan itu, lalu kembali menyandarkan kepala ke kaca jendela bus. Di luar, matahari sudah hampir tenggelam, meninggalkan guratan cahaya merah di langit. Ia memandang ke depan, lalu ke arah belakang. Tatapan mereka bertemu sekilas.
Sekejap, waktu seperti berhenti.
Tiara buru-buru memalingkan wajah, sementara El cepat-cepat menatap ke arah lain, pura-pura memperhatikan jalan.
Suasana kembali diam. Hanya suara mesin dan klakson mobil yang mengisi ruang di antara mereka. Namun, di dada keduanya, ada sesuatu yang bergerak, rasa yang samar, yang baru mulai tumbuh.
Bus berhenti di lampu merah. Dari kaca, cahaya senja menembus ke dalam, mengenai wajah Tiara yang kini terlihat lebih lembut, berkilau oleh pantulan cahaya oranye. El tak sengaja memperhatikan terlalu lama… hingga Tiara menoleh dan mata mereka kembali bertemu.
Kali ini, Tiara tidak menghindar.
Hanya senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya.
Bus kembali berjalan, mengguncang sedikit. El segera berpaling ke luar jendela, wajahnya memerah. Tapi senyum itu… entah kenapa terasa hangat di hatinya.
Sampai akhirnya, bus berhenti di sebuah perempatan besar. Tiara berdiri, hendak turun. El terkejut.
“Oh… rumah lo di sini ya?” tanyanya spontan.
Tiara menatapnya sekilas. “Iya, di belakang gang itu…” jawabnya pelan, lalu menambahkan, “See you tomorrow ya, El.”
El mengerjap. Dia tau nama gue, tapi gue masih belum tau namanya… apa gue tanya namanya ya?
Sebelum sempat bertanya, pintu bus sudah tertutup dan kendaraan itu kembali melaju, meninggalkan Tiara yang kini berjalan pelan di trotoar.
El menatap punggungnya dari jendela, matanya tak lepas sampai sosok itu benar-benar menghilang di tikungan.
Dan entah kenapa, di tengah hiruk pikuk kota sore itu, El merasa sesuatu baru saja dimulai, sesuatu yang belum ia pahami, tapi membuatnya tersenyum tanpa sadar.
Bus terus melaju, membawa El pulang… bersama jutaan tanda tanya yang menggantung di benaknya.
Rafa langsung memekik kecil sambil menutup telinganya. “Aduh, gue benci banget sama mati lampu!”Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegarTiara, yang duduk di kursinya, langsung refle menutup mata dan menunduk, tangannya menutup kedua telinga rapat-rapat.El melihatnya sebentar, agak heran. “Lo takut petir ya?” tanyanya lembut.Tiara mengangguk pelan tanpa membuka mata.Faqih yang melihat suasana itu malah tertawa kecil. “Wah, kesempatan bagus nih buat ngetes nyali!”Rafa langsung melotot. “Faqih! Jangan aneh-aneh ya!”Faqih pura-pura menunduk, menahan tawa. “Yaelah, baru mati lampu doang, bukan dipanggil arwah gentayangan…”Petir kembali menyambar, kali ini lebih keras — BLAAR!Tiara langsung memekik kecil dan semakin menutup telinganya, sementara Rafa spontan menutup wajahnya dengan buku.
Setelah bel istirahat berbunyi, satu per satu siswa keluar dari kelas, sebagian menuju kantin, sebagian lagi ke lapangan untuk melihat siswa lain bermain basket. Tak lama, ruangan kelas menjadi jauh lebih sepi.Hanya tersisa El, Rafa, dan Tiara. Rafa dan Tiara duduk bersebelahan di barisan tengah, tampak serius membicarakan sesuatu, entah soal hobi atau sekadar hal kecil seperti warna seragam yang mereka pakai. Suara mereka pelan, namun tawa kecil sesekali pecah di antara percakapan itu.El duduk di kursinya dekat jendela, memainkan ujung pulpen sambil melirik sekilas ke arah mereka. Dalam hati, ia tersenyum tipis. Entah kenapa, suasana sederhana seperti ini terasa menyenangkan.Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya dari belakang.“Sendirian aja, bro?”El menoleh. Seorang siswa laki-laki berambut sedikit berantakan menatapnya sambil tersenyum lebar. Wajahnya terlihat ramah dan santai.“Engga,” jawab El pelan. “Kan itu… ada anak cewe juga lagi ngobrol.”Anak itu tertawa kecil.“Gue Faqi
Keesokan harinya, El datang ke sekolah lebih awal. Udara pagi masih terasa dingin, embun menempel di daun-daun sekitar halaman sekolah. Ia berdiri di depan gerbang SMA Nusantara Tangerang, menatap bangunan itu dengan perasaan yang aneh, campuran antara semangat dan rasa penasaran.Masih terlintas senyum Tiara di bus kemarin sore.Entah kenapa, bayangan itu terus mengganggunya.“Ah, kenapa juga mikirin orang yang bahkan belum kenal,” gumam El pelan sambil tersenyum tipis.Ia berjalan ke ruang 7. Kelas masih sepi. Ia duduk di bangkunya, menyalakan ponsel dan memutar playlist favoritnya, lagu-lagu yang biasa ia dengar saat butuh ketenangan. Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki mulai terdengar. Satu per satu siswa baru masuk, membawa tas dan wajah-wajah canggung. El baru sadar kalau ruangan mulai ramai saat suara ketawa pelan terdengar dari pojok kelas.Tak lama, pintu terbuka. Dua orang berseragam OSIS masuk. Salah satunya El kenal, Bagas, ketua OSIS yang kemarin membantunya. Di s
Bel pulang akhirnya berbunyi, menggema di seluruh penjuru sekolah. Suara itu bagai tanda lega bagi El. Ia menatap langit, menghela napas panjang. Hari pertama… akhirnya selesai juga, batinnya. Meski lelah, ada rasa puas dalam dirinya, ia berhasil melewati hari penuh kejutan, dari hampir terlambat, sampai momen yang tak terduga di aula tadi.Namun, di balik rasa lega itu, pikirannya masih saja tertuju pada satu hal, atau lebih tepatnya satu orang. Gadis yang tadi berdiri di sampingnya di lapangan. Tatapan mata yang sekilas bertemu membuat dadanya berdegup dengan irama aneh yang bahkan belum ia mengerti.Osis pun mempersilahkan para siswa baru untuk pulang dan bersiap untuk MPLS hari kedua besok, El kemudian merapikan buku dan tasnya. Dalam hatinya, SMA Nusantara terasa tenang di bawah cahaya sore. Ia berjalan perlahan menuju gerbang, melewari barisan pot bunga yang masih disiram penjaga sekolah. Aroma tanah basah berpadu dengan angin senja yang lembut membuat langkahnya terasa ringan.
Suasana aula mulai sepi. Satu per satu siswa baru beranjak keluar, mengikuti arahan panitia OSIS yang sudah menunggu di luar. Namun El tetap duduk di kursinya, sesuai instruksi yang baru saja disampaikan lewat pengeras suara. Beberapa siswa yang lewat menatapnya penasaran, ada juga yang sempat berbisik, “Eh, itu yang tadi maju, kan?”El hanya tersenyum kecil, mencoba bersikap biasa meski jantungnya masih berdebar sejak tadi. Tak lama kemudian, Bu Ratna muncul dari arah panggung, langkahnya tenang, membawa map berwarna cokelat.“Ah, ini dia si jujur kita,” ucapnya sambil tersenyum hangat.El berdiri cepat. “Iya, Bu… ada yang mau Ibu sampaikan?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Hehe, santai aja, El. Ibu cuma mau bilang, kamu keren. Biasanya kalau Ibu tanya begitu, nggak ada yang mau ngaku. Eh, kamu malah langsung angkat tangan. Hebat, lho. Padahal sebenernya Ibu nggak mengarah ke kamu tadi.”El menatap heran. “Lho? Serius, Bu?”“Iya,” jawab Bu Ratna sambil tertawa kecil. “Tapi kamu ngaku dulua
Aula SMA Nusantara terasa sesak oleh ratusan siswa baru yang berjejer rapi di kursi-kursi plastik biru. Pendingin ruangan belum sepenuhnya terasa, sehingga aroma seragam baru, parfum ringan, dan keringat bercampur menjadi satu. Di panggung depan, spanduk besar bertuliskan “Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah SMA Nusantara Tangerang” membentang lebar, dihiasi logo sekolah di tengahnya.El duduk di deretan tengah, bersama beberapa teman seruangannya. Pandangannya sesekali berkeliling, mencari sosok yang tadi sempat duduk di sebelahnya di lapangan. Tiara.Namun lautan kepala siswa di aula itu membuatnya sulit melihat ke mana pun tanpa kehilangan arah. Ia menarik napas, berusaha fokus pada suasana yang mulai tenang.“Perhatian kepada seluruh siswa baru,” terdengar suara dari pengeras, “acara selanjutnya adalah Pengenalan Tata Tertib Sekolah yang akan disampaikan langsung oleh Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan, Ibu Ratna Pramudita.”Seisi aula bertepuk tangan sopan ketika seorang wanita







