Share

Perjalanan Menjadi Penyihir Sakti
Perjalanan Menjadi Penyihir Sakti
Penulis: RZ

Dendam

Saat Aldar duduk di bawah pohon yang rindang, sinar matahari pagi menyinari wajahnya dengan lembut, menciptakan bayangan yang menari-nari di sekitarnya.

Dia merasakan angin sejuk yang mengelus pipinya, sambil mendengarkan alunan riang burung-burung yang bermain di pepohonan di atasnya. Sentuhan alam yang hangat dan bau tanah basah dari tanaman yang baru disiram menambah kebahagiaannya.

Aldar pergi ke hutan seperti biasa untuk mencari kayu bakar, ditemani oleh Milo, anjing kesayangannya. Aldar sengaja mengambil jalur yang lebih jauh supaya tidak diganggu oleh anak-anak bangsawan yang suka berlatih sihir.

Namun, takdir berkata lain, Aldar kembali bertemu dengan mereka. Aldar merasa seolah hidupnya akan selalu berada di bawah bayang-bayang para bangsawan penyihir. 

“Hai, Aldar, kita bertemu lagi!” sapa Gary dari arah timur, tempat perumahannya berada. “Tapi kali ini aku akan membiarkanmu lolos.”

Aldar mengeritkan dahi sejenak, tanda tidak terlalu paham. Namun, karena takut Gary akan memukulnya seperti biasa, dia hanya mengangguk.

“Terima kasih, tuan, atas kemurahan hatimu,” ucap Aldar.

Saat sedang dalam perjalanan pulang, Aldar melihat asap mengepul di langit, mengarah ke arah rumahnya. Dengan hati berdebar, Aldar berlari secepat mungkin, berharap bahwa apa yang dipikirkannya hanyalah ilusi.

Namun, sesampainya di rumah, Aldar dihadapkan dengan kenyataan yang mengerikan. Para warga berusaha memadamkan api yang telah melahap rumahnya.

Dalam kekacauan tersebut, Aldar mencoba keras memanggil ibu dan adiknya, namun suaranya hilang dalam suara gemuruh api yang menghancurkan segalanya. Perasaan tak berdaya menghantamnya, membuatnya hampir tak bisa bernapas. Setiap detik terasa seperti menyiksa, berharap bahwa ini hanya mimpi buruk yang akan berakhir.

Kobaran api itu akhirnya dipadamkan, realitas kejam menghantam Aldar. Ia melihat puing-puing rumahnya yang hancur, dan dalam keheningan yang menyakitkan, ia menyadari bahwa ibu dan adiknya telah pergi untuk selamanya. Rasa kehilangan dan putus asa melanda hatinya dengan kekuatan yang tak terkendali.

Aldar teringat pada saat Gary tiba-tiba tidak mengganggunya saat perjalanan pulang. Meski ragu, dia memutuskan untuk menghadapinya langsung.

Dengan wajah sedih dan mata berkaca-kaca, Aldar bertanya pada Gary, “Tuan Gary, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”

Gary menjawab tanpa ekspresi, matanya melewati wajah Aldar dengan dingin. Tubuhnya berputar perlahan, menunjukkan ketidakpedulian terhadap emosi Aldar yang kacau.

“Apa yang ingin kamu tanyakan, Aldar?” ujarnya.

Aldar menelan ludah, lalu dengan gemetar mengungkapkan, “Rumahku terbakar. Ibu dan adikku... mereka tewas di dalamnya,” ucapnya dengan suara yang penuh dengan keputusasaan

Gary terkejut mendengarnya dan memutar tubuhnya dengan lambat. “Aku turut menyesal atas kematian mereka, Aldar,” katanya dengan nada yang tenang, namun sedikit getaran emosi terdengar dalam suaranya.

Aldar meneruskan ceritanya, “Saat kita bertemu di hutan, aku menyadari bahwa kau keluar dari arah rumahku.” Sebelum dia bisa melanjutkan, Gary memotongnya.

“Maksudmu, aku yang membakar rumahmu dan menyebabkan mereka tewas dalam kebakaran?” ucap Gary sambil mengangkat kerah baju Aldar. Ada getaran marah yang terselip dalam suaranya, meskipun tetap terkendali. “Aku hanya sedang melatih jurus baruku. Siapa yang menyuruh mereka tidak keluar dari kobaran api?”

Mendengar ucapan Gary yang tanpa rasa bersalah, Aldar memukulnya dengan sangat keras. Namun, ternyata, Gary dengan mudah menahan pukulan Aldar yang lemah, sementara wajahnya masih menunjukkan sedikit getaran emosi yang terselip di balik ekspresi tenangnya.

Aldar terpancing emosi yang meluap, mencoba memukul Gary sekali lagi dengan penuh keputusasaan. Namun, sebelum tangannya mencapai sasaran, Gary dengan cepat menghindarinya.

Tiba-tiba, seolah-olah dalam sekejap mata, Aldar merasakan dirinya terlempar ke belakang dengan kekuatan yang tak terbayangkan. Tubuhnya terjatuh di tanah dengan keras, rasa sakit melanda seluruh tubuhnya.

Gary berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin.

"Kau bodoh, Aldar," ucapnya dengan nada merendahkan. "Orang seperti kau, yang tidak memiliki sihir, tidak pantas untuk berdiri di sini. Ini adalah daerah kekuasaanku, daerah para bangsawan sihir. jadi aku bebas melakukan apa saja!"

Aldar merasa terpukul oleh kata-kata Gary, namun di dalam hatinya, bara keberanian terus menyala. Meski lemah dan terluka, dia bersumpah untuk membalaskan dendam ibu dan adiknya.

Aldar mengembara, meninggalkan desa dengan dendam di hatinya, bergumul dengan rasa sakit dan kekecewaan atas perlakuan Gary. Saat dalam perjalanan, nasib membawanya bertemu dengan Lucy, seorang pengembara yang telah menjelajahi dunia untuk mengejar tingkat sihir yang lebih tinggi.

“Hai, anak muda. Aku dengar banyak warga yang kehilangan makanan. Apakah kamu punya informasi tentang hal ini?" tanya Lucy dengan lembut kepada Aldar, suaranya hangat namun penuh kebijaksanaan.

Aldar yang dalam suasana hati tergoncang, merasa terintimidasi dengan pertanyaan Lucy. “Apakah kau menuduhku karena aku lemah dan tidak memiliki sihir?" balas Aldar dengan nada defensif.

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Aldar tiba-tiba menyerang Lucy dengan penuh kemarahan. Namun, Lucy menanggapi dengan tenang dan penuh kesadaran akan keadaan sekitarnya. Pukulan demi pukulan menghantam tubuh dan wajah Lucy, namun dia tidak menunjukkan rasa sakit.

Tatapan Aldar yang tajam membuatnya seolah mengerti, apa yang dirasakan oleh pemuda lemah yang ditemuinya.

Setelah serangan itu berakhir, Lucy menatap Aldar dengan penuh pengertian saat serangan kemarahannya reda. “Apakah kamu mau menjadi muridku? Akan ku ajarkan cara menggunakan sihir." 

Terdiam sejenak, Aldar mencerna tawaran yang tak terduga dari Lucy. Matanya memperlihatkan kebingungan dan keraguan yang mendalam. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Lucy, sosok yang sebelumnya begitu misterius baginya, akan menawarkan pelajaran sihir.

"Dia... tidak mungkin serius," gumam Aldar dengan suara pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Namun, ketika tatapan dingin Lucy menembus ke dalam dirinya, Aldar merasakan getaran yang sulit dijelaskan. Seolah-olah Lucy bisa melihat lebih dalam dari sekadar kata-kata yang diucapkan.

"Aku tidak sedang mempermainkanmu, Aldar," ujar Lucy dengan suara tegas namun penuh pengertian. Dia berjalan pergi tanpa menunggu jawaban dari Aldar, meninggalkannya dalam kebingungan yang lebih besar.

Aldar duduk di tanah, terdiam dalam kekosongan pikirannya. Peluang besar terbuka di hadapannya, tetapi juga ketakutan dan ketidakpastian yang melilit.

"Sihir? sesuatu yang begitu luar biasa. Tapi apakah aku mampu menguasainya? Apakah ini benar jalan yang aku cari untuk membalaskan dendam ibu dan adikku?" gumamnya, suaranya dipenuhi oleh keraguan dan kebingungan.

Pagi itu datang dengan sinar matahari yang cerah, menciptakan bayangan di dalam pikiran Aldar yang gelap. Lucy masih setia menunggu di depan gerbang desa kecil itu, seolah-olah dia sudah tahu bahwa Aldar akan datang.

Namun, ketika Aldar akhirnya muncul, langkahnya tidak pasti. Wajahnya mencerminkan campuran antara keberanian dan ketidakpastian. "Namaku Aldar, dari Desa Moonstaid. Apakah kau bersedia mengajari saya sihir?" ucapnya dengan suara yang sedikit gemetar.

Lucy tersenyum, tidak terpengaruh oleh keraguan Aldar. "Namaku Lucy, Aldar. Aku tidak akan bertanya tentang masa lalumu. Mari kita mulai petualangan ini bersama-sama," kata Lucy, suaranya penuh dengan keyakinan dan harapan akan masa depan yang belum terungkap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status