Share

Erisa

Aldar bangun dengan kepala yang terasa berat, dunia berputar di sekitarnya, dan setiap hembusan napas terasa seperti usaha yang menghabiskan tenaga. Dia meraih kepalanya yang masih pusing, mencoba memusatkan pikirannya, namun segalanya terasa samar dan kabur.

"Kepalaku sakit, ada dimana aku." Tanya Aldar kepada nenek tua itu sambil memegang kepala yang masih pusing.

"Kamu berada dirumah Erisa, kamu pingsan karena telah berjuang menolong kami." Balas nenek tua sembari membantu Aldar bangun dari tempat tidur.

Aldar tidak menjawab ucapan terima kasih dari nenek tua tersebut, karena masih belum paham yang sedang terjadi. lalu, ia mencoba untuk keluar dari rumah Erisa untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.

Tak berpeduli dengan luka-lukanya, Aldar mencoba turun dari tempat tidur. “Bagaimana dengan si penyihir jahat?” tanya Aldar kepada Lucy yang duduk bersama Erisa.

“Terima kasih, Aldar. Kau telah menyelamatkan kami dari penyihir jahat,” jawab Erisa sambil bangun dari kursinya.

“Sepertinya, kamu harus berterima kasih kepada Lucy. Dialah yang mengalahkannya. Aku kalah karena kelemahan, tidak sehebat Lucy,” tambah Aldar.

“Tidak, aku melihat perjuanganmu. Kamu bertarung dengan gagah berani melawan Malice si penyihir jahat, meskipun kamu tahu tidak mungkin menang,” sahut Erisa, lalu tiba-tiba ia memeluk Aldar dengan erat.

"Semoga lukamu cepat sembuh, Aldar," ujar Lucy sambil memberitahukan kepada Aldar.

Mereka tiba di tengah riuhnya suasana makan malam, diadakan sebagai ungkapan terima kasih atas tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh Aldar dan Lucy. Malam itu terasa berkepanjangan, dihiasi dengan aroma lezat daging panggang, arak yang mengalir deras, dan api unggun yang terus berkobar hangat. "Mari kita nikmati malam ini hingga pagi tiba!" teriak seorang warga, disambut oleh sorak riang dari yang lain, sementara gelak tawa menggema meramaikan malam itu.

Aldar duduk sendirian di kegelapan malam, pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan kehilangan yang tak terkira. Dia merasakan kekosongan yang mendalam di dadanya, seolah-olah sebagian dirinya telah terbakar bersama api yang menghancurkan rumahnya. Dengan setiap pukulan ke batu besar di hadapannya, rasa frustasi dan kemarahan yang meledak di dalam dirinya semakin membesar, seperti api yang tak terkendali.

Dia berlatih sendirian di bawah sapaan matahari yang hangat, tubuhnya terasa tersiram sinar hangatnya. Tangannya penuh dengan luka bakar dari paparan sinar matahari yang keras, sementara napasnya terengah-engah dalam kelelahan.

"Apakah menjadi kuat adalah impianmu?" terdengar suara lembut mendekatinya. Aldar duduk diam, tidak mampu menjawab. Energi dalam dirinya terasa terkuras oleh latihan kerasnya.

“Erisa, ternyata itu kamu,” jawab Aldar. 

“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”

Aldar tersenyum dengan interogasi Erisa, “Aku ingin menjadi untuk membalaskan dendam keluargaku.”

Erisa bingung dengan senyuman Aldar, dia melihat tekad yang kuat, namun hati yang rapuh. 

“Ceritakan tentang dirimu, Erisa,? tanya Aldar dengan senyuman hangat. 

“Aku hanya gadis desa biasa,” Erisa mulai berbicara dengan ragu, mencoba merangkai kata-kata untuk menggambarkan hidupnya.

“Apa artinya menjadi gadis desa biasa bagi mu?” tanya Aldar dengan rasa ingin tahu yang tulus.

Erisa mengangkat pandangannya, sedikit terkejut oleh pertanyaan Aldar. "Bagi ku, itu berarti hidup sederhana dan berusaha bertahan di tengah kesulitan," jawabnya dengan mantap.

"Aku mengerti," kata Aldar dengan penuh pengertian. "Namun, tentu ada lebih banyak cerita di balik kesederhanaan itu. Ceritakan lagi tentang dirimu, Erisa."

Erisa menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, "Keluargaku... mereka..."

"Aku tak tahu apa yang harus kukatakan..." Aldar menyela dengan lembut, memperlihatkan simpati pada Erisa.

Erisa menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Mereka dibunuh oleh orang-orang jahat ketika aku masih kecil, Aldar," ucapnya dengan suara yang gemetar, luka masa lalu terpampang jelas dalam setiap kata yang diucapkannya.

Aldar duduk dalam keheningan, pertarungan batin yang tak terlihat terjadi di dalam dirinya. Dendam yang membara bersaing dengan kehangatan yang dia rasakan saat memandang Erisa. Dia bertanya-tanya apakah dia harus terus mengikuti niat balas dendamnya atau membuka hatinya pada perasaan yang baru.

Tatapan mereka bertemu, dan takdir sepertinya mempermainkan peran. Tubuh mereka mendekat, bibir mereka bertemu dalam kehangatan yang tak terduga. Erisa tak menolak, membalas ciuman itu dengan getaran yang tak terlukiskan dalam kata-kata. Dan dalam pelukan erat yang menyatu, mereka menemukan ketenangan dalam keterpurukan mereka.

Ciuman itu adalah semacam penyembuhan bagi keduanya, menghapus sedikit demi sedikit luka-luka masa lalu yang masih menghantui. Dalam dekapan hangat, mereka menemukan ketenangan yang jarang mereka rasakan sebelumnya.

Bagi Aldar, perasaannya yang terbagi antara dendam dan cinta menjadi kabur dalam momen ini. Dia merasa bahwa mungkin, di antara kegelapan masa lalu dan keinginannya untuk balas dendam, ada tempat bagi cinta yang baru dan menyembuhkan.

Sementara bagi Erisa, ciuman itu membawa kelegaan dan kebahagiaan yang tak terduga. Setelah sekian lama merasa terluka dan terasing, dia menemukan secercah harapan dalam dekapan Aldar.

Aldar tahu bahwa dia tidak bisa tinggal diam bersama Erisa di desa itu. Meskipun hanya sebentar, dia merasa sangat bahagia bisa mengenal Erisa dan penduduk desa dengan kehangatan yang mereka berikan.

“Kami akan melanjutkan perjalanan besok, Erisa,” ucapnya dengan suara terdengar teramat sedih, seolah-olah mengungkapkan keinginannya untuk tetap bersama Erisa.

“Apakah kamu harus pergi, Aldar?” tanya Erisa dengan nada sedih.

Aldar terdiam, matanya memancarkan rasa penyesalan. “Baiklah, aku mengerti,” ucap Erisa lembut, namun di dalam hatinya, keputusannya membuatnya terluka. Erisa mengangguk, meskipun berat, dia harus menerima keputusan Aldar."

Erisa mengulurkan sebuah pemberian kepada mereka sebagai bekal di perjalanan. "Bawalah ini sebagai perbekalan kalian di jalan, kami tidak akan melupakan kebaikan kalian," ucapnya dengan tulus.

Lucy menerima pemberian itu dengan senyum yang tulus. "Terima kasih, Erisa," ujarnya, ekspresinya penuh dengan rasa terharu.

Aldar dan Lucy melanjutkan perjalanan mereka, tanpa mengetahui rintangan apa yang akan mereka hadapi selanjutnya. Bagi Lucy, keinginannya untuk menemukan kekuatan sihir sejati terus membakar di dalam dirinya. Sementara bagi Aldar, dia bertekad untuk melatih Lucy dalam sihir demi membalaskan dendamnya kepada Gary yang telah membunuh ibu dan adiknya. Tidak ada yang tahu apa yang menanti mereka di ujung perjalanan itu, namun mereka siap menghadapinya bersama-sama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status