Setelah Aldar mengucapkan kata-kata itu, Erisa dan penduduk desa mulai merasa lega. Mereka merasa ada harapan untuk melawan ancaman yang mengintai desa mereka. Erisa yang semula penuh kekhawatiran, kini merasa lebih percaya diri dengan dukungan dari Aldar dan Lucy.
"Erisa, kita tidak sendiri. Kita memiliki Aldar dan Lucy bersama kita," kata salah seorang penduduk desa dengan penuh semangat.
Erisa mengangguk, menguatkan hatinya. "Kalian benar. Kita akan melawan bersama-sama."
"Bagaimana kita bisa membayar mereka, sedangkan hampir separuh uang kita sudah dirampas oleh Malice?" Erisa kembali menunduk setelah mendengar ucapan tersebut.
Aldar menatap langit dengan tatapan yang dalam, hatinya dipenuhi kemarahan, "Kalian hidup dengan damai, itulah bayaran kami," ucap Aldar sekali lagi, meskipun suaranya gemetar, menaruh harapan besar kepada mereka.
Aldar dan Lucy berdiri menunggu di alun-alun desa yang hening. Senja mulai merambat di langit, memberikan sentuhan oranye lembut pada langit yang berawan. Angin musim semi menggerakkan dedaunan di pohon-pohon di sekitar mereka, sementara aroma bunga-bunga liar memenuhi udara.
Aldar menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah ketegangan yang terasa. Tatapannya terfokus, namun keraguan masih terlihat jelas di matanya. Di sampingnya, Lucy tampak tegar, dengan ekspresi tegas yang mengisyaratkan tekad yang kuat. Wajahnya yang teduh, terangkat oleh cahaya senja, memberinya aura keberanian yang menginspirasi.
Mereka berdua saling pandang sejenak, saling memberi dukungan tanpa kata-kata. Meskipun ada ketegangan di udara, ada juga kepercayaan bahwa mereka akan menghadapi tantangan bersama. Dengan napas dalam, mereka menunggu kedatangan penyihir jahat dengan hati yang teguh."
Saat Malice muncul, energinya memenuhi udara dengan kekuatan yang menakutkan, seolah menghantam Aldar dengan kerasnya. Aldar terhuyung mundur, mencoba menahan tekanan yang begitu kuat itu. Mata Lucy penuh dengan kekhawatiran saat dia melihat Aldar tersungkur ke tanah.
"Aldar, sepertinya dia bukan lawanmu," kata Lucy, dengan nada cemas, berusaha meredakan amarah yang membara di dalam Aldar. Namun, Aldar tampaknya tak lagi mendengarkan kata-kata penenang dari Lucy. Dengan langkah penuh tekad, ia melaju ke depan, membiarkan emosinya yang membara memuncak menjadi api di kedua telapak tangannya. Dengan pukulan keras, Aldar berusaha menyerang Malice.
Namun, serangan itu sia-sia saat Malice dengan lihai menghindarinya, seolah menari di atas serangan itu. Sebaliknya, balasan Malice datang dengan cepat, memukul Aldar dengan keras dan melemparkannya jauh ke belakang. Aldar jatuh dengan tubuh terasa remuk, tapi tekadnya untuk melindungi desa masih berkobar.
"Apa hanya segini kemampuan kalian?" ejek Malice dengan nada merendahkan, menambah penderitaan Aldar.
Meskipun badannya terasa sakit dan putus asa mulai menghampirinya, Aldar menolak untuk menyerah. "Jangan meremehkanku," bisiknya dengan napas yang terengah-engah. Meskipun dalam keadaan terpuruk, tekadnya untuk melindungi desa masih menyala, memberinya kekuatan untuk berusaha bangkit lagi. Namun, serangan mendadak dari seseorang membuatnya tak mampu bergerak.
"Rupanya sihirmu memanipulasi tanah dan mengubahnya menjadi prajurit. Baiklah, Aldar. Cukup sampai di sini. Sisanya, serahkan kepadaku," ujar Lucy sambil menurunkan tas yang ada di punggungnya. Dengan tekanan sihir yang sangat kuat, Lucy menantang Malice, namun ia itu tidak bergeming. Malah, Malice tertawa menanggapi tekanan dari Lucy.
"Kamu bukan orang sembarangan, siapa namamu?"
"Aku Lucy, aku hanya seorang pengembara. Tapi, aku tidak akan memaafkanmu karena telah menghajar muridku."
"Lucy? Kamukah penyihir pengembara yang terkenal itu? Suatu kehormatan bisa melawanmu."
Malice mengangkat kedua tangannya dan mengeluarkan lima prajurit dari tanah, menyerang Lucy yang tegak berdiri. Namun, Lucy dengan gesit menghindari serangan mereka, dengan lincah melepaskan serangan menggunakan pedangnya. Dengan satu ayunan pedang, kelima prajurit itu lenyap.
“Tampaknya aneh jika aku mengalahkanmu dengan sangat mudah, Lucy,” ucap Malice dengan nada meremehkan.
“Terima kasih atas pujianmu,” balas Lucy dengan senyum sinis.
“Kali ini, kau akan kuhancurkan, Lucy,” tantang Malice sambil berkonsentrasi. Seketika itu pula, dia membangkitkan sepuluh prajurit dari tanah, kali ini dilengkapi dengan zirah besi. Namun, meski serangan Lucy tidak memberikan kerusakan yang signifikan, Malice tetap tak gentar. “Ternyata, kamu tidak sekuat namamu yang terkenal.”
Namun, Lucy tetap tenang dan fokus. Dengan kekuatan sihirnya yang dahsyat, dia melepaskan serangan seribu pedang yang menghancurkan semua prajurit tanah dalam sekejap. Kemudian, tanpa diduga, Lucy muncul di belakang Malice, menodongkan pedangnya ke arah penyihir jahat tersebut. “Sebaiknya, kau kembalikan harta para warga yang sudah kau rampas dan jangan pernah kembali ke sini lagi.”
Meskipun Malice hanya diam, tatapan matanya mengisyaratkan bahwa dia menyadari kekalahan itu. Akhirnya, dengan tangan teracung, Malice menyerah dan berjanji tidak akan kembali ke desa tersebut.
Aldar bangun dengan kepala yang terasa berat, dunia berputar di sekitarnya, dan setiap hembusan napas terasa seperti usaha yang menghabiskan tenaga. Dia meraih kepalanya yang masih pusing, mencoba memusatkan pikirannya, namun segalanya terasa samar dan kabur."Kepalaku sakit, ada dimana aku." Tanya Aldar kepada nenek tua itu sambil memegang kepala yang masih pusing."Kamu berada dirumah Erisa, kamu pingsan karena telah berjuang menolong kami." Balas nenek tua sembari membantu Aldar bangun dari tempat tidur.Aldar tidak menjawab ucapan terima kasih dari nenek tua tersebut, karena masih belum paham yang sedang terjadi. lalu, ia mencoba untuk keluar dari rumah Erisa untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.Tak berpeduli dengan luka-lukanya, Aldar mencoba turun dari tempat tidur. “Bagaimana dengan si penyihir jahat?” tanya Aldar kepada Lucy yang duduk bersama Erisa.“Terima kasih, Aldar. Kau telah menyelamatkan kami dari penyihir jahat,” jawab Erisa sambil bangun dari kursinya.“Sepe
Aldar dan Lucy tiba di pondok kecil, di mana Kilan adalah kakek dari Lucy tinggal. Ketika mereka bertemu dengan Kilan, Aldar terkejut mengetahui bahwa kakek itu juga memiliki kemampuan untuk memanipulasi api, sama seperti dirinya. Rasa antusiasme pun menyelinap ke dalam dirinya, karena ia menyadari bahwa dia akan belajar langsung dari seseorang yang memiliki kemampuan yang sama dengannya.Lucy menceritakan kepada Aldar tentang kakeknya. Kilan adalah sosok yang baik hati, namun pernah mengalami kekecewaan besar ketika muridnya yang terakhir mengkhianatinya. Murid itu, dengan kesombongan dan keangkuhannya, menyebabkan kerusakan besar dan bahkan menghancurkan rumah-rumah warga.Kekuatan yang dia peroleh digunakan untuk menindas yang lemah. Akhirnya, Kilan terpaksa mengakhiri kehidupan muridnya dengan tangannya sendiri, sebuah pengalaman yang meninggalkan luka mendalam dalam hatinya.Meskipun terkesan dengan cerita tentang Kilan, Aldar yakin bahwa menjadi murid kakek itu adalah langkah ya
Kilan bercerita kepada Lucy, dia mendapat kabar yang aneh dari penduduk desa. Beberapa anak muda tiba-tiba menghilang tanpa jejak, awalnya mereka berjalan dimalam hari. Setelah itu mereka menghilang entah kemana. Beberapa saat yang lalu penduduk menemukan mayat mereka tewas dengan sangat mengenaskan, tubuh mereka seperti dicabik dan dibakar. Entah apa yang terjadi Kilan juga tidak tahu persis, lalu dia meminta Lucy dan Aldar untuk menyelidiki.Setelah mendengar cerita dari Kilan, Lucy teringat satu mantra yang pernah dia baca di buku kuno penyihir. Saat itu Lucy berada di Perpustakaan kota untuk belajar beberapa sihir. Lalu dia menemukan mantra untuk menghidupkan orang mati. Namun kekuatan tersebut harus memiliki seorang tumbal hidup. Jika kekuatan yang menjadi tumbal lebih lemah, dia akan akan tewas. Tapi justru sebaliknya, jika dia tepat maka jiwa yang sudah mati itu akan berpindah.Sebenarnya mantra tersebut bukan menghidupkan orang mati, lebih tepatnya pemindahan jiwa. Itu adalah
Lucy menghampiri kakeknya dengan langkah yang kebingungan, wajahnya mencerminkan keraguan yang mendalam. Aldar, sementara itu, hanya mengikuti di belakangnya, wajahnya masih terlihat membingungkan.“Kakek, dia masih hidup,” ucap Lucy dengan suara yang bergetar.“Siapa maksudmu?” tanya kakek Lucy dengan rasa ingin tahu yang jelas terpancar dari matanya.“Eldrick dialah yang memimpin organisasi tersebut, dialah dalang dari banyak anak muda yang menghilang,” jelas Lucy dengan nada serius.Kakek Lucy hanya terdiam, tatapannya kosong, dan genggamannya melemah sehingga gelas yang dipegangnya terjatuh dengan suara yang gemuruh.“Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, dia tidak mungkin bisa selamat dari serangan napas naga,” Kilan berusaha mencari jawaban atas kejadian yang menggemparkan itu.“Apakah kakek melihatnya mayatnya?” tanya Kilan lagi, mencoba mencerna situasi yang begitu mengejutkan."Tidak mungkin bisa meninggalkan jasad dengan api sebesar itu,” Kilan melanjutkan, ekspresinya mencerm
Matanya beradu dengan Gary, mengisyaratkan akan terjadi pertempuran di antara keduanya. "Tatapanmu semakin tajam, Aldar," kata Gary, mendekati Aldar yang memancarkan aura kebencian. “Orang lemah sepertimu tidak pantas berada di sini, sebaiknya kamu menghilang seperti ibu dan adikmu,” bisik Gary dengan nada meremehkan kepada Aldar. Aldar menahan amarahnya, namun api kemarahan tampak membara di matanya. Aldar merasa marah mendengar perkataan Gary, hendak mengeluarkan sihirnya, namun tangan Lucy yang tiba-tiba menahannya. Aldar berjuang untuk menahan diri, menyadari bahwa kekuatan sihirnya bisa memicu bencana di tempat itu. “Maafkan pengikutku tuan karena telah menabrakmu,” ucap Lucy, tetapi ada ketegangan yang terabaikan di balik senyumnya. “Lucy? Bukankah kamu Lucy, penyihir yang terkenal itu,” ucap salah satu teman Gary, kebingungan. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan ketidakpercayaan. “Kalian terlalu berlebihan, aku tidak sehebat dan seterkenal itu,” balas Lucy merendah. Gary
"Hidupmu adalah keputusanmu, aku tidak berhak mencampurinya," ucap Lucy dengan suara lembut, tetapi penuh dengan kebijaksanaan yang dalam.Aldar mengangguk perlahan, ekspresinya mencerminkan keraguan dan kegelisahan. "Aku mengerti, hanya saja...""Kamu tenang saja, kamu akan tetap menjadi muridku, Aldar," tambah Lucy, tangannya menepuk lembut bahu Aldar, memberikan dukungan yang tulus."Terima kasih untuk segalanya, Lucy. Tapi aku masih butuh bantuanmu, aku tidak tahu guild mana yang harus ku masuki," Aldar berkata dengan suara terbata-bata. “Darian Swift adalah teman lamaku, dia master di guild Arden Tall. Aku rasa kamu akan nyaman disana," ujar Lucy, matanya bersinar dengan keyakinan yang mendalam.“Arden Tall...," gumam Aldar, merenung sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih terbuka dan optimis. "Terdengar bersahabat. Aku mengikuti saranmu, Lucy.""Baiklah, besok kita akan kesana," kata Lucy, senyumnya hangat, membawa kedamaian pada Aldar yang gelisah.***Mereka tiba di Arden
Darian dan Lucy, dua pengembara yang tidak pernah lelah menjelajahi dunia demi mencari tingkat sihir yang sejati. Namun, bagi Darian, esensi sejati dari sihir adalah kebersamaan dengan keluarganya. "Kekuatan sejati terletak pada perlindungan yang diberikan kepada orang-orang tercinta, karena itulah yang menghasilkan kekuatan sihir yang sejati," ucapnya tulus kepada Lucy. Akhirnya, setelah serangkaian petualangan, Darian membuat keputusan besar untuk bergabung dengan Guild, tempat di mana ia berharap menemukan arah yang lebih jelas bagi dirinya. Sementara itu, Lucy tetap setia pada panggilan petualangannya yang belum selesai, mencari makna yang belum ditemukan di luar sana. Dan kini, setelah perjalanan panjang, Darian telah mencapai puncaknya sebagai Master Arden Tall. Kepercayaan yang diberikan kepadanya oleh para pemimpin sebelumnya tidak sia-sia, karena jiwa Arden yang kuat telah membimbingnya melalui setiap langkah perjalanan hidupnya.”Darian menyambut Lucy dengan senyuman hanga
Setelah Morin dan Aldar mengobrol sebentar, mereka memutuskan untuk bergabung dengan beberapa teman mereka untuk berlatih sihir di lapangan terbuka. Sinar matahari terik menyinari mereka sementara mereka mengarahkan energi sihir mereka ke target-target yang telah mereka tentukan."Kamu sudah semakin mahir dalam mengendalikan sihir, Aldar," ujar salah satu teman mereka, seorang penyihir bernama Elara. "Saya bahkan harus mengakui bahwa kamu mungkin sudah melebihi saya dalam beberapa aspek.""Aku pasti tidak bisa sampai sejauh ini tanpa bantuan kalian semua," jawab Aldar sambil tersenyum. "Dan tentu saja, tanpa bimbingan dari Master Darian."Sementara itu, di sudut lapangan, Darian sedang duduk dengan tenang, memperhatikan anak-anaknya berlatih. Meskipun kelihatannya seperti dia hanya duduk diam, tetapi ada aura kebijaksanaan dan pengawasan yang tak terbantahkan di sekitarnya."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Darian tiba-tiba, membuat semua orang berhenti berlatih dan memperhatik