Jaka mempercepat langkahnya menyusuri jejak yang semakin terlihat samar. Hingga akhirnya jejak itu berhenti pada sebuah batu persegi berwarna hitam. Jaka memperhatikan batu itu dengan seksama. Beberapa kali dia coba memutarnya namun tak bergeming. Dia duduk sebentar sambil berpikir keras. Jelas sekali jejak itu berhenti di batu itu. Dia coba telusuri arah lain, tak ada jejak selain di dekat batu persegi itu.
"Ini aneh, batu persegi di tengah hutan...?" batin Jaka sambil terus memperhatikan batu itu. Sekilas Jaka melihat ada sebuah guratan di pinggir batu. Dengan cepat dia usap guratan yang penuh tanah itu. Pemuda itu terhenyak sesaat. Dibacanya satu tulisan sansekerta yang berbunyi, Wates Urip Pati.(Batas Hidup Mati).Jaka mengingat-ingat sebuah cerita yang Eyang Mahameru ceritakan. Sewaktu Eyang Mahameru berkelana di dunia persilatan, dia pernah menjumpai berbagai macam hal. Ada yang di luar nalar manusia, ada juga yang sama sekali tidak masuk akal. Eyang berceritDengan gerakan cepat Jati Saba melancarkan satu pukulan tangan kosong ke arah pinggiran waduk dimana dia merasakan kemunculan seseorang. Blaarr! Gelombang serangannya menghantam air hingga air waduk membubung tinggi ke udara. Jaka berdiri tegap dengan sikap waspada. Tiba-tiba angin bertiup kencang membuat api unggun itu meredup hingga akhirnya padam. Keadaan pun menjadi gelap gulita. Dua orang ini saling celingukan dan hanya bisa merasakan dengan aura di sekitar mereka. "Tidak salah lagi... Mereka benar-benar ada!" ucap Jati Saba panik. Jaka Geni pergunakan ilmu Agni Maya di sekujur tubuhnya. Lalu dengan pengolahan yang terkontrol, dia kerahkan cahaya kekuatan itu sehingga membuat tubuhnya bercahaya kuning. Tempat sekitar pun mulai terlihat. Jati Saba kagum dengan apa yang Jaka lakukan. "Benar-benar pendekar hebat...!" batinnya. Saat mereka menatap ke sekitar, beberapa bayangan melintas di belakang mereka. Hal itu cukup membuat bulu kuduk Jati Saba berdiri. Namun berbeda dengan J
Kawasan Waduk Wadaslintang terlihat gelap gulita. Hanya ada satu cahaya berkedip di pinggir waduk yang luas itu. Cahaya itu adalah api unggun dimana Jaka Geni dan tiga orang yang bersama dengannya beristirahat malam. Gondo Sula tiduran di sebuah kayu yang tumbang melintang di tepian waduk. Jati Saba duduk memisahkan diri di bawah pohon tak jauh dari api unggun. Sedangkan Jaka Geni dan Melati duduk berdua di depan api sambil membakar beberapa ikan yang cukup besar. Aroma wangi ikan bakar itu membuat perut kedua orang yang memisahkan diri itu keroncongan. Namun mereka sungkan untuk mendekat. Apalagi melihat dua muda mudi yang sangat dekat itu. Jati Saba hanya mengelus perutnya. Dia belum makan seharian itu. Sedangkan Gondo Sula meski sudah makan, dia merasa lapar lagi karena tenaganya terkuras waktu bertarung dengan orang-orang Perkumpulan Gerhana Bulan. Namun dia juga sama, sungkan kepada dua muda mudi yang ada di sana. "Beruntung sekali menjadi seorang pemuda yang tampan dan disuk
Leksono terkapar pingsan setelah menerima serangan Gondo Sula. Melati dan beberapa orang padepokan Wadaslintang segera menghampiri Leksono yang tergeletak tak berdaya. Sebagian lagi menyerang ke arah Gondo Sula karena marah kawan mereka terkena serangan. Dengan nafas mendengus kesal Gondo angkat pedangnya ke bahu. "Kalian berani mengusik sahabatku, kalian harus mati!" ucap Gondo garang. Empat orang menyerang secara bersamaan. Dengan garang Gondo Sula mengimbangi gerakan empat lawannya. Pertarungan sengit terjadi. Ternyata orang-orang Padepokan Wadaslintang ini mempunyai ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Berbeda dengan orang-orang Perkumpulan Gerhana Bulan yang dia hadapi sebelumnya. Kali ini Gondo Sula harus kerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi serangan empat Pendekar. Melati duduk bersimpuh di samping tubuh Leksono. Air matanya berurai membasahi pipinya. Ketua rombongan langsung mendudukkan tubuh Leksono dan mengalirkan tenaga dalam melalui punggung pemuda itu. "Kakang Jati
Matahari sore mulai berwarna keemasan. Air biru nan segar itu membuat siapapun ingin berenang di dalamnya. Sesosok wanita tiba-tiba muncul dari dalam air dengan tanpa selembar benang pun. Dia keluar dari waduk itu menuju pinggiran untuk mengambil pakaiannya. Tubuhnya yang mulus terlihat indah dan mempesona terkena terpaan sinar matahari senja. Dengan sedikit terburu dia memakai pakaiannya. Lalu mengambil senjata pedang yang tergeletak di dekatnya. "Sudah selesai belum?" tanya satu suara lelaki dibalik pohon mahoni. Gadis itu menghampiri asal suara itu dengan berjinjit. Namun lelaki itu keluar dan baaaaGadis itu berteriak kaget membuat lelaki berpakaian hijau itu tertawa. "Melati, lama sekali kami mandi!?" tanya lelaki itu. Gadis bernama Melati itu cemberut. "Kakang Leksono membuat aku kaget setengah mati! Jahat sekali!" ucapnya kesal. Lelaki yang ternyata bernama Leksono itu tertawa geli. "Ayolah buruan, kita harus segera menyusul yang lainnya. Kalau terlambat, gerombolan itu aka
Resi Jaya Dipa tertawa keras. Wajahnya memerah seketika. Lalu tiba-tiba matanya mendelik seperti mau lepas dari rongga matanya. "Aku tahu siapa dirimu pendekar botak! Kau adalah Pendekar Cakar Iblis! Orang yang berkhianat saat Karna mau mengkudeta adiknya!puih! Kau berani menantang ku!? Apa kau sudah bosan hidup!?" ucap Resi Jaya Dipa berang. Gondo Sula menatap tajam dengan dada turun naik menahan amarah. "Kita akan tahu, siapa yang akan mati!" ucap Gondo Sula lalu menerjang langsung ke arah Resi Jaya Dipa. "Bunuh si botak dan satu teman bodohnya itu!" perintah Resi Jaya Dipa kepada para pendekar andalannya itu. Pertempuran pun terjadi. Jaka yang tak luput dari serangan pun segera menyongsong serangan beberapa pendekar. Ternyata Pendekar-pendekar itu memang bukan Pendekar biasa. Mereka telah sangat terampil dari segi jurus dan serangan. Hal ini cukup membuat Gondo Sula kerepotan. Meski dia menggunakan pedang besar miliknya, tetap saja lawan terlalu banyak dan bukan orang-orang
Waduk Wadaslintang Saat Jaka Geni tengah asik melihat pertunjukan orang-orang di dalam kedai, ada satu rombongan orang berpakaian serba hitam. Mereka pun masuk ke dalam kedai. Semua orang yang ada di dalam menyingkir kecuali dua orang yang tengah ribut tadi. Jaka memperhatikan rombongan orang yang terlihat seperti para pendekar. Dua orang yang memperebutkan Maharani itu masih saling adu mulut. Salah satu orang dari rombongan tadi menghampiri orang yang mengaku dirinya Jaka Geni. Dengan kasar orang berkepala plontos itu menjambak rambut Jaka Geni palsu. "Kau bilang dirimu adalah Jaka Geni! Jika benar, maka cepatlah! Serahkan seruling perak yang ada padamu!" ucap orang berkepala plontos itu. Jaka Geni palsu menyeringai kesakitan. "Ma...maaf tuan... Aku tidak punya seruling perak yang tu... Tuan maksud..." ucap Jaka Geni palsu. Mata orang berkepala plontos itu berputar aneh dan melihat dari wajahnya, dia benar-benar marah mendengar jawaban Jaka Geni palsu. Lalu dengan cepat dia a