LOGINMalam itu Jaka tak bisa tidur dengan nyenyak. Perasaan gelisah melanda hatinya. Besok dirinya akan turun gunung untuk pertama kalinya setelah belasan tahun berada di puncak. Meski sesekali turun bersama gurunya, tetap saja kepergian besok sangat berbeda. Dirinya akan memapaki dunia persilatan menjadi pendekar sejati. Meski tidak ragu dengan bekal ilmu kanuragan yang diajarkan sang guru, tetap saja, Jaka masih merasa belum siap meninggalkan orang tua tersebut.
Setelah resah tak dapat tidur semalaman suntuk, akhirnya pagi pun tiba. Suara ayam terdengar saling bersahutan di bawah sana. Jaka bangun dari tempat tidurnya sambil menguap lebar-lebar. "Sial..Aku kurang tidur..." gerutu pemuda itu sambil melangkah keluar menuju ke gentong tanah berisi air. Dia mengambil gayung lalu mengguyur wajahnya dengan air yang dingin. "Bwaahhh! Segar!" seru pemuda itu. Selesai membasuh muka, Jaka melangkah menuju ke goa batu yang tak jauh dari gubuk tempat tinggalnya. Goa batu itu biasa digunakan oleh Ki Meru untuk memasak besar seperti membakar daging atau makanan lain. Dari kejauhan Jaka mengendus aroma harum yang membuat perutnya keroncongan. "Aroma ini...Kakek Guru sepertinya tengah membakar daging kelinci hutan kesukaanku..." batin Jaka. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa terharu. Dengan langkah perlahan Jaka mendekati mulut goa kecil tersebut. Sesampainya di depan sana, terlihat Ki Meru yang tengah sibuk memasak. Dia membakar dua ekor daging kelinci hutan dan merebus singkong. Sesekali pria tua itu membalik daging kelinci agar tidak gosong. Dan sesekali juga dia meniup tungku tempat dia merebus singkong. Melihat Jaka datang, Ki Meru pun tesenyum. "Kau sudah bangun ternyata. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu." kata Ki Meru. Jaka tersenyum kecil sambil melangkah masuk. Dia berjongkok di hadapan api yang tengah membakar daging. "Kenapa guru harus repot-repot seperti ini?" tanya Jaka. "Hus, repot bagaimana? Aku menyiapkan semua ini bukan hanya untukmu. Aku juga butuh makan!" kata Ki Meru sambil membuka tutup panci tanah miliknya. Jaka tertawa kecil. Padahal sebelumnya dia sudah mengira, daging kelinci bakar itu akan diberikan padanya untuk makan disana dan bekal di perjalanan. Ternyata tak seperti yang dia pikirkan. "Kemarilah, kau makan dulu," kata Ki Meru yang terlihat sangat baik di mata Jaka hari itu. Pemuda itu sadar, itu adalah kebaikan terakhir dari gurunya sebelum dia turun gunung dan tak tahu kapan bisa bersua lagi. Jaka pun duduk di lantai batu yang biasa menjadi tempat duduknya saat makan disana. Momen makan di goa itu terbilang langka karena tak setiap hari Ki Meru masak besar. Biasanya dia hanya bakar singkong di dalam gubuk atau tidak makan sama sekali. Ki Meru mengambil daging kelinci bakar dan menaruhnya di atas nampan kayu. Lalu dia pun mengambil beberapa potong singkong rebus yang dia letakkan di sebelah daging tersebut. Setelah itu, Ki Meru meletakkan makanan tersebut di depan Jaka. "Makanlah, mungkin ini adalah santapan terakhirmu disini..." kata Ki Meru dengan suara yang sedikit berbeda dari biasanya. Kedua mata Jaka nampak berkaca-kaca. Dia mengangguk lalu mengambil singkong rebus yang ada di hadapannya. Pemuda itu pun mulai makan dengan tenang sambil berpikir kemana dia akan melangkah. "Setelah turun gunung, kau temui orang yang ada di desa Waru itu seperti biasa. Dia sudah sangat baik mau memberikan singkong ini pada kita," kata Ki Meru. Jaka mengangguk. Memang sebenarnya singkong tersebut mereka dapatkan dari seorang petani singkong yang ada di bawah kaki Gunung Semeru. Setiap masa panen, mereka mendapatkan jatah dari petani tersebut karena Ki Meru pernah menolong keluarga si petani dari serangan macan gunung. Sejak saat itulah, keluarga petani itu memberikan singkong sebagai balas budi meski Ki Meru pernah menolaknya. Bahkan mereka naik ke gunung sampai ke puncak untuk memberikan bahan pangan tersebut tak peduli lelah maupun bahaya yang bisa kapan saja datang. Setelah makan hingga habis, Jaka pun bersiap untuk pamit. Ki Meru yang sejak tadi sibuk datang dan memberikan buntalan kain kepada pemuda tersebut. "Kek...Apa ini?" tanya Jaka sambil menunjuk buntalan kain tersebut. "Ini untukmu, kau ini kan masih muda, mudah lapar. Aku tahu betul itu. Anggap saja ini hadiah dariku," kata Ki Meru membuat Jaka tak bisa lagi menahan perasaannya. Dia berlutut di hadapan Ki Meru sambil meneteskan air mata. "Terimakasih kek...Aku tak akan pernah melupakan semua kebaikan yang kau berikan padaku...Suatu saat nanti, aku akan membalas kebaikan ini..." kata Jaka sambil mengusap air matanya. Ki Meru tertawa kecil. Dia menangkap bahu Jaka dan mengangkatnya agar pemuda itu berdiri. "Sudahlah, jangan cengeng. Kau ini seorang pria. Tak boleh seorang pria menangis hanya karena perpisahan. Ingat, berdiri di jalan yang benar, melangkah membasmi kejahatan. Itu pesan ku untukmu, Jaka Geni!" kata Ki Meru. Jaka mengangguk sambil mengusap ingus yang hampir menetes. Dia tersenyum melihat raut wajah Ki Meru yang seolah hendak muntah melihat ingusnya yang meleleh seperti anak kecil. "Dasar kau ini...jorok!" ucap gurunya tersebut namun sambil cengengesan. Jaka mengambil buntalan kain yang ada di lantai. Dia merasakan hangat. "Jadi daging kelinci bakar itu untukku semua Kek? Katanya kakek ini untuk kita berdua?" tanya Jaka. "Sudah, kau bawa saja itu untuk makan siang atau sore. Cukuplah untuk hari ini. Besok kau harus masak sendiri. Kalau kau malas, ya kau tidak makan. Kakek juga tidak bisa memberimu uang. Karena kakek tidak memiliki uang sepeserpun," kata Ki Meru. Jaka tak tahu harus berkata apa. Yang jelas saat ini dia merasa sangat bersedih karena harus berpisah dengan orang yang sudah merawat dirinya sejak dia kecil. Jaka menyalami tangan pria tua itu lalu menciumnya. Ki Meru menatap dengan mata yang berkaca-kaca namun masih terlihat tegar. Dia mengusap punggung pemuda itu lalu menepuk-nepuk nya dengan pelan. "Pergilah, aku taruh harapan besarku padamu. Namamu, akan berjaya di atas dunia jika kau tetap berada di jalanmu. Ingat lagi pesanku, jangan mudah terkecoh oleh kejahatan dan tipu daya yang tiada habisnya. Kau sudah mendapatkan semua yang aku miliki, inilah saatnya kau mengamalkan semua itu, muridku, Jaka..." kata Ki Meru dengan suara yang mulai berubah. Jaka mengangguk kemudian dia pun berdiri. Mereka sempat saling bertatap mata sebelum sama-sama tersenyum. "Kakek jaga dirimu baik-baik...jangan lupa minum Ramuan untuk tulang yang sudah aku buat kemarin malam saat aku tidak bisa tidur. Itu cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelahnya, murid tak bisa memberikan apa pun untukmu kek...Maaf jika aku selalu merepotkan dirimu..." kata Jaka. "Iya iya, sudah lah tak perlu panjang-panjang perpisahannya. Pergilah, aku akan berisitrahat. Capek juga setelah beberapa lama membakar daging itu," kata Ki Meru membuat Jaka tertawa kecil. "Baiklah, terimakasih ya kakek...Aku pergi dulu," kata Jaka lalu dia membungkuk sekali kemudian pergi meninggalkan Ki Meru yang menatapnya dengan mata memerah. Perlahan-lahan, air mata menetes di pipinya yang sudah keriput. "Jaka...Hati-hati...kelak kau akan menjadi pendekar yang hebat..." bisiknya dalam hati. ***Dua hari rombongan Ki Wongso menginap di desa kecil itu dan tidak terjadi apa-apa. Hingga akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka ke Telaga Mulya. Namun mereka harus melewati kerajaan Banyu Biru selama beberapa hari ke depan sebelum akhirnya bisa sampai perbatasan. Jaka Geni telah sembuh dari lukanya. Selama dua hari itu dia giat berlatih dengan guru barunya, Utari Dewi. Ki Wongso juga terkadang ikut memberikan beberapa jurus. Namun sayangnya, Jaka belum bisa menggunakan ajian sakti. Tenaga dalamnya masih sangat tipis. Mempertahankan pedang dalam genggaman selama pertarungan saja sudah cukup sulit bagi Jaka. Mengingat beberapa hari yang lalu lawannya adalah para pendekar dengan tenaga dalam cukup tinggi. Namun sedikit demi sedikit Jaka bisa meningkatkan tenaga dalamnya. Latihan yang Utari ajarkan cukup membuat perkembangan pada Jaka Geni. Meski nadi yang mengunci tenaga dalamnya masih terkunci, Jaka kini lebih bisa menguasai jurus yang lumayan mematikan. Kerajaan Ban
Malam semakin larut, pertarungan pun masih terus berlanjut. Ki Wongso melesat di samping Jalak Biru lalu menghantam dengan ajian Geger Gunung Slamet. Jalak Biru merasakan ada pergerakan di sebelah kiri nya. Namun dia terlambat, pukulan Ki Wongso telah bersarang di rahang nya. Tubuh Jalak Biru terpental hingga beberapa tombak dengan kepala muntir terbalik ke atas. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Dua ketua yang melihat Jalak Biru terkena pukulan telak segera meninggalkan pertarungan mereka lalu menyerbu ke arah Ki Wongso. Waringin dan Jati Wangon menerjang penuh amarah setelah melihat kematian Jalak Biru yang mengenaskan. Ki Wongso tidak sendiri, di bantu para pendekar dia mengepung dua ketua itu. Pertarungan pun terjadi. Meski di kepung banyak pendekar namun Jati Wangon dan Waringin masih bisa menahan serangan. Sementara itu Projo mati-matian bertahan dari serangan Utari Dewi yang semakin di tahan semakin cepat gadis itu menyerang. "Sialan... Bagaimana aku lepas dari gadi
Pucung melihat perubahan mata pada Utari Dewi. Selain takjub, dia merasa merinding juga. "Apakah mata dia sakit? Bagaimana bisa warnanya berubah seperti itu?" batin Pucung sambil mengamati perubahan mata si gadis. Tanpa banyak bicara, Utari Dewi langsung melesat dengan sangat cepat! Bahkan Jaka Geni melihat gadis itu seolah menghilang. Karena dia melihat dengan mata biasa, berbeda dengan Pucung yang takjub dengan kecepatan Utari. Saat berjarak satu tombak, tiba-tiba Utari lenyap dari pandangan Pucung. Lelaki itu terkejut setengah mati. "Lenyap!? Bagaimana bisa!?" teriak Pucung kebingungan. Saat itulah dari sisi kiri tangan Utari Dewi bergerak menghantam. Tanpa melihat, Pucung yang merasa ada hembusan angin langsung bergerak cepat menebas ke arah kiri. Utari menarik kembali tangan nya. Hampir saja tangan kanannya terpotong oleh pedang Pucung. Dengan gerak cepat, Utari merunduk lalu kakinya menyambar kaki kanan Pucung. Krak! Terdengar tulang patah setelah kaki kiri Utari menya
Rombongan Ki Wongso bergerak perlahan di hutan yang gelap. Jaka Geni membuka matanya perlahan saat roda kayu itu menginjak batu kecil dan membuatnya terbangun dari tidurnya. Di sebelahnya Utari Dewi masih memeluk dirinya dengan kepala bersandar di dadanya. Jaka Geni tersenyum melihat gadis itu terlihat sangat nyenyak. Jaka meletakkan kepala gadis itu di kursi dengan bantalan empuk. Lalu dia berjalan ke depan sambil membungkuk. Jaka duduk di sebelah kusir kereta. "Ki sanak, apakah kita tidak menginap di jalan terlebih dahulu. Sepertinya para kusir sudah kelelahan," ucap Jaka mengawali pembicaraan. "Masih di tengah hutan den, nanti kita akan istirahat setelah melewati hutan dan menemukan perkampungan. Jika kita menginap di sini sangat rawan den," jawab kusir tersebut. Jaka menganggukkan kepala lalu berdiam diri. Pandangan matanya menyapu ke segala penjuru. Semuanya terlihat gelap dan mencekam. Lampu obor di kanan dan kiri kereta bergoyang-goyang tertiup angin. Rombongan panjang
Sepulangnya dari kedai besar di sore hari, Jalak Biru langsung menuju kediamannya bersama puluhan begal anak buahnya. Sesampainya di sarang mereka, Jalak Biru duduk terdiam di kursi batu yang besar di dalam goa yang tak jauh dari kawasan perbatasan. Para kepala kelompok begal di panggil. Mereka ada lima orang. Saat terjadi perselisihan Jalak Biru dan Ki Wongso, lima orang ini berada di tempat lain. Begal Jalak Biru ini adalah salah satu kelompok begal yang lumayan besar di kerajaan Banyu Biru. Mereka suka menjarah para saudagar kaya yang melintasi perbatasan. Jalak Biru mempunyai lima tangan yang berpengaruh di gerombolan itu. Kelimanya itu adalah para begal tua yang sedari dulu mengikuti Jalak Biru. Nama Jalak Biru sendiri sebenarnya adalah nama ayah dari Jalak Biru yang sekarang. Dia menjadikan nama ayahnya yang sudah tewas di tangan Mahesa Birawa sebagai julukan dia sendiri. Sedangkan nama aslinya adalah Jalu Sastra Paningit. Seorang anak dari Jalak Biru hasil dari menghamili
Ki Wongso menatap tajam. "Bubuk pencari raga?" batin orang tua itu. Jalak Biru melesat ke arah Ki Wongso dengan cepat lalu menebar bubuk itu ke arah Ki Wongso. Dengan cepat Ki Wongso menghindar. Namun anehnya bubuk itu mengejarnya. Jalak Biru tersenyum. Dia berkelebat cepat ke arah bubuk tersebut meski tubuh Ki Wongso masih terlihat diam di depannya. Orang tua itu mendengus kesal. Tanpa menghindar, dia serang Jalak Biru. Adu jurus pun terjadi. Bubuk itu sebagian menutupi pandangan Ki Wongso membuatnya kesulitan menghadapi serangan-serangan golok Jalak Biru. "Kau tidak tahu siapa aku orang tua! Kau akan mati penuh sesal karena telah meremehkan ku!" teriak Jalak Biru sambil terus mempercepat serangan. Ki Wongso segera melompat ke belakang. Saat tubuhnya melayang di udara, telapak tangannya menghantam ke depan. Satu gelombang hitam menggulung bubuk yang di lemparkan Jalak Biru. Saat itulah, Ki Wongso menggunakan ilmu Samar Hantu miliknya. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Jal







