LOGINJaka memutar tubuhnya agar membelakangi sinar matahari yang menyilaukan. Setelah dia balik badan, dia melihat Ki Mahameru yang berdiri di hadapannya dengan mata terpejam. Jaka sempat tertegun melihat orang tua tersebut.
"Kakek...? Apa yang dia lakukan berdiri sambil memejamkan mata?" batin Jaka dengan perasaan yang mulai khawatir. Dia takut gurunya tersebut mati dalam keadaan berdiri. Dengan cepat dia pun bangkit dan mengguncang tubuh gurunya tersebut. "Kakek! Jangan mati kek!" seru pemuda itu dengan nada yang panik. Kedua mata Ki Meru terbuka. Dia melotot kearah Jaka yang tertegun melihat kedua mata gurunya terbuka. "Kakek guru...kau, hidup lagi..." Tak! Sentilan keras mendarat di kening Jaka. "Siapa yang mati hah! Dasar bocah edan! Aku ketiduran gara-gara menunggumu tak sadar-sadar!" hardik Ki Meru. Jaka mengaduh kesakitan sambil mengusap keningnya. "Aduh Kek...Ampun...! Aku pikir...Kakek..." "Sudah-sudah! Jangan berpikir yang macam-macam! Aku sudah lelah menunggu disini sejak tadi. Aku ingin beristirahat," kata Ki Meru. "Lalu, bagaimana dengan latihanku kek? Apakah sudah berhasil?' tanya Jaka. Ki Meru menoleh kearah pemuda tersebut dan menatapnya dengan mata menyipit. "Kau tak melihat bajumu hancur menjadi abu?" tanyanya kemudian. Sontak saja Jaka tersadar kalau dirinya memang sudah tak mengenakan baju. Untungnya celana dia masih baik-baik saja meski ada bagian yang gosong di beberapa titik. "Jadi, aku sudah berhasil menguasai Ajian Gledek milik kakek!?" seru Jaka dengan wajah sumringah. Ki Meru mengangguk. "Kau sudah mendapatkan kekuatan dari Dewata di batu Penyucian ini. Tentu saja kau sudah menguasai ajian Gledek tersebut. Hanya saja, aku perlu memberikan mantra padamu sebagai pemicu kekuatan Gledek yang nantinya akan kau gunakan di pertarungan." kata Ki Meru. Jaka mengangguk dengan wajah yang sangat senang. Tak menyangka setelah dirinya menjadi murid Ki Meru selama 16 tahun, dirinya bisa mendapatkan ajian Sakti mandraguna yang pernah membuat geger dunia persilatan selama belasan tahun. Mereka berdua kembali ke gubuk kayu. Jaka membersihkan diri dari kotoran yang melekat di tubuhnya karena pakaiannya yang menjadi abu akibat sambaran petir. Sementara Ki Meru menyiapkan makanan untuk sarapan meski waktu itu sudah beranjak siang. Selesai sarapan, Ki Meru menjelaskan kepada Jaka mengenai Ajian Gledek yang baru saja didapat oleh pemuda tersebut. Mereka berdua duduk di atas batu datar yang ada di depan gubuk kayu. "Ajian Gledek terbagi menjadi tiga tahapan. Yang pertama adalah Gledek Membelah Langit. Kegunaan dari ajian ini adalah untuk melindungi dirimu dari serangan. Mudahnya, tahap ini merupakan pertahanan yang kuat. Lalu tahap kedua adalah Gledek Sambar Nyawa, merupakan ajian yang membuat tubuhmu mampu bergerak secepat kilat. dengan dua ajian itu, siapa yang bisa melawanmu?" kata Ki Meru. "Lalu, yang satunya lagi Ki?" tanya Jaka penasaran pada tahap ke tiga dari ajian Sakti tersebut. "Yang ketiga adalah Gledek Mengguncang Bumi. Merupakan ajian jarak jauh yang bisa kau kerahkan untuk menyambar musuh. Tapi ajian ini sangat menguras tenaga dalam. Jadi, dua ajian tadi sudah sangat cukup untuk bertahan dan menyerang," kata Ki Meru. "Jadi, kakek juga jarang menggunakan ajian Gledek Mengguncang Bumi?" tanya Jaka. Ki Meru menggelengkan kepala. "Sangat jarang, apalagi disaat melawan musuh yang lebih dari satu. Aku pun jarang menggunakan ajian Gledek kalau musuhnya masih kelas teri," kata Ki Meru membuat Jaka takjub. "Kakek sangat hebat..." puji Jaka membuat Ki Meru tertawa. "Hei bocah, aku ingin bertanya padamu, apa yang kau alami saat kau bersemedi...Dan, sepertinya kau sama sekali tak merasakan sakit saat petir itu dua kali menghantam tubuhmu," kata Ki Meru membuat Jaka terkejut. "Petir menghantam tubuhku kek? yang benar saja..." sahut pemuda itu tak percaya. "Kau tak ingat dengan bajumu yang hancur menjadi abu?" tanya Ki Meru membuat Jaka terdiam. "Benar juga...Tapi, kenapa aku tak merasakan apa pun Kek? Katamu aku disambar petir..." kata Jaka sambil menggaruk kepala. "Nah itu yang ingin aku tanyakan. Apa yang kau alami saat itu sehingga kau begitu tenang menghadapi kekuatan petir tersebut," ucap Ki Meru sambil menatap Jaka tanpa kedip. Jaka pun menceritakan apa yang dia alami saat berada di batu Penyucian. Dia mengatakan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Mendengar hal itu, tentu saja membuat Ki Meru terperanjat. "Kau bahkan bertemu dengan gerbang raksasa!?" serunya kemudian. Jaka mengangguk dengan kening berkerut. "Kenapa kakek begitu terkejut? Apakah waktu itu kakek tidak mengalaminya?" tanya Jaka penasaran. "Tentu saja tidak...ini aneh sekali...Kau mendapatkan anugerah yang luar biasa dari Dewata...Kau sangat beruntung anak muda..." kata Ki Meru sambil tertawa terkekeh karena bangga. "Aku sendiri tidak tahu Kek...Mungkin sudah takdir bagiku untuk mendapatkan kekuatan itu..." kata Jaka sambil tersenyum. "Kau ini cukup unik. Saat aku menemukan dirimu, kau sudah bisa menggunakan kekuatan api hijau. Itu adalah Api yang langka menurutku...Dan aku penasaran, darimana kau mendapatkan kekuatan api itu," kata Ki Meru. Jaka tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Entahlah Kek...Yang aku ingat hanya saat-saat kau memarahi diriku saja hahaha!" "Woo dasar semprul! Kau meledek orang tua hah!?" hardik Ki Meru dengan mata melotot. Jaka tertawa keras melihat raut wajah gurunya. Setelah beberapa saat, tawanya pun mendadak lenyap. Wajah pemuda itu menjadi murung saat itu juga. Hal itu tak lepas dari tatapan mata sang guru. "Ada apa? Apakah kau merasa sedih karena sebentar lagi akan turun gunung?" tanya Ki Meru. Jaka menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras. "Begitulah kek...Aku merasa hidup disini itu lebih baik...Tapi di sisi lain, aku juga ingin merasakan dunia di bawah sana...Kakek selalu bercerita kalau di bawah sana jauh lebih menyenangkan. Aku penasaran, sesenang apakah sampai aku harus turun gunung Kek..." kata Jaka dengan suara parau. Ki Meru tersenyum. "Jaka, dunia ini luas dan bukan hanya puncak Semeru ini. Tujuan kau mendapatkan ilmu kanuragan itu untuk apa? Bukankah semua itu adalah untuk bekal kau mengembara di dunia persilatan? Banyak ketidak adilan dan juga kejahatan di dunia ini. Jika orang baik tidak turun gunung, siapa yang akan mengatasi semua itu?" kata Ki Meru memberikan wejangan. Jaka mendengarkannya dengan seksama sambil menatap wajah tua gurunya. Dia menganggukkan kepala. "Kau sudah tahu banyak tentang pusat tanah jawa. Di Kerajaan Sigaluh, ada beberapa kenalanku yang mungkin bisa membantumu. Ada juga orang yang cukup mengenang di hatiku...tapi kau tak perlu tahu hal itu." kata Ki Meru membuat Jaka penasaran. "Maksud kakek, seorang wanita?" tanya Jaka membuat wajah Ki Meru berubah seketika. "Bagaimana kau bisa menebak kearah sana? Padahal aku tidak memberitahumu mengenai orang itu," tanya Ki Meru membuat Jaka tertawa. "Aku hanya menebak Kek, tapi sepertinya benar hahaha!" kata Jaka lalu bangkit berdiri takut gurunya akan menjewer telinganya. Benar saja, Ki Meru bangkit berdiri dan mengejar pemuda itu. "Dasar murid kurang ajar! Kau mengerjaiku hah!?" teriak Ki Meru sambil berlari mengejar. "Tenang saja kek, nanti aku akan sampaikan salam kepada kekasihmu itu hahaha!" sahut Jaka sambil berlari menjauh sementara Ki Meru mengejarnya dengan tergopoh-gopoh. ***Dua hari rombongan Ki Wongso menginap di desa kecil itu dan tidak terjadi apa-apa. Hingga akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka ke Telaga Mulya. Namun mereka harus melewati kerajaan Banyu Biru selama beberapa hari ke depan sebelum akhirnya bisa sampai perbatasan. Jaka Geni telah sembuh dari lukanya. Selama dua hari itu dia giat berlatih dengan guru barunya, Utari Dewi. Ki Wongso juga terkadang ikut memberikan beberapa jurus. Namun sayangnya, Jaka belum bisa menggunakan ajian sakti. Tenaga dalamnya masih sangat tipis. Mempertahankan pedang dalam genggaman selama pertarungan saja sudah cukup sulit bagi Jaka. Mengingat beberapa hari yang lalu lawannya adalah para pendekar dengan tenaga dalam cukup tinggi. Namun sedikit demi sedikit Jaka bisa meningkatkan tenaga dalamnya. Latihan yang Utari ajarkan cukup membuat perkembangan pada Jaka Geni. Meski nadi yang mengunci tenaga dalamnya masih terkunci, Jaka kini lebih bisa menguasai jurus yang lumayan mematikan. Kerajaan Ban
Malam semakin larut, pertarungan pun masih terus berlanjut. Ki Wongso melesat di samping Jalak Biru lalu menghantam dengan ajian Geger Gunung Slamet. Jalak Biru merasakan ada pergerakan di sebelah kiri nya. Namun dia terlambat, pukulan Ki Wongso telah bersarang di rahang nya. Tubuh Jalak Biru terpental hingga beberapa tombak dengan kepala muntir terbalik ke atas. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras. Dua ketua yang melihat Jalak Biru terkena pukulan telak segera meninggalkan pertarungan mereka lalu menyerbu ke arah Ki Wongso. Waringin dan Jati Wangon menerjang penuh amarah setelah melihat kematian Jalak Biru yang mengenaskan. Ki Wongso tidak sendiri, di bantu para pendekar dia mengepung dua ketua itu. Pertarungan pun terjadi. Meski di kepung banyak pendekar namun Jati Wangon dan Waringin masih bisa menahan serangan. Sementara itu Projo mati-matian bertahan dari serangan Utari Dewi yang semakin di tahan semakin cepat gadis itu menyerang. "Sialan... Bagaimana aku lepas dari gadi
Pucung melihat perubahan mata pada Utari Dewi. Selain takjub, dia merasa merinding juga. "Apakah mata dia sakit? Bagaimana bisa warnanya berubah seperti itu?" batin Pucung sambil mengamati perubahan mata si gadis. Tanpa banyak bicara, Utari Dewi langsung melesat dengan sangat cepat! Bahkan Jaka Geni melihat gadis itu seolah menghilang. Karena dia melihat dengan mata biasa, berbeda dengan Pucung yang takjub dengan kecepatan Utari. Saat berjarak satu tombak, tiba-tiba Utari lenyap dari pandangan Pucung. Lelaki itu terkejut setengah mati. "Lenyap!? Bagaimana bisa!?" teriak Pucung kebingungan. Saat itulah dari sisi kiri tangan Utari Dewi bergerak menghantam. Tanpa melihat, Pucung yang merasa ada hembusan angin langsung bergerak cepat menebas ke arah kiri. Utari menarik kembali tangan nya. Hampir saja tangan kanannya terpotong oleh pedang Pucung. Dengan gerak cepat, Utari merunduk lalu kakinya menyambar kaki kanan Pucung. Krak! Terdengar tulang patah setelah kaki kiri Utari menya
Rombongan Ki Wongso bergerak perlahan di hutan yang gelap. Jaka Geni membuka matanya perlahan saat roda kayu itu menginjak batu kecil dan membuatnya terbangun dari tidurnya. Di sebelahnya Utari Dewi masih memeluk dirinya dengan kepala bersandar di dadanya. Jaka Geni tersenyum melihat gadis itu terlihat sangat nyenyak. Jaka meletakkan kepala gadis itu di kursi dengan bantalan empuk. Lalu dia berjalan ke depan sambil membungkuk. Jaka duduk di sebelah kusir kereta. "Ki sanak, apakah kita tidak menginap di jalan terlebih dahulu. Sepertinya para kusir sudah kelelahan," ucap Jaka mengawali pembicaraan. "Masih di tengah hutan den, nanti kita akan istirahat setelah melewati hutan dan menemukan perkampungan. Jika kita menginap di sini sangat rawan den," jawab kusir tersebut. Jaka menganggukkan kepala lalu berdiam diri. Pandangan matanya menyapu ke segala penjuru. Semuanya terlihat gelap dan mencekam. Lampu obor di kanan dan kiri kereta bergoyang-goyang tertiup angin. Rombongan panjang
Sepulangnya dari kedai besar di sore hari, Jalak Biru langsung menuju kediamannya bersama puluhan begal anak buahnya. Sesampainya di sarang mereka, Jalak Biru duduk terdiam di kursi batu yang besar di dalam goa yang tak jauh dari kawasan perbatasan. Para kepala kelompok begal di panggil. Mereka ada lima orang. Saat terjadi perselisihan Jalak Biru dan Ki Wongso, lima orang ini berada di tempat lain. Begal Jalak Biru ini adalah salah satu kelompok begal yang lumayan besar di kerajaan Banyu Biru. Mereka suka menjarah para saudagar kaya yang melintasi perbatasan. Jalak Biru mempunyai lima tangan yang berpengaruh di gerombolan itu. Kelimanya itu adalah para begal tua yang sedari dulu mengikuti Jalak Biru. Nama Jalak Biru sendiri sebenarnya adalah nama ayah dari Jalak Biru yang sekarang. Dia menjadikan nama ayahnya yang sudah tewas di tangan Mahesa Birawa sebagai julukan dia sendiri. Sedangkan nama aslinya adalah Jalu Sastra Paningit. Seorang anak dari Jalak Biru hasil dari menghamili
Ki Wongso menatap tajam. "Bubuk pencari raga?" batin orang tua itu. Jalak Biru melesat ke arah Ki Wongso dengan cepat lalu menebar bubuk itu ke arah Ki Wongso. Dengan cepat Ki Wongso menghindar. Namun anehnya bubuk itu mengejarnya. Jalak Biru tersenyum. Dia berkelebat cepat ke arah bubuk tersebut meski tubuh Ki Wongso masih terlihat diam di depannya. Orang tua itu mendengus kesal. Tanpa menghindar, dia serang Jalak Biru. Adu jurus pun terjadi. Bubuk itu sebagian menutupi pandangan Ki Wongso membuatnya kesulitan menghadapi serangan-serangan golok Jalak Biru. "Kau tidak tahu siapa aku orang tua! Kau akan mati penuh sesal karena telah meremehkan ku!" teriak Jalak Biru sambil terus mempercepat serangan. Ki Wongso segera melompat ke belakang. Saat tubuhnya melayang di udara, telapak tangannya menghantam ke depan. Satu gelombang hitam menggulung bubuk yang di lemparkan Jalak Biru. Saat itulah, Ki Wongso menggunakan ilmu Samar Hantu miliknya. Tahu-tahu dia sudah berada di belakang Jal







