Semua orang pun terkesiap dengan apa yang dilakukan oleh wanita itu pada Bai. Berani-beraninya seorang wali santri meludahi seorang ustadz yang mengajar anaknya di pondok, begitu pikir mereka.
"Wah ... kurang ajar kamu, ya!" ujar Zaki memicingkan kedua matanya pada wanita yang tertawa dengan sangat keras. Bai yang masih terlihat santai sambil mengusap wajahnya yang terkena ludah wanita tadi dengan ujung telapak tangannya tanpa jijik. Sedangkan Ken kembali mundur, sesuai dengan perintah suaminya. Meski dia sangat khawatir. Namun dia percaya, jika suaminya pasti bisa mengatasi wanita itu, atas izin Allah tentunya. Dia pun tak hentinya berdoa untuk keselamatan sang Suami. Bai mulai memfokuskan dirinya menatap mata perempuan itu sambil membaca ta'awudz dengan sepenuh hati dan tentunya memohon pertolongan pada Allah agar dimudahkan menyadarkan wanita yang tengah kerasukan tersebut. Berbekal ilmu yang dia peroleh dari sang Ayah yang juga seorang praktisi ruqiyah dan juga doa-doa yang diajarkan oleh sang Guru yang sudah berpulang kepada pangkuan Allah satu tahun yang lalu, dia memberanikan diri menghadapi wanita tersebut. "Keluar kamu atau kamu akan aku bakar atas izin Allah!" tegas Bai sambil menatap mata wanita itu dalam-dalam. "Kamu nggak perlu ikut campur dengan urusanku, manusia munafik!" hardik wanita tersebut sembari membalas tatapan Bai tanpa rasa takut sedikitpun. "Aku akan ikut campur, karena kamu sudah membuat kerusuhan di pesantren ini," balas Bai santai, namun tetap siaga. Bibirnya mulai komat-kamit membaca ta'awudz yang dilanjutkan dengan membaca surat Al-Fatihah, Surah Al-Baqarah ayat satu sampai lima, Al-Baqarah ayat 102, Al-Baqarah ayat 163 sampai 167, Ayat Kursi, dan seterusnya. "Hahaha kalian semua manusia munafik. Kalian semua tidak akan bisa membinasakan aku!" Lagi, wanita itu tertawa dengan lantang. Bai tak peduli, dia tetap membacakan ayat-ayat rukiyah. Hingga tubuh perempuan itu mulai bereaksi. Diiringi erangan saat tubuh wanita itu mulai merasa panas terbakar. Haikal dan Zaki memegangi tubuh wanita tersebut yang mulai meronta hingga ikatan yang mengikat tubuhnya terlepas. "Astaghfirullahal'adzim. Tenaganya kuat banget." Haikal dan Zaki pun mulai kewalahan karena tenaga wanita itu sangat kuat. "Lepaskan ibu itu dan terus berdoa, Ustadz Haikal, Ustadz Zaki," pinta Bai sambil melirik sekilas ke arah kedua temannya tersebut. Haikal dan Zaki pun akhirnya bisa sedikit bernapas lega setelah melepas wanita tersebut. Membiarkannya bereaksi apapun. Yang terpenting tidak melukai orang lain dan dirinya sendiri. "Ampun ... panas ...," jeritnya sembari berguling ke kanan dan kiri. Kedua tangannya tampak bergetar hebat. "Ibu ...," Isak sang Anak yang tak tega melihat wanita yang teramat disayanginya itu menderita. Semua orang melihatnya dengan iba juga rasa takut yang menjadi satu. "Ustadz, kasihan Ibu saya," ujar sang anak yang bernama Anindita pada Bai agar menghentikan proses ruqyah. Karena tidak tega melihat ibunya tersiksa seperti itu. Bai pun menoleh ke arah Anindita yang terisak sambil menatap dirinya penuh harap. "Kamu cukup doakan Ibu kamu. InsyaAllah, tidak akan sampai melukainya," sahutnya dengan tenang. Ken pun menghampiri Anindita dan memeluknya seraya memberinya kekuatan untuk gadis tersebut. "Kamu tenang dan doakan kebaikan untuk ibumu," ujarnya sembari mengusap kepala Anindita dengan lembut. Gadis itu pun hanya mengangguk pelan dengan air mata berderai yang membasahi pipinya. Para wali santri pun diminta untuk pindah ke tempat lain yang lebih aman. Agar proses penjengukan santri bisa kembali dilanjutkan tanpa dihantui bayangan mengerikan kerasukan wanita tersebut yang diketahui bernama Sumi, ibu dari salah satu santri asrama Roudah yang bernama Anindita. Setelah berjuang hampir setengah jam, akhirnya Sumi berhasil dilumpuhkan. Dia pun sempat muntah darah dan badannya langsung ambruk tak sadarkan diri. Pihak kesehatan pondok pesantren pun gegas membawanya ke ruang kesehatan yang ada di area pondok untuk mendapat penanganan. "Aman ini, Ustadz? Nggak bakal ngamuk kerasukan lagi kan?" tanya petugas kesehatan pondok saat hendak membawa tubuh Sumi di atas tandu. Mereka takut, jika Sumi nantinya akan kembali kerasukan dan mengamuk pada mereka yang sedang membawanya dengan tandu ke ruang kesehatan pondok. "InsyaAllah aman. Saya dampingi, Pak," sahut Bai dengan yakin. Lalu, Bai bersama dengan Ken dan Anindita, sama-sama berjalan menuju ruang kesehatan pondok yang letaknya tak jauh dari aula tadi. Sedangkan Zaki dan Haikal kembali mengajar karena ada jadwal mengajar. Dan wali santri yang lain pun melanjutkan melepas rindunya dengan anak tercinta. Tim medis pun yang terdiri dari satu dokter dan perawat khusus pondok itu pun segera memeriksa kondisi Sumi di ruang tindakan. Sedangkan yang lain menunggu di depan sembari membuat ramuan tradisional yang berasal dari air rebusan daun bidara dan tentunya juga sembari dibacakan ayat-ayat ruqyah. Selang beberapa menit, Sumi pun sadar dan dokter mengatakan jika dia hanya kelelahan saja dan tidak perlu penanganan khusus. Dia pun diminta duduk di ruang tamu pondok untuk dimintai keterangan. Sekaligus meminum ramuan yang sudah dibuat oleh Bai dan Ken tadi. "Maaf, Ustadz. Saya jadi membuat onar di pondok. Jujur, saya malu sekali. Terlebih nanti dengan anak saya. Takut diejek teman-temannya," ujar Sumi pelan sembari melirik ke arah Anindita sekilas. Lalu menundukkan kepalanya. Merasa tak enak. "Tidak apa. Toh, ini juga bukan keinginan Ibu. Tapi, kalau boleh saya tahu, sudah sejak kapan Ibu begini?" tanya Bai santai. Dia tidak ingin Sumi merasa diinterogasi. "Sejak saya kehilangan janin yang dikandung saya diusia delapan bulan." Bai dan Ken saling pandang dengan kening berkerut. "Maksudnya? Janinnya hilang begitu saja tanpa sebab gitu?" tanya Ken memastikan. "Iya, Mbak. Jadi, waktu kehamilan saya berusia delapan bulan. Siangnya saya habis USG ke bidan. Alhamdulillah normal dan sangat sehat. Tapi, malamnya pas saya kebangun dari tidur, perut saya tiba-tiba kempes, seperti orang tidak hamil." "Dan siangnya saya langsung periksa lagi ke dokter dan memang sudah tidak ada." Sumi mengisahkan apa yang dialaminya pada Bai dan Ken. "Astaghfirullahal'adzim," desis Bai dan Ken hampir bersamaan. "Sejak saat itu, setiap saya hamil, pasti selalu keguguran," kata Sumi yang menarik napas dalam. "Sudah berapa kali, Bu?" tanya Bai yang semakin tertarik dengan kisah Sumi. "Sudah lima kali, Ustadz. Dan saya juga sering kerasukan seperti itu. Saya sudah beberapa kali diobati ke orang pintar atas rekomendasi suami. Tapi, malah semakin parah," akunya. "Innalilahi wa innailaihi roji'un ...." "Ustadz, tolong saya ... saya curiga, jika apa yang saya alami ini ada hubungannya dengan usaha yang suami saya bangun," pinta Sumi dengan sorot mata penuh harap. Bai dan Ken pun saling pandang dengan kening berkerut. "Memang apa usaha suami Ibu?" tanya Bai penasaran. "Warung bakso."“Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa
Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer
Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po
Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny
Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell
Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.