Beranda / Horor / Perjalanan Sang Perukiyah / Berkunjung ke Rumah Sumi

Share

Berkunjung ke Rumah Sumi

Penulis: Aw safitry
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-08 14:25:32

"Apa yang membuat Bu Sumi curiga?" tanya Bai menatap wajah tirus Sumi serius. 

Sumi pun menceritakan awal mula kejadian tersebut secara detail kepada Bai dan Ken yang mendengarkannya dengan seksama. 

"Nah, usaha yang dirintis saya dan suami itu tidak berkembang, Ustadz. Bahkan, kami sempat berhenti meneruskan jualan bakso di depan rumah karena kehabisan modal," papar Sumi serius.

"Lalu?" tanya Ken yang meminta Sumi melanjutkan ceritanya. 

"Suatu hari, dia diajak teman lamanya ikut ke kota untuk membantu temannya itu yang membuka warung makan lesehan di kota. Usahanya sukses dan setiap hari dagangannya selalu ramai pembeli."

"Selang satu bulan bekerja di sana, suami saya pun pulang ke rumah dan mengajak saya untuk kembali berjualan bakso. Tapi ... saya enggan karena memang belum ada modal. Jangankan modal jualan bakso lagi. Untuk makan saja kami masih kesulitan saat itu."

Sumi menoleh ke arah Anindita yang duduk di sebelahnya. Lalu, dia menggenggam telapak tangan sang anak dengan lembut. 

Dia menarik napas dalam. Lalu melanjutkan ceritanya. 

"Singkat cerita, suami saya menggadai tanah rumah yang kami tinggali sebagai modal usahanya lagi. Dari uang tersebut, suami saya menyewa tempat di dekat alun-alun Kota Kediri dan membuka kembali warung bakso."

"Alhamdulillah ... warungnya laris manis dan selalu banyak pembeli. Tapi ... ada satu hal yang membuat saya heran dan mengundang curiga ...." 

Sumi menatap sepasang suami istri yang ada di hadapannya, mendengarkan kisahnya. 

"Apa?" tanya Ken tidak sabar. Sungguh, dia penasaran. 

"Saya tidak boleh ikut campur dalam usahanya kali ini. Saya juga tidak boleh datang ke warung bakso yang suami saya jalankan. Dan yang lebih membuat saya curiga, di kios warung tersebut ada salah satu ruangan yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali suami saya sendiri," tutur Sumi serius.

Bai dan Ken pun saling pandang. Mereka mulai bisa menebak apa yang dimaksud oleh Sumi. 

"Alasannya apa, Bu?" tanya Bai yang kembali menatap wanita berusia tiga puluh lima tahun yang ada di hadapannya. 

"Katanya sih ... ruangan itu hanya berisi barang-barang bekas dan dijadikan gudang saja. Bahkan, pintunya rusak. Jadi, tidak bisa dibuka," jelas Sumi yang mengutip alasan sang Suami.

Bai menganggukkan kepalanya sambil mengusap dagu terbelahnya yang ditumbuhi cambang tipis. 

"Sejak saat itu pula, saya hamil anak kedua. Dan ... bayi yang saya kandung selama delapan bulan itu tiba-tiba menghilang tanpa sebab yang jelas, Ustadz. Dan saat saya hamil lagi, selalu keguguran. Terhitung ... sudah lima kali saya keguguran. Bersamaan dengan itu, saya juga sering kerasukan," papar Sumi. 

"Sebelumnya, Bu Sumi sudah melakukan pengobatan apa saja?" Bai menatap wajah Sumi. 

Sumi menarik napas panjang dan dalam. "Sering ke orang pintar atas rekomendasi suami, Ustadz. Pernah sesekali ke Kiyai, tapi suami saya melarang karena kurang berpengaruh pada diri saya."

"Astaghfirullahal'adzim ...."

"Subhanallah ...." 

Bai dan Ken hanya bisa mengusap mereka dada masing-masing.

"Ustadz ... jadi bagaimana? Bisa bantu saya?" tanya Sumi yang menatap Bai penuh harap. 

Bai melirik sekilas ke arah sang Istri yang menatapnya sambil menganggukkan kepalanya. Sebagai tanda persetujuan permintaan Sumi. 

"InsyaAllah ... kita akan bantu," tukas Bai dengan senyum tipis. 

"Terima kasih, Ustadz. Terima kasih banyak," balas Sumi dengan senyum merekah. 

"Terima kasih, Ustadz. Sudah mau membantu keluarga saya," ucap Anindita sambil menganggukkan kepalanya. 

"Sudah menjadi tugas kita sebagai hamba Allah untuk menolong sesama selagi kita mampu. InsyaAllah ... semoga dimudahkan segala urusannya," balas Bai menatap Sumi dan Anindita dengan senyum merekah. 

***

Sesuai dengan waktu dan tempat yang sudah dijanjikan. Usai mengajar, Bai yang selalu ditemani sang Istri itu pun bertandang ke rumah Sumi yang masih berada di daerah Kediri. Tak jauh juga dari alun-alun Kediri.

Setelah menempuh perjalanan hampir setengah jam, motor matic yang mereka naiki pun sampai di depan sebuah rumah berlantai dua dengan halaman yang cukup luas. 

"Ini rumahnya, Mas? MaasyaAllah besar banget tahu," ujar Ken sembari menatap rumah tersebut dengan penuh kekaguman.

Bai pun ikut menatap rumah tersebut. "Kalau menurut petunjuk yang diberikan sama Bu Sumi sih iya, Sayang," sahut Bai sembari menyamakan alamat yang ditulis oleh Sumi dengan alamat yang tertera di depan gerbang rumahnya. 

"Aku coba pencet belnya deh, ya!" 

Ken mendekat ke arah bel pintu yang terpasang di sisi kiri pintu gerbang. Namun, baru saja dia akan menekan bel tersebut, seorang wanita berhijab Lilac dengan warna gamis senada keluar dari dalam rumahnya dengan senyum merekah menyambut kedatangan Bai dan Ken.

"Assalamu'alaikum, Bu Sumi," sapa Ken dengan senyum ramah di balik cadar yang menutupi sebagian wajahnya.

"Wa'alaikumsalam ... alhamdulilah sampai di sini, Ustadz Bai sama Mbak Ken," balas Sumi sambil menjabat tangan Ken dan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada pada Bai yang juga melakukan hal serupa. 

"Iya, Bu. Walaupun tadi sempat nyasar," kekeh Ken yang menoleh pada suaminya yang menahan senyum. 

"Subhanallah ... Tapi, alhamdulilah udah sampai di sini. Mari masuk, yuk!" ajak Sumi pada Bai dan Ken. 

"Mari ...." 

Bai dan Ken pun mengekor langkah Sumi yang masuk ke dalam rumah bergaya minimalis tersebut. Lalu, mempersilakan kedua tamu istimewanya duduk di kursi yang sudah disediakan di ruang tamu yang didominasi warna hijau daun. Terlihat menyegarkan pandangan mata.

"Silakan duduk, Ustadz, Mbak Ken .... Saya permisi ke belakang dulu sebentar," ujarnya pada kedua tamunya yang mengangguk dan tersenyum tipis. 

Sumi pun pamit ke dapur untuk membuatkan minum kedua tamunya dan membawakan minuman segar untuknya. Karena cuaca di luar sedang terik-teriknya. Selepas Dzuhur.

"Silakan diminum, Ustadz, Mbak Ken," ujar Sumi mempersilakan Bai dan Ken menikmati minuman dingin dan camilan yang dibawanya dari dapur. 

"Duh, Bu Sumi ... terima kasih. Jadi merepotkan," sahut Ken basa-basi. 

"Terima kasih, Bu," sahut Bai. 

"Tidak kok. Seadanya saja," balas Sumi tersenyum tipis. 

"Suami Bu Sumi di mana?" tanya Bai. 

"Oh, suami saya sedang di warung bakso, Ustadz. Tengah malam, dia baru pulang. Dan paginya sekitar jam enam, dia sudah pergi lagi. Jadi ... memang jarang di rumah," tutur Sumi serius. 

"Jadi, saya cuma bisa merukiyah Bu Sumi saja kalau begitu. Meski sebenarnya, jika keduanya dirukiyah, itu akan lebih baik," jelas Bai serius. 

Namun, bersamaan dengan itu. Muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan rambut panjangnya sebahu yang diikat. 

"Mas Agus? Kok sudah pulang?" tanya Sumi yang nampak terkejut dengan kedatangan Agus-sang Suami- yang tiba-tiba pulang tidak seperti biasanya. 

Laki-laki itu tidak menjawab apapun. Dia hanya melirik ke arah Bai dan Ken yang menatap ke arahnya penuh tanda tanya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Tertangkap

    “Kamu ini kenapa, Mila? Kemarin saja kamu tolak dia sampai segitunya. Kenapa sekarang malah jadi seperti ini?” tanya sang Ibu menatap anak perempuannya dengan heran.“Iya. Kenapa kamu?” sang Ayah menimpali. Heran melihat tingkah anak perempuan mereka yang seperti tergila-gila pada lelaki yang cintanya pernah ditolak putrinya mentah-mentah.Mila sendiri ayahnya seorang tentara, sehingga dia pun menginginkan jodoh yang setara dengan putrinya. Paling tidak tentara juga. Namun yang melamarnya malah hanya seorang lelaki yang membantu kakak perempuannya berjualan warteg. Jelas saja ditolak.“Pokoknya aku mau ketemu sama Mas Bimo. Aku cinta sama dia, Ma, Pa. Aku kangen banget sama dia …,” rengeknya sambil menatap wajah kedua orangtuanya yang semakin mengerutkan keningnya.“Jangan-jangan anak kita kena pelet lagi, Pa?” tebak sang Ibu dengan suara sedikit berbisik.“Ih, memang masih jaman begituan, Ma?” sang Ayah menoleh dan menatap istrinya dengan kedua alis yang hampir bersatu.“Ya masih, Pa

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Sebab Akibat

    Ajeng tidak menyangka jika sepupu lelakinya itu tega melakukan ini semua. Bahkan tega menjebloskan suaminya ke penjara hanya karena dia sakit hati pada perempuan.“Ini nggak bisa dibiarkan!” geramnya sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.Lalu menatap Ken dan Bai bergantian dengan tatapan nanar.“Bu, ini masih belum lengkap. Masih ada satu kejahatan lagi yang sedang dia rencanakan,” katanya membuat sang Ibu mertua menatap Ken seolah menunggu kelanjutan dari ucapannya.“Apa?”“Dia sedang berencana membuat perempuan yang menolak cinta dan menghinanya itu gila atau meninggal dengan cara melakukan ritual ajian jaran goyang. Ini bahaya banget, Bu,” papar Ken serius.“Ya Rabbi! Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan,” balasnya dengan dada bergemuruh. “Bai, cepat berikan bukti-bukti ini pada polisi agar Bimo segera ditangkap. Kalau masih dibiarkan berkeliaran, dia akan semakin mer

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Ketahuan

    Ken baru saja membuka ponselnya usai memastikan suaminya tertidur pulas. Karena seharian ini Bai nempel terus padanya, sehingga Ken tidak sempat membuk pesan khusus yang dikirim oleh Ikhsan yang isinya tentu saja bukti-bukti kejahatan Paklek Bimo.Tangannya meraih headset, kemudian dipasang di kedua telinganya. Setelahnya, diputarlah video demi video yang dikirim oleh Ikhsan. Diperdengarkan baik-baik apa yang dikatakan Paklek Bimo dalam video tersebut.“Ya Rabbi! Jahat sekali dia!” pekiknya tanpa sadar dan membuat suaminya menggeliat. Lalu membuka mata dan membuat Ken panik. Kemudian langsung mematikan layar ponselnya.“Kenapa, Sayang? Kok belum tidur?” Bai menatap istrinya dengan kening berkerut.“Eh, anu … anu … nggak. Aku … lagi lihat video ini di youtube,” jawabnya dengan gugup.“Kenapa masih lihat hp? Tidur, Sayang. Kamu harus banyak istirahat. Ingat apa kata dokter,” ujarnya mengingatkan sang Istri. “Udah … hp-nya buat besok lagi. Sekarang istirahat dulu, ya ….”Bai mengambil po

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Diinterogasi

    Beberapa wali santri menuntut kasus ini ke meja hijau. Mereka tidak rela jika anak-anaknya yang dikira menuntut ilmu agama untuk bekal kehidupannya malah terjerumus ke dalam pesantren yang mengajarkan aliran sesat.Tanpa mencari tahu terlebih dulu kebenarannya, mereka langsung melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Dan meminta Ustadz Fathur beserta anaknya dihukum penjara.“Demi Allah, saya tidak mengajarkan ajaran sesat, Pak!” ujar Ustadz Fathur saat sudah di kantor polisi setempat. Sedang dimintai keterangan.“Tapi, kami mendapat banyak laporan jika pesantren yang ada di bawah kepemimpinan Anda ini menganut dan mengajarkan aliran sesat. Bahkan, praktik rukiyah yang dijalani selama ini sampai memakan korban. Atau jangan-jangan Anda ini dukun berkedok ustadz yang meminta bayaran mahal dari pasien-pasien Anda?”“Astaghfirullah ….” Ustadz Fathur mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak menyangka jika tuduhanny

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Berbuntut Panjang

    Perempuan yang ternyata dukun itu mengangguk. Usianya sebenarnya sudah hampir sembilan puluh tahun. Fisik aslinya sudah pasti seperti kebanyakan perempuan usia senja lainnya. Hanya saja, Mbah Trinil memakai susuk, sehingga wajahnya awet muda. Seperti usia tiga puluh tahunan.Hanya saja, jika susuknya belum diperbaharui, maka wajahnya akan berubah ke bentuk aslinya. Peot dan menyeramkan. Seperti perempuan tua yang sering Ken lihat sedang memakan janin. Pun perempuan yang sering meneror Ken di dalam mimpi.Ikhsan sendiri tercengang mendengar percakapan itu. Dia tak percaya dengan apa yang dilakukan oleh Paklek Bimo. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan kakinya menginjak pecahan kaca yang ada di sekitar rumah Mbah Trinil itu.Seketika Ikhsan tersadar dan langsung lari mendekati sungai. Dia bersembunyi di balik pohon sambil mematikan videonya saat Mbah Trinil dan Paklek Bimo keluar rumah setelah mendengar suara tersebut.“Sepertinya ada seseorang &hell

  • Perjalanan Sang Perukiyah   Kelicikan Paklek Bimo

    Ken yang baru saja hendak tidur pun dia urungkan niatnya setelah mendengar suara notifikasi khusus dari ponselnya. Dia memberikan notifikasi khusus untuk pesan dari Ikhsan, menandainya agar tidak sama dengan pesan lain.Sejenak kedua matanya melirik sang Suami yang sudah terlelap di sampingnya setelah berlayar bersama. Kemudian mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Barulah membuka pesan yang dikirim oleh Ikhsan yang kontaknya dia beri nama Ningsih.Ikhsan: Ning, Paklek Bimo pergi menuju hutan.Ikhsan juga menyertakan video berdurasi kurang dari satu menit. Meski gelap, tapi tetap kelihatan karena Paklek Bimo membawa senter. Sehingga bisa untuk penerangan Ikhsan juga.Ken: Ikuti terus, Ustadz. Ikuti ke mana pun dia pergi yang sekiranya mencurigakan. Tapi tetap hati-hati.Ken menarik napas dalam setelah mengirim balasan untuk Ikhsan. Kemudian kembali menatap layar ponsel setelah mendengar kembali suara notifikasi pesan dari Ikhsan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status