BRUMM BRUMM Kedua gadis itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju arah utara. Kini mereka melewati sebuah jalan raya dengan jajaran hutan bioma taiga di samping kiri dan kanannya. Suhu disini lebih dingin dibandingkan saat di jalan penghubung Matrotshaven dengan Salzyburg. Tidak terlalu mengherankan karena Trossbourgh berada di garis lintang utara planet Kamina. “Wah, segar sekali udaranya.” Alisa sangat menikmati perjalanan itu. Sementara itu Flo yang mengendarai Motosicca-nya nampak bersenandung sebuah lagu. “Fufufufu fufufufu...” Lagu yang ia senandungkan menarik perhatian Alisa. “Hei, Flo...” “Fufufu fufufufu...” Flo masih bersenandung seolah tak mendengar sahutan temannya itu. Alisa pun kembali menyahutnya dengan suara yang lebih keras. “Floo....” “Eh, iya Alisa?” “Kau sedang menyanyikan suatu lagu?” tanya Alisa. “Ya, begitulah.” BRUMMM Motosicca melewati sebuah turunan yang sedikit meliuk. “Oh iya. Lagu yang kau nyanyikan tadi merdu sekali. Judulnya apa?” tanya
BRUMM BRUMM Kedua gadis itu kembali melanjutkan perjalanan mereka setelah menetap hampir seminggu di Trossbourgh. Kota yang ramai dan dipenuhi masyarakat yang lebih terbuka itu begitu menarik perhatian Alisa. Banyak sekali informasi menarik yang diperoleh gadis Karelia itu di kota tertua se-Vitania tersebut. Ia pun meninggalkan kota itu dengan perasaan bahagia. “Ah, kota yang menyenangkan. Kapan-kapan aku mau kesana lagi.” Ucap gadis itu. “Kau menyukai Trossbourgh ya, Alisa?” tanya Flo sambil mengemudikan Motosicca-nya. “Tentu saja. Masyarakat disana sangat ramah dan terbuka. Pemandangannya juga indah. Aku tidak menyangka kalau Vitania yang dikenal tertutup punya lingkungan masyarakat yang sangat menyenangkan seperti itu.” Flo tersenyum mendengarnya. “Trossbourgh memang kota yang sangat menarik. Tapi kupikir kau akan lebih tertarik dengan kota tujuan kita selanjutnya.” Ucap Flo. “Eh, ada kota yang lebih menarik lagi?” tanya Alisa. “Tentu saja. Vitania itu daerah yang penuh deng
Kegelapan menyelimuti semuanya. Tidak ada hal lain yang mampu dilihat oleh orang itu. Hanya terdengar suara menggema dari seorang wanita yang tengah merapalkan sebuah mantra. “Wahai permata suci yang ada di tanah Kamina agung ini...” Suara itu nampak jelas di telinganya. “...aku memerintahkanmu untuk melepaskan segel bagi generasi baru, pelindung tanah Vitania ini...” Mantra yang diucapkan oleh wanita itu hampir selesai. Suaranya semakin menggema di telinganya. Namun disaat yang bersamaan, terdengar suara lain yang seakan berbisik di telinganya. “Hei...” Bisikan itu masih kurang terdengar, tertutup oleh suara mantra tersebut. “...dengan nama Amanda Fatir, sang penemu permata suci ini, aku...” Bersamaan dengan mantra yang hampir usai, suara bisikan itu semakin terdengar jelas.” “Hei...” “...melepaskanmu. ALS VREYT.” Tepat saat mantra penutup selesai diucapkan, tubuhnya langsung tiba-tiba tergoncang. “Hei!!! Bangun!!!” “Eh...” Ia perlahan membuka matanya dari mimpi yang ane
“Flo, kau serius mau berduel dengan Ketua Himmler?” tanya Nikita. “Tentu saja. Tidak ada cara lain selain mengalahkannya.” Jawab Flo. “Tapi, Ketua Himmler itu gadis penyihir senior dengan kemampuan sihir api yang mengerikan. Kadet seperti kita tidak akan mungkin bisa mengalahkannya.” Gadis berambut poni itu benar-benar mengkhawatirkannya, namun Flo tetap bersikeras untuk menghadapinya. “Tidak apa-apa. Aku sudah cukup banyak berlatih untuk menghadapi hal-hal tak terduga seperti ini. Lagipula walaupun mungkin aku akan diserang habis-habisan olehnya, dia tidak akan bisa membunuh sesama gadis penyihir Vitania sepertiku.” Tutur Flo. “Tapi...” “Yah, inilah saatnya bagiku untuk mengalahkannya dan keluar dari neraka ini.” “...” “Berjuanglah, Flo.” *** Pagi hari sekitar pukul sembilan, mentari menyinari langit Vitania. Tepat di sebuah lapangan yang cukup luas itu, Floria Fresilca akan berhadapan dengan senior sekaligus ketua divisinya, Abigail Himmler untuk mempertaruhkan nasibnya di
“Oh, jadi begitu alasanmu kenapa bisa masuk Brigade Penyihir?” Ucap Alisa. “Ya, begitulah.” Jawab Floria sambil kembali menyantap ramennya. “Disatu sisi aku mendapatkan banyak pengalaman dan ilmu baru. Tapi disisi lain aku tidak bisa menikmati hal itu, apalagi jika harus berurusan dengan orang Karelia yang tidak berdosa.” Lanjutnya. “Begitu ya” Mendengar penjelasan dari temannya itu membuat dirinya kembali merenung. “Sudah delapan tahun kita terpisah dan akhirnya kita bisa bertemu lagi, tapi aku tidak menyangka kalau kau harus mendapatkan pengalaman buruk seperti itu. Flo yang malang.” Ucap Alisa dalam hati. Keduanya nampak terdiam hening. Tak lama berselang terdengar suara dua orang pria yang tengah berbincang dekat tempat makan mereka. Suaranya yang cukup keras itu bisa dengan mudah terdengar oleh keduanya. “Ah, Sullivan-san, bagaimana kelanjutan bisnismu?” “Ya begitulah, Maruyama. Tidak ada yang terlalu spesial.” Pria suku Higashi bernama Maruyama itu tengah berbincang deng
Petang itu mereka kembali ke kediaman mereka di sebuah apartemen sederhana. Flo terlihat tengah menghitung sejumlah koin yang ia punya, sementara itu Alisa hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa kembali merangkum informasi apa yang ia dapatkan tadi siang. Flo yang melihat hal tersebut sudah menduga bahwa gadis itu kembali murung setelah mendengar apa yang terjadi di Karelia. Ia pun menghampirinya. “Ehem... Kau tidak merangkum lagi, Alisa?” “...” Berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia tidak mau menjawab. Flo berusaha menghiburnya. “Kau masih memikirkan apa yang terjadi pada Frenska dan yang lainnya ya?” Alisa nampak sedikit mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. “Huh, sudah kuduga. Kau terlalu banyak pikiran, Alisa.” Flo pun duduk di kasur tempat Alisa berbaring. Gadis itu terlihat mengusap-usap rambut Alisa. “Tidak jadi masalah kalau kau memang mengkhawatirkan teman-temanmu. Tapi kau juga harus memperhatikan dirimu sendiri. Jangan sampai dirimu jatuh sakit karena te
BRUMM BRUMM Dengan mengendarai Motosicca, Alisa dan Floria bergegas pulang ke Matrotshaven sekitar pukul sembilan pagi dari Kaguyashima. Mereka sempat beristirahat sejenak di Trossbourgh dan Salzyburg sebelum melanjutkan perjalanan mereka kembali ke Selenaberg. “Eh, Flo. Ngomong-ngomong kenapa kita harus kembali ke Matrotshaven? Kita kan baru bermalam sehari di Kaguyashima?” tanya Alisa. “Aku tak bisa menjelaskannya sekarang, masalahnya terlalu panjang.” Jawab Flo singkat. “Oh, oke...” Mendengar jawaban itu membuat Alisa termenung. Sepertinya dia masih ingin menjelajahi kota itu. Melihat temannya yang murung itu, Floria pun kembali menghiburnya. “Jangan khawatir. Setelah masalah ini selesai, aku akan kembali mengajakmu berkeliling Vitania. Kita kan belum sempat ke ibukota Chekovia kan? Nanti kita kesana.” Hibur gadis itu. “Baiklah.” BRUMM Mereka mulai memasuki wilayah hutan pinus di sisi timur bukit Selenaberg tepat pada sore hari. Itu artinya mereka sudah hampir sampai ke M
BRUMM BRUMM Burung-burung berkicau merdu. Langit cukup cerah pada hari ini setelah hujan semalam suntuk kemarin. Hari ini adalah hari yang cocok untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Alisa bersama Floria kembali mengendarai Motosicca mereka ke arah selatan melewati pusat kota Matrotshaven. Namun kali ini bukan untuk berjualan, tetapi untuk bertemu dengan seseorang. Sebenarnya kondisi Flo masih belum pulih pasca pertarungan kemarin, namun ia memaksakan diri karena hari ini ada orang penting yang harus mereka temui. “Flo, emangnya tidak apa-apa kita berangkat sekarang? Kondisimu masih belum stabil.” Ujarnya sambil sedikit berteriak karena terhalang suara angin saat berkendara. “Sudah tidak apa-apa. Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah lebih baik kok sekarang.” Jawab Flo. Flo mengendarai Motosicca itu dengan kecepatan yang cukup tinggi. “Oh iya, Alisa. Soal yang kemarin itu, kenapa kau bisa membawaku kembali ke rumah? Kau kan tidak bisa mengendarai Motosicca?” “Oh itu, kemarin u