Alisa, Floria, dan Diana berjalan bersama di sebuah lorong lantai tiga yang menuju ruangan kepala sekolah. Nampak wanita tua itu berbincang mengenai beberapa hal pada mereka.“Alisa, ibu benar-benar sangat bersyukur kau bisa kembali dengan selamat. Ini seperti keajaiban.”“Iya, ibu. Saya juga tidak menyangka bisa kembali lagi ke sekolah ini setelah semua hal yang terjadi tepat di depan mata kepala saya sendiri.”Sang kepala sekolah sedikit menghela napas seraya membetulkan posisi kacamatanya.“Ini sungguh keajaiban. Ibu-lah yang telah memerintahkan skuad Mayer Ehrlich untuk menjemputmu di pantai Kirkau. Tapi ternyata gadis penyihir sekuat dia gugur juga. Brigade Penyihir Garis Depan Vitania memang mengerikan.”Alisa tak merespon sepatah kata pun ucapannya, terlebih dirinya yang melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana gadis penyihir cahaya itu terbunuh dengan tragis di tangan Isabel.“Oh iya, Floria Fresilca.” Sahut kepala sekolah.“Iya, Nyonya Diana.”“Sebelumnya maaf ya kalau
Pagi yang cerah itu merupakan hari penentuan bagi Alisa Garbareva di SMA Khusus Wanita Kartovik ini. Pada hari ini, dirinya akan memaparkan seluruh hasil penelitiannya yang bertajuk ‘Kondisi Sosial Kemasyarakatan di Daerah Otonom Vitania’ pada para guru penguji.Ada sekitar lima orang guru yang terdiri atas kepala sekolah Diana Bjolgnir, guru senior sekaligus perapal utama gadis penyihir Mariya Erlensdottir, Rumia Firlidina, serta dua guru senior lainnya. Mereka melihat sejumlah berkas dari hasil penelitian Alisa seraya mendengarkan gadis itu bicara.Pemaparan hasil penelitian itu berlangsung sekitar satu setengah jam sebelum akhirnya selesai pada pukul 3 sore.“Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk memaparkan seluruh hasil penelitian ini. Saya benar-benar senang atas apresiasi yang Anda semua berikan kepada saya.” Ucap Alisa yang duduk di sebuah kursi kayu, tepat di depan para guru yang duduk berjejer layaknya hakim.“Sama-sama, Alisa. Penelitianmu ini s
Malam itu berbeda dengan malam akhir pekan biasanya. Begitu ramai penduduk berkumpul di seantero kota Kartovik yang gemerlap cahaya lampu hias. Namun pusat kerumunan masyarakat ada di SMA Khusus Wanita Kartovik, atau lebih tepatnya di aula utama.Berbeda dengan area lainnya di kompleks sekolah itu, aula utama yang terletak di sebelah selatan tidak termasuk area khusus wanita. Terlebih lagi aula tersebut memang selalu disewakan apabila ada acara-acara besar. Dan kali ini gedung yang menggabungkan arsitektur kuno dan modern tersebut dipakai oleh otoritas Kartovik untuk perayaan pesta selesainya ekspansi dan pembangunan besar-besaran kota itu.“Wah, ramai sekali.”Alisa yang kini mengenakan sebuah gaun off-shoulder panjang berwarna pink nampak begitu terkesima melihat banyaknya masyarakat yang berkunjung di tempat tersebut.“Tentu saja. Ini kan pesta perayaan terbesar tahun ini. Apalagi nanti ada gubernur datang kemari.” Ucap Frenska yang juga mengenakan gaun off-shoulder panjang, namun
“Jadi seperti itukah kondisi Brigade Penyihir sekarang? Ini sulit dipercaya.”“Memang begitulah keadaannya, Nyonya Diana.”Floria dan Diana tengah berbincang di ruangan kepala sekolah pada malam itu, hanya mereka berdua saja pada kondisi yang cukup sepi tersebut.“Perpecahan di tubuh Brigade Penyihir. Pergerakan pemberontakan mereka kini mulai goyah, terlebih setelah banyaknya para petinggi yang keluar ataupun tewas dalam pertarungan. Ini bisa dimanfaatkan oleh kerajaan pusat kalau mereka menyadarinya.” Ucap Diana sambil mengusap keningnya.“Setidaknya hal itulah yang sedang terjadi. Tapi, walaupun begitu Karelia juga harus waspada. Para petinggi yang masih berpikiran ekstrim juga masih berkuasa. Saya tidak tahu apakah keberadaan saya disini sekarang adalah resiko besar atau tidak.” Ungkap Flo.Sang kepala sekolah menghela napas.“Huh, tapi setidaknya dengan keberadaanmu disini, kita jadi makin paham dengan apa yang terjadi disana. Bahkan ibu pun terkejut dengan perkataan Alisa kalau
TRINGG TRINGGBANGG BANGG BANGGWUSHHDUARRSuara adu senjata, tembakan senapan, serangan sihir, hingga ledakan terdengar di seantero wilayah Kartovik Timur yang baru saja diekspansi itu. Kota pendidikan yang indah nan elegan itu seketika berubah menjadi medan pertempuran berdarah.Alisa, Floria, dan Frenska masih belum bisa keluar dari kompleks SMA itu karena mereka harus menghadapi puluhan gadis penyihir misterius berjubah gelap yang seakan tiada habisnya. Ketiganya pun harus berjibaku dengan senjatanya untuk melawan mereka semua.“Sial, mereka tidak ada habisnya.” Ujar Frenska sambil menangkis sejumlah serangan dengan tongkat hijaunya.“Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa begini terus.” Kata Alisa sambil mengayunkan belati anginnya.SWINGGFlo menebas dua gadis penyihir berjubah dengan pedang besarnya. Dan untungnya hal itu memberinya jalan keluar.“Itu, kita pergi ke lorong itu.” Tunjuk Floria.“Kerja bagus, Flo.” Ucap sang sahabat.“Oke, aku ikuti saranmu. BIO VAIA.”TOK
Kartovik Timur benar-benar terbakar pada malam itu. Serangan sihir yang dilancarkan para pemberontak Vitania berhasil meluluhlantakkan kota pendidikan yang eksotis tersebut. Kini hanya terlihat puing-puing bangunan yang hancur maupun terbakar dalam kobaran api yang besar. Bisa dibilang itu adalah serangan Brigade Penyihir terburuk setelah apa yang terjadi di Telhi pada delapan tahun silam.Namun bukan hanya itu saja. Para gadis penyihir berjubah gelap itu ikut menyerang siapapun yang menghalangi jalan mereka tanpa pandang bulu. Gadis penyihir Karelia, Askar, Patrol, bahkan warga sipil termasuk anak-anak pun juga tak luput dari serangan brutal mereka.“Habisi mereka semua!!! Jangan sisakan satu pun yang selamat!!! Mereka akan menusuk kita dari belakang!!!” perintah salah satu anggota Brigade Penyihir.Pemandangan mengerikan itu dapat terlihat dengan jelas dari atas bangunan tertinggi SMA Khusus Wanita Kartovik yang menjulang setinggi puluhan meter.“Kotanya benar-benar terbakar.”Terli
“Huh... Huh... Tidak akan... aku biarkan...”Tepat di tengah-tengah reruntuhan bangunan yang sebagiannya terbakar itu, dua orang gadis penyihir terlihat saling berhadapan satu sama lainnya. Selain itu, terlihat pula dua mayat siswi yang bersimbah darah di depan mereka berdua, yang sepertinya mereka adalah gadis penyihir yang telah gugur dalam pertarungan itu.“Ah, membosankan. Jadi hanya seperti ini kemampuanmu? Kau tidak ada bedanya dengan bestie-mu itu.”Seorang gadis penyihir bersenjatakan tombak merah dengan jubah gelap nampak berujar padanya dengan nada yang angkuh. Ia adalah anggota Brigade Penyihir, nampak jelas dari lambang yang terikat di lengan kanannya.“Tidak... aku...”Sementara itu, gadis penyihir lawannya yang mengenakan pakaian crop top lengan pendek dan celana pendek berwarna biru muda berusaha untuk kembali menyerangnya dengan pistol perak yang tergeletak di tanah. Berbeda dengan si anggota Brigade Penyihir itu, dirinya sudah nampak kehabisan tenaga untuk melawannya.
Hawa panas begitu terasa di depan wajah mereka. Keduabelas perawat bergaun hitam dengan corak putih di lehernya itu berusaha mencari orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sayangnya hampir semua rumah disini sudah musnah dilalap api. “Apa masih ada orang disini?” teriak seorang perawat. Nyaris tidak ada suara lain yang bisa didengar selain suara api yang perlahan melalap bangunan yang terbuat dari kayu. Walaupun termasuk ke dalam Distrik Wallenstein Kota Telhi, desa ini masih terlalu jauh jaraknya dari pusat kota. Bantuan pun juga tak kunjung datang karena harus melewati hutan belantara yang cukup lebat. “Ada seseorang disini?” perawat lainnya kembali berteriak. Meskipun bertaruh nyawa, para perawat ini rela melakukannya hanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tersisa dari peristiwa mengerikan itu. Bau material yang terbakar bercampur dengan bau darah dan mayat, semuanya ada di tempat ini. “Ini sungguh mengerikan.” Gumam seorang perawat berambut perak. Hanya berbekal perala