Kartovik Timur benar-benar terbakar pada malam itu. Serangan sihir yang dilancarkan para pemberontak Vitania berhasil meluluhlantakkan kota pendidikan yang eksotis tersebut. Kini hanya terlihat puing-puing bangunan yang hancur maupun terbakar dalam kobaran api yang besar. Bisa dibilang itu adalah serangan Brigade Penyihir terburuk setelah apa yang terjadi di Telhi pada delapan tahun silam.Namun bukan hanya itu saja. Para gadis penyihir berjubah gelap itu ikut menyerang siapapun yang menghalangi jalan mereka tanpa pandang bulu. Gadis penyihir Karelia, Askar, Patrol, bahkan warga sipil termasuk anak-anak pun juga tak luput dari serangan brutal mereka.“Habisi mereka semua!!! Jangan sisakan satu pun yang selamat!!! Mereka akan menusuk kita dari belakang!!!” perintah salah satu anggota Brigade Penyihir.Pemandangan mengerikan itu dapat terlihat dengan jelas dari atas bangunan tertinggi SMA Khusus Wanita Kartovik yang menjulang setinggi puluhan meter.“Kotanya benar-benar terbakar.”Terli
“Huh... Huh... Tidak akan... aku biarkan...”Tepat di tengah-tengah reruntuhan bangunan yang sebagiannya terbakar itu, dua orang gadis penyihir terlihat saling berhadapan satu sama lainnya. Selain itu, terlihat pula dua mayat siswi yang bersimbah darah di depan mereka berdua, yang sepertinya mereka adalah gadis penyihir yang telah gugur dalam pertarungan itu.“Ah, membosankan. Jadi hanya seperti ini kemampuanmu? Kau tidak ada bedanya dengan bestie-mu itu.”Seorang gadis penyihir bersenjatakan tombak merah dengan jubah gelap nampak berujar padanya dengan nada yang angkuh. Ia adalah anggota Brigade Penyihir, nampak jelas dari lambang yang terikat di lengan kanannya.“Tidak... aku...”Sementara itu, gadis penyihir lawannya yang mengenakan pakaian crop top lengan pendek dan celana pendek berwarna biru muda berusaha untuk kembali menyerangnya dengan pistol perak yang tergeletak di tanah. Berbeda dengan si anggota Brigade Penyihir itu, dirinya sudah nampak kehabisan tenaga untuk melawannya.
Hawa panas begitu terasa di depan wajah mereka. Keduabelas perawat bergaun hitam dengan corak putih di lehernya itu berusaha mencari orang-orang yang masih bisa diselamatkan. Sayangnya hampir semua rumah disini sudah musnah dilalap api. “Apa masih ada orang disini?” teriak seorang perawat. Nyaris tidak ada suara lain yang bisa didengar selain suara api yang perlahan melalap bangunan yang terbuat dari kayu. Walaupun termasuk ke dalam Distrik Wallenstein Kota Telhi, desa ini masih terlalu jauh jaraknya dari pusat kota. Bantuan pun juga tak kunjung datang karena harus melewati hutan belantara yang cukup lebat. “Ada seseorang disini?” perawat lainnya kembali berteriak. Meskipun bertaruh nyawa, para perawat ini rela melakukannya hanya untuk menyelamatkan orang-orang yang tersisa dari peristiwa mengerikan itu. Bau material yang terbakar bercampur dengan bau darah dan mayat, semuanya ada di tempat ini. “Ini sungguh mengerikan.” Gumam seorang perawat berambut perak. Hanya berbekal perala
Tamparan anak laki-laki yang diarahkan pada Flo itu berhasil dicegah oleh sang perawat. Weiss Karny yang baru saja mengobati Alisa menahan tangan sang anak dan menatapnya dengan tajam. “I-Ibu Weiss?” “Apa yang kau lakukan, Abraham? Menampar seorang gadis, apakah hal ini yang kami ajarkan padamu?” Kedua anak laki-laki di belakangnya nampak panik setelah melihat raut wajah sang perawat yang hendak memarahi mereka. Namun berbeda dengan anak bernama Abraham itu. Ia malah memberontak dan menjawabnya. “Tapi Ibu Weiss, gadis ini orang Vitania. Orang-orang yang telah menghabisi keluarga kita disini. Aku tidak akan pernah bisa berdamai dengannya.” Abraham terlihat sangat marah pada Flo, benci pada latar belakangnya. Gadis itu hanya diam saja mendengar hal itu, tak mampu berkata apa-apa. Tapi perawat Weiss langsung menasihatinya. “Dengarkan ini, Abraham. Meskipun dia orang Vitania dan kau orang Karelia, tapi kita masih sama-sama Hamu Kamina kan, sama-sama manusia Kamina?” “Itu, aku...” “
BOOM Bola-bola api yang pecah di angkasa itu menghantam berbagai objek yang ada di permukaan tanah. Jalan, kebun, hingga rumah warga, semuanya terkena serangan itu dan terbakar hebat. Sirine kota pun berbunyi. Kedamaian dan ketenteraman itu seketika berubah menjadi ketakutan dan kepanikan. “Ada serangan! Ada serangan!” “Tolong! Rumahku terbakar” “Anakku, dimana anakku?” Orang-orang berteriak dan berhamburan di jalanan, berlari kesana kemari tak tentu arah. Termasuk para anak-anak yang ada di panti asuhan tersebut. Mereka menjerit dan menangis melihat suasana yang tiba-tiba berubah bak perang itu. Semuanya kacau, para perawat kewalahan menangani mereka. Alisa dan Floria terpaku di tempat itu, hanya bisa melihat dan mendengar kepanikan yang ada di balik jendela. “Apa ini?” Abraham dan kedua temannya yang tengah membeli sesuatu di kedai makanan itu pun juga tak luput dari kepanikan. Sambil melemparkan makanan yang telah mereka beli, ketiganya langsung kembali ke panti asuhan sambi
“JANGAAANNNN!!!!” KRIINNNGGGGG Alarm berbunyi pertanda pagi telah tiba. Sinar dari bintang biru Formalha yang baru saja terbit dari ufuk timur menyilaukan mata dari jendela. Alisa terbangun dari mimpi yang mengerikan itu, dan baru sadar bahwa ia tengah berada di kamar asrama. “Oh, sudah pagi ya?” Ucapnya sambil memandangi cermin dan mengusap matanya. Rambutnya terlihat acak-acakan. “Sudah waktunya sekolah.” Alisa bergegas untuk membersihkan diri lalu sarapan dengan menu yang telah disediakan pengelola asrama. Dengan mengenakan seragam berupa kemeja lengan pendek dan rok pendek berwarna putih bercorak abu-abu, ia pun bergegas ke sekolah. Delapan tahun setelah peristiwa mengerikan itu, Alisa bersama anak-anak korban selamat lainnya dipindahkan ke Kartovik. Disana mereka menjalani kehidupan yang baru, termasuk bersekolah. Alisa yang kini berusia 14 tahun bersekolah di SMA Khusus Wanita Kartovik, sebuah sekolah besar yang mampu menampung lebih dari seribu orang siswi. Kelas dimulai
Alisa dan Frenska membaca pesan yang dikirimkan melalui cincin Angkenya. Ternyata benar tebakan mereka. Itu adalah pesan misi yang disampaikan pada keduanya. “Perintah kepada Alisa Garbareva dari Kelas 2-F dan Frenska Albertovia dari kelas 2-F agar segera berkumpul di aula sekolah. Tertanda Ny. Rumia Firlidina” Salah seorang guru telah memanggil mereka berdua untuk berkumpul di aula sekolah. Oleh karena itu, mereka pun harus menaati perintahnya. Keduanya lalu mengganti pakaian tidur mereka dan bergegas pergi ke aula. Sesampainya di aula sekolah, terlihat ada enam orang siswi yang sudah berkumpul di tempat itu, dan tiga diantaranya adalah senior mereka dari kelas 3-E yang terkenal arogan itu, Sophie Alkatiri beserta dua temannya, Rinka Sukhova dan Jouiria Valderlia. Melihat kedatangan Alisa dan Frenska, ketiganya menatap mereka dengan sinis, apalagi setelah peristiwa tadi siang. “Cih, ngapain dua bocah itu kemari?” gumam Sophie dengan suara pelan. Tak lama berselang, sang pengirim
Angin malam yang dingin meniup rambut panjangnya itu. Wajah yang anggun nan dingin itu terlihat jelas melalui sinar purnama. Gadis itu hanya diam saja melihat Alisa Garbareva yang kebingungan setelah melihat paras wajahnya. Dirinya benar-benar tak menyangka akan bertemu kembali dengan teman lamanya itu setelah delapan tahun terpisah karena sebuah tragedi. “Flo, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis Vitania itu berdiri menghadapnya sambil membiarkan pedangnya tergeletak di tanah. “Alisa, sudah lama kita tidak bertemu.” “Tapi, kenapa? Kenapa kau jadi seperti ini? Apa yang terjadi sebenarnya padamu?” Flo terdiam sejenak sebelum mengatakan sepatah dua patah kata. “Keputusasaan, kesejahteraan, keadilan.” Hembusan angin yang cukup besar memotong pembicaraan mereka. Alisa yang mendengar ketiga kata tersebut bertanya-tanya, apa maksud dari perkataannya itu. Sebelum mempertanyakannya, Floria kembali berujar. “Awalnya kita tidak tahu apa yang ada di luar sana karena pada saat itu k