Sejak Rajendra memberitahukan kemungkinan besar dalang di balik penculikan adalah Suryakusuma, darah Arwan mendidih. Informasi bahwa anak buah Suryakusuma menghadang Rajendra, seolah menjadi bukti tak terbantahkan."Saya harus ke rumah Suryakusuma dulu, Yang Mulia," ujar Arwan, suaranya sarat akan amarah yang tertahan. Matanya menyala dalam kegelapan malam, memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "saya ingin berbicara dulu dengan orang itu."Rajendra mengangguk, memahami gejolak hati sang kepala desa."Kita ke sana bersama," sahut Rajendra dengan tenang, namun tersirat ketegasan dalam ucapannya. "Saya juga ingin tahu apa yang akan dikatakan olehnya."Mendengar itu, rombongan pun mengubah arah. Mereka semua, termasuk Ranjani yang berdiri di samping Rajendra, melangkah menuju rumah Suryakusuma.Udara malam terasa semakin dingin, seolah ikut merasakan ketegangan yang menyelimuti mereka.Tak jauh dari mereka, di balik deretan pohon rindang, sesosok bayangan mengendap-endap.Wira, telah me
Ranjani, meski sering terlihat cuek terhadap Rajendra dan bahkan beberapa kali mengatakan jika ia tidak terlalu peduli dengan suaminya itu, ternyata memiliki kekhawatiran yang sangat tinggi kepada Rajendra.Apakah ini karena perubahan yang ditunjukkan oleh Rajendra selama ini? Perubahan dari pangeran pecundang yang hanya memikirkan kesenangan, menjadi seorang pemimpin yang berani, bijaksana, dan penuh kasih. Perubahan itu telah menyentuh hati Ranjani, menumbuhkan benih-benih perasaan yang lebih dalam dari sekadar ikatan pernikahan paksa.Kirana melarang Ranjani. Ia tahu betapa berbahayanya situasi di luar sana. "Ranjani! Jangan gila! Kalian di luar sana sangat berbahaya! Kita bahkan tidak tahu harus pergi ke mana!"Ranjani menoleh, wajahnya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. "Aku bisa mengikuti jejaknya, Kirana. Pasti ada bekas jejak langkah kaki mereka. Aku tinggal mengikutinya.""Tapi, Ranjani—" Kirana masih mencoba membantah."Aku harus melindungi Yang Mulia, Kirana!" Ranjani
Layung segera menghampiri Arwan yang masih terikat erat di tiang. Dengan cekatan, ia melepaskan tali-tali yang mengikat tubuh kepala desa itu. Arwan mengerjapkan matanya, seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Wajahnya yang memar masih menunjukkan sisa-sisa kengerian."Layung ... aku selamat?" tanya Arwan, suaranya serak, matanya menatap Layung dengan tatapan tidak percaya yang mendalam."Ya, Kepala Desa, Anda selamat," jawab Layung sambil tersenyum tipis. Ia merasa lega melihat kepala desa itu dalam keadaan hidup."Terima kasih, Layung!" ucap Arwan, sebuah kelegaan besar membanjiri dirinya."Tidak perlu berterima kasih, Kepala Desa," kata Layung, membungkuk sedikit, menunjukkan rasa hormatnya.Dengan langkah tertatih-tatih karena rasa sakit dan kelelahan, Arwan berjalan menghampiri Rajendra. Tubuhnya masih terasa kaku dan nyeri akibat pukulan Dahana."Rajendra ... terima kasih banyak!" ucap Arwan, suaranya dipenuhi rasa syukur yang tulus, seolah Rajendra adalah p
Dahana sungguh terkejut melihatnya. Matanya membelalak, pupilnya mengecil. Ia tidak menyangka jika Rajendra bisa menjadi sebegini mengerikannya.Aura yang keluar dari dalam diri Rajendra benar-benar berbeda, jauh melampaui apa yang ia ketahui tentang pangeran terbuang itu. Energinya pun sangat besar, memancar, membuat udara di dalam gudang terasa berat.Kini Dahana, sang penculik kejam, merasakan tekanan yang luar biasa.Namun, Dahana adalah pria dengan kepercayaan diri yang melampaui batas, ia tidak mau terlihat takut di hadapan musuhnya. Ia menggerakkan rahangnya, mencoba mengusir rasa gentar yang merayapi hatinya."Percuma saja, Pangeran Rajendra!" pekiknya, suaranya dipaksakan terdengar mantap. "meskipun kau mengeluarkan seluruh kemampuannu dan melakukan perjanjian dengan iblis sekalipun, aku tidak akan terkalahkan! Aku adalah Dahana yang tak terbendung!"Rajendra menyeringai. Senyum dingin tanpa emosi, tanpa kata. Dia tidak banyak bicara. Baginya, kata-kata hanyalah buang-buang w
Dahana berdiri angkuh di tengah gudang beras, matanya menyapu para prajurit Rajendra dengan tatapan meremehkan.“Kalian selanjutnya," kata Dahana, suaranya dipenuhi ejekan. "Ayo maju, prajurit rendahan. Rasakan kekuatan sejati!"Tama adalah orang pertama yang tidak bisa menahan diri. Melihat pangerannya tergeletak tak berdaya, dan mendengar kata-kata Dahana yang begitu menghina, darahnya mendidih.Tama melangkah maju, pedang di tangannya terhunus, matanya menyala."Jangan karena kamu bisa mengalahkan Pangeran Rajendra, kamu berpikir telah menang," kata Tama, suaranya bergetar menahan amarah. "aku akan memberikanmu tamparan kenyataan kalau kamu tidak ada apa-apanya!"Namun, baru saja Tama menutup mulutnya, Dahana telah menghilang dan muncul lagi di depan wajahnya. Kecepatannya sungguh mengerikan. Sebuah serangan kilat dilakukan, pukulan yang nyaris tak terlihat, dan mengenai Tama dengan telak di dada.BUUUHG!Tama terpelanting ke belakang, tubuhnya menghantam tiang kayu dengan keras, r
Sangat aneh ketika seorang Rajendra dikenali oleh orang lain di luar Kerajaan Bharaloka, apalagi sampai tahu gelarnya sebagai pangeran. Bahkan di dalam wilayah kerajaan Bharaloka sendiri, banyak rakyat biasa yang tidak mengenali wajah Rajendra. Mereka hanya mengenal cerita-cerita buruk tentang "Pangeran Rajendra si pecinta wanita" yang bahkan tidak segan merebut istri orang dan membunuh suaminya.Reputasi itu adalah duri yang selalu menusuk hati Raka, jiwa yang kini mendiami tubuh Rajendra."Aku bahkan mengenal semua kebusukanmu, Pangeran," kata Dahana, seringai dingin terukir di bibirnya yang tersembunyi.Nada bicaranya penuh dengan penghinaan dan ejekan, seolah ia adalah hakim yang tahu setiap noda dalam hidup Rajendra.Dahana tahu, Rajendra saat ini tidak memiliki kekuatan politik atau militer apa pun karena jauh dari kerajaannya. Dan dia juga tidak memiliki cukup pasukan untuk bisa mengalahkannya karena kerajaannya sudah dikudeta.Di matanya saat ini, Rajendra hanyalah harimau omp