"Ada apa, Nyai?" tanya Rajendra, nadanya ramah, sedikit terkejut melihat kehadiran Anindya di tengah malam, apalagi dengan penampilan yang begitu menawan.Anindya tersenyum malu-malu, kemudian memperkenalkan pria tinggi besar di sampingnya. Pria itu berbadan besar bukan karena otot, melainkan karena lemak, namun pakaian sutra mewahnya menunjukkan statusnya yang tinggi."Ini adalah suami saya, Tuan Rajendra. Namanya Manadipa. Beliau baru saja pulang dari berdagang di pusat kerajaan,” ucap Anindya.Rajendra dengan sangat ramah menatap Manadipa, mengangguk hormat. Manadipa membalas dengan senyum dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Perkenalkan, nama saya Manadipa," ucap pria itu, suaranya berat namun lembut."Senang bisa bertemu denganmu, Tuan Manadipa," ucap Rajendra, menjabat tangan Manadipa dengan erat. "perkenalkan, namaku adalah Rajendra."“Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Tuan Rajendra, atas kebaikan Anda yang tak terhingga. Terima kasih sudah
Mendengar jika Rajendra akan mengejar Dahana, wajah Suryakusuma langsung memerah padam. Ini adalah pukulan telak bagi rencana yang sudah ia susun secara matang, sebuah ambisi yang kini terancam terbongkar.Suryakusuma mencoba menenangkan diri, namun nada suaranya tak bisa menyembunyikan kemarahannya."Itu percuma, Rajendra!" seru Suryakusuma, suaranya sedikit meninggi, berusaha mengalihkan perhatian warga yang kini menatapnya penuh curiga. "Kepala desa sudah mati! Itu sudah jelas! Mengejar pun tidak akan ketemu! Hanya membuang-buang waktu dan tenaga!"Rajendra menatap Suryakusuma dengan tajam, matanya memancarkan cahaya dingin yang membuat nyali Suryakusuma sedikit menciut. Ia tidak lagi bicara dengan nada diplomatis dan lembut."Juragan Suryakusuma," kata Rajendra, suaranya kini sedikit keras, menusuk. "Kau terlalu pesimis. Atau ... kamu memang sengaja?""Apa maksudmu?! Jangan menuduh sembarangan!" Suryakusuma meledak, menunjuk ke arah Rajendra dengan jari gemetar.Ia mencoba mempert
Rajendra baru saja masuk ke dalam kamarnya, niat hati ingin merebahkan diri. Namun, belum sempat ia rebahan, telinganya menangkap suara langkah kaki tergesa-gesa di luar rumah, diikuti oleh sapaan panik Sarta yang disambut oleh suara berat Paman Surapati.Firasat buruk yang tadi mengganggu pikirannya, kini terasa begitu kuat, menjeritkan bahaya yang tak terelakkan.Rajendra buru-buru keluar kamar, langkahnya cepat. Ia melihat Sarta berdiri dengan wajah pucat di depan pintu, dan Surapati di sampingnya, ekspresi serius terpancar jelas di wajahnya."Ada apa, Sarta?" tanya Rajendra, suaranya dipenuhi kecemasan yang tak bisa disembunyikan.Suara langkah kaki dari kamar sebelah menarik perhatian. Kedua istri Rajendra, Kirana dan Ranjani, keluar kamar, mata mereka dipenuhi rasa penasaran sekaligus kekhawatiran. Mereka bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba menyelimuti suasana.Sarta, dengan napas terengah-engah, akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata."Yang Mulia ... Kepala Desa ... Kepa
Dalam sekejap mata, saat penjaga pertama baru saja mengayunkan tombaknya, Dahana telah lenyap dari pandangan. Bukan menghilang begitu saja, melainkan bergerak dengan kecepatan yang melampaui batas pandang manusia biasa.Dahana kemudian muncul di sisi penjaga itu, seperti hantu yang melayang. Tangannya mencengkeram erat batang tombak yang dipegang oleh penjaga kepala desa, jari-jarinya seolah terbuat dari besi, mengunci gerakan.Dengan tarikan kuat yang tak terduga, Dahana menarik tombak itu ke belakang hingga tubuh lawan terpelanting ke tanah. Kepalanya terbentur keras, suara "duk!" pelan namun mematikan.Tombak direbut paksa dari genggamannya, dan tanpa jeda, dilempar jauh ke dalam kegelapan malam, menancap kuat ke batang pohon di kejauhan.Penjaga kedua, yang sempat teriak terkejut, mengayunkan pedangnya dengan panik. Namun, sebelum senjata itu berayun setengah lingkaran, Dahana sudah berada di hadapannya.Sebuah tendangan kilat menghantam lutut penjaga itu.BUUK! KRAAAK!Suara tula
"Baik, Yang Mulia, saya akan melaksanakan sesuai dengan perintah," ucap Surapati, mengangguk tegas, wajahnya menunjukkan keseriusan dan loyalitas.Rajendra mengangguk. Setelah itu, Rajendra kembali ke rumahnya, sementara Surapati segera bergerak, mengumpulkan pasukannya.Di depan pos keamanan, Surapati menyampaikan apa yang dikatakan oleh Pangeran Rajendra. Suasana mendadak menjadi tegang. Para prajurit mendengarkan dengan saksama, mata mereka memancarkan kewaspadaan yang baru."Mulai sekarang," kata Surapati, suaranya lantang, "kita akan meningkatkan patroli dan penjagaan di seluruh desa. Kita akan membagi kelompok menjadi tiga, masing-masing terdiri dari dua orang. Ini adalah strategi baru dari Yang Mulia untuk memastikan keamanan maksimal."Ia kemudian menjelaskan sistem rotasi yang rumit namun efektif. "Kelompok pertama akan ditempatkan di pos depan, dekat gapura. Kelompok kedua di pos belakang desa, di area hutan yang rawan. Lalu, kelompok ketiga akan terus berkeliling desa, berp
Asmaran mengerutkan keningnya, ekspresi bingung terlihat jelas di wajahnya yang berminyak karena keringat. Permintaan Rajendra tentang anak panah dari besi bisa dia buat, tetapi ide "pelontar sebagai pengganti busur panah" benar-benar di luar nalar dan pengetahuannya sebagai pandai besi."Untuk anak panah dari besi, saya sudah menguasainya, Yang Mulia," ucap Asmaran, suaranya terdengar ragu. "tapi untuk yang dimaksud Yang Mulia, pengganti busur panah itu, saya belum paham sama sekali. Bagaimana bentuknya dan bagaimana mekanismenya?"Rajendra tersenyum tipis. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk memperkenalkan teknologi dari dunianya. Ia melirik sekeliling, matanya menangkap bongkahan arang dan potongan kayu berdiameter sekitar satu meter yang tergeletak di dekat tumpukan besi."Asmaran, kemarilah," ucap Rajendra, menunjuk ke arah potongan kayu besar itu. "aku akan mencoba menjelaskannya dengan cara yang paling mudah kau pahami."Asmaran segera mendekat, rasa ingin