Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang.
"Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria.
Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit.
"Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang.
Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana.
"Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?"
Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya.
"Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang.
Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di restoran.
Kalau saja dia tahu di antara orang-orang ini ada yang membawa pistol, dia akan memilih cara lain.
"Mau kalian apa? Kalian mencariku, hah?"
Meski kini berhati-hati, Adit tetap menunjukkan kepa orang-orang itu kalau dia tidak takut.
Saat ini dia memang belum menemukan cara untuk mengatasi tembakan yang mungkin saja dilepaskan si Bang, tapi dia yakin dia akan menemukannya.
Diam-diam, sambil terus melangkah ke arah ketiga orang yang tak dikenalnya itu, dia mengaktifkan si sistem canggih.
Layar hologram itu pun muncul. Dia membuka menu fitur-fitur, lalu mengecek apa yang ada di kotak "Persenjataan".
Ada dua pilihan di dalamnya: 'Serangan' dan 'Pertahanan'.
Adit memilih 'Serangan', dan dia menemukan sesuatu yang menarik: ilmu bela diri.
Di dalamnya ada beberapa jenis ilmu bela diri yang bisa dipilih, dan Adit memilih pencak silat.
Saat itu juga, tampilan layar berganti dan muncul keterangan ini:
[Ilmu bela diri yang dipilih sedang dalam penginstalan. Lama penginstalan: 15 menit.]
Adit berhenti melangkah. Dia baru bisa menggunakan jurus-jurus pencak silat 15 belas menit lagi. Mau tak mau dia harus mengulur waktu.
"Angkat tangan lu! Taruh di kepala! Cepat!" teriak si Bang.
Layar hologram itu telah lenyap. Kini Adit kembali menatap si Bang secara langsung.
"Kalau aku tak mau?" tantang Adit.
Si Bang mendengus. Dia lalu mengarahkan pistolnya agak ke bawah dan menarik pelatuk.
Dor!
Peluru dari pistolnya itu mendarat di trotoar, tak jauh di depan Adit.
"Lu pikir gua main-main, hah? Lu pikir pistol ini mainan, hah? Sekali lagi lu bertingkah, yang gua tembak bukan lagi trotoar tapi lu. Sekarang taruh tangan lu di belakang kepala!"
Si Bang mengatakannya sambil mengarahkan moncong pistolnya ke arah Adit lagi, menyasar dadanya.
Di samping kiri dan kanannya, agak ke belakang sedikit, dua anak buah si Bang menatap Adit dengan senyum mengejek.
Adit menghela napas. Untuk saat ini, pilihan terbaik adalah menuruti perkataan si Bang. Dia pun mengangkat kedua tangannya, menaruhnya di belakang kepala.
"Bagus! Akhirnya lu pake juga otak lu! Kalian berdua, bawa dia ke sini!"
Setelah si Bang mengatakannya, dua anak buahnya itu langsung maju mendekati Adit. Salah satunya membawa tali tambang sedangkan yang satunya lagi membawa linggis.
Adit menatap mereka bergantian dengan sinis. Kalau sampai mereka berani melukainya, akan dia buat pincang mereka nanti.
"Jangan macem-macem lu, ya! Awas aja!" kata si pria yang memegang linggis.
Dia lantas memberi isyarat kepada temannya. Temannya itu memosisikan dirinya di belakang Adit memegangi kedua tangan Adit kencang-kencang, menurunkannya hingga ke pinggang.
Di situ dia mengikat kedua tangannya Adit dengan tali tambang yang dibawanya itu. Adit menyeringai. Lumayan terasa sakit di pergelangan tangannya.
“Maju!” Si pria yang baru saja mengikat tangannya itu mendorongnya.
Adit tersenyum tipis. Nanti setelah jurus-jurus pencak silat itu bisa dia gunakan, orang ini akan menerima akibatnya.
Dua orang itu membawa Adit mendekat ke si Bang.
Setelah langkah Adit dan dua orang itu terhenti, si Bang maju, menatap lurus pada Adit.
Tatapannya penuh permusuhan, namun Adit merespons dengan sedikit melebarkan senyumnya. Dia bertingkah seolah-olah apa yang sedang terjadi padanya ini hanyalah lelucon.
Bugh!
Si Bang menghantamkan punggung pistol ke muka Adit. Kepala Adit langsung berdenyut-denyut. Darah mengalir dari pelipis kirinya.
“Masih bisa santai lu, ya? Lu pikir gua nggak berani ngehabisin lu di sini? Nantang gua lu?!” sentak si Bang.
Adit kembali tersenyum. Tentu saja orang ini tak akan berani menghabisinya di situ. Bahkan bagi seorang anggota mafia saja itu terlalu gila.
Bugh!
Satu hantaman lagi dari si Bang, kali ini mengenai hidungnya Adit.
Adit sempat memejamkan mata, merasakan kembali denyutan mengganggu di kepalanya.
Kini darah keluar dari lubang hidungnya, melintasi bibirnya.
Kembali dia tersenyum. Dia bersumpah akan menghajar orang di hadapannya ini sampai dia puas.
Duk!
“Berlutut lu!”
Si pria yang memegang linggis baru saja menghantamkan linggisnya itu ke baha belakang Adit, memaksa Adit untuk berlutut di hadapan si Bang.
Lalu, bersamaan, pria itu dan temannya memegang bahu Adit, menahannya agar dia tetap berlutut.
“Cuih!”
Si Bang meludah. Kalau saja Adit tak cepat-cepat menghindar, air ludahnya yang kotor itu pasti sudah mengenai wajahnya.
Kesal sebab apa yang diharapkannya itu tak terjadi, si Bang menjambak rambut Adit dan memaksa Adit menengadah.
“Heh, Bangsat! Lu tahu gua—”
“Cuih!”
Belum selesai si Bang bicara, Adit meludahinya. Air ludah Adit mendarat tepat di muka si Bang, membuat pria sangar itu seketika memejamkan mata.
“Anjing lu!”
Si pria yang membawa linggis menghantamkan linggisnya itu ke punggung Adit. Adit meringis, tapi dia masih saja mempertahankan senyum mengejeknya.
Si Bang mengusap air ludahnya Adit di wajahnya itu dengan tangan, mengibas-ngibaskan tangannya itu.
Setelah itu, dia hantamkan lagi tinjunya ke muka Adit. Kali ini dia mengerahkan tenaga yang lebih besar daripada tadi.
Syuuut!
Lagi-lagi Adit menghindar. Gerakannya begitu cepat, di luar dugaan orang-orang itu juga dirinya sendiri.
Di situlah Adit menerima notifikasi dari si sistem canggih. Dia diberitahu kalau penginstalan pencak silat akan selesai dalam satu menit.
Senyumnya melebar. Momen pembalasan darinya akan segera tiba. Dia sudah tak sabar.
“Pegangin kepalanya! Si Bangsat ini bener-bener bikin gue kesel!” kata si Bang.
Dua pria di kiri-kanan Adit pun melakukan apa yang diperintahkan si Bang. Adit merasakan tangan besar dan kasar dua pria itu menekan kepalanya dari kiri dan kanan.
Si Bang mengambil ancang-ancang, bersiap menonjok Adit dengan kekuatan penuh, tapi gerakan tangannya terhenti oleh ucapan Adit yang tak terduga:
“Kalau kalian mau meminta ampun, ini momen yang tepat. Kalian masih punya beberapa detik.”
Si Bang menatap Adit heran, begitu juga dua orang yang sedang memegangi dan menekan kepalanya.
Sekejap kemudian si Bang terkekeh, diikuti dua orang itu.
“Lu pikir lu bisa ngegertak gua, hah? Lu pikir gua bodoh, hah? Monyet aja tahu kalau lu sekarang nggak akan bisa apa-apa. Lu bakal ngerasain tonjokan-tonjokan gua sampai lu pingsan!” hardik si Bang.
Kembali dia mengambil ancang-ancang. Matanya seperti mata iblis. Merah dan mencekam.
Tepat di titik itu, layar hologram muncul di depan Adit. Penginstalan pencak silat akhirnya selesai. Dia sudah bisa menggunakan kemampuan barunya itu.
Dirasakannya sesuatu yang hangat mengalir dari perutnya ke seluruh tubuhnya. Dia merasakan energi yang melimpah, membuatnya bersemangat.
“Rasain nih, Bangsat!!!” teriak si Bang sambil menghantamkan tinjunya ke muka Adit.
Tapi apa yang terjadi?
Bugh! Bugh!
Si Bang tiba-tiba terlempar dan terkapar. Dua anak buahnya tercengang.
…
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban
“Ya, boleh. Menjadi bodyguard sepertinya lebih menantang bagiku. Sekali lagi terima kasih, ya,” jawab Adit. “Sama-sama. Tapi untuk bisa menjadi bodyguard-ku, kamu harus menjalani tes dulu di kantorku. Bisa sih aku bicara dengannya nanti. Aku minta dia meloloskanmu kalaupun kamu tidak lolos tes fisik dan tes-tes lainnya.” Adit tersenyum miring. Dia tak perlu bantuan apa pun untuk lolos tes fisik dan tes-tes lainnya. Terlebih lagi saat ini dia menguasai pencak silat. Itu pastilah sebuah nilai lebih baginya. “Tak usah repot-repot, Brenda. Aku berusaha dengan kemampuanku sendiri saja. Paling aku minta tolong diberitahu saja apa-apa yang harus kusiapkan dan kubawa untuk mengikuti tes-tes nanti,” kata Adit. “Soal itu, kamu tenang saja. Nanti aku jelaskan semuanya lewat chat, ya. Oke?” “Oke.” Mereka masih bercakap-cakap beberapa menit lagi, tapi bahasan soal pekerjaan berakhir di situ. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, Adit menghela napas lega, tersenyum lebar. Syar
Hilman mengatakan dua kalimat terakhirnya itu dengan nada tinggi, hampir-hampir berteriak. Senyum mencemooh kembali ditunjukkan satpam-satpam di belakang Hilman itu. Adit menghela napas. Lagi-lagi dia harus berhadapan dengan orang-orang menyebalkan. “Kamu menantangku, hah? Apa maksud helaan napasmu barusan?!” Hilman mendekatkan wajahnya ke wajah Adit. Dengan jarak sedekat ini, semakin sulit bagi Adit untuk tak terganggu dengan bau tak sedap dari tubuh Hilman itu. “Saya belum menjalani tes sama sekali, Pak. Bagaimana kalau Pak Hilman menilai saya setelah saya menjalani tes-tes itu?” kata Adit. “Hoo, berani juga kamu menantangku. Oke. Kita lihat nanti hasil tesmu seperti apa. Sekarang buka bajumu!” “Eh? Buka baju?” “Iya, buka baju! Cepat lakukan! Itu bagian dari tes!” Tentu saja itu bohong. Di antara rentetan tes untuk menjadi seorang satpam saja seseorang tak pernah diminta buka baju. Adapun Hilman melakukan itu untuk mempermalukan Adit. Dari pengamatannya tadi, tubuh Adit bias
Satpam-satpam itu mengangkat pentungan dan mengayunkannya ke arah Adit. Mereka yakin sekali bisa memojokkan Adit dan menghajarnya hingga babak belur. Tapi apa yang kemudian terjadi? Keempat satpam itu tiba-tiba terkapar memegangi perut mereka, mengerang kesakitan. Rendi ternganga. Dia tak tahu kalau Adit baru saja memukul perut keempat satpam itu sekuat tenaga. Gerakannya begitu cepat sampai-sampai Rendi tak bisa meilhatnya. “Sekarang bagaimana? Masih mau cari masalah denganku?” tanya Adit. Rendi menatapnya dengan bengis. Mukanya memerah. Amarah yang busuk telah menguasainya. “Bangsat! Aku habisi kau!!” teriaknya sambil menerjang Adit, mengayunkan pentungannya ke kepala Adit. Mengingat badan Rendi yang tinggi besar, hantaman pentungannya itu bisa saja membuat tulang Adit retak jika mengenai sasaran. Tapi sayangnya, itu tak terjadi. Adit menahan pentungan tersebut, memeganginya kuat-kuat sampai-sampai Rendi tak bisa menariknya. Mata Rendi semakin membulat, tapi kini dia terlih
Adit memegangi tangan Tommy dengan begitu keras sampai-sampai pria tinggi-besar itu meringis kesakitan. Apa yang dilakukannya ini membuat Brenda terbelalak."Sialan! Lepaskan tanganku!" Hardik Tommy, berusaha menonjok Tommy dengan tangannya yang satu lagi.Tapi Adit dengan mudah menghindar. Selanjutnya dia pelintir tangan Tommy yang dipegangnya itu hingga pria itu terjengkang.Bunyi gedebuk yang keras terdengar, diikuti bunyi erangan dari Tommy.Di titik ini, Brenda berdiri dan memundurkan kursi. Dia menatap Tommy cemas. Ini membuat Adit bingung."Kamu baik-baik saja, Tommy?" tanya Brenda sambil memutari meja kerjanya, menghampiri Tommy.Tommy mengangguk meski tampak kesakitan. Dia mencoba bangkit terduduk, tapi malah meringis dan memegangi pinggangnya.Bantingan Adit barusan memang lumayan keras. Benar-benar di luar ekpektasinya.Adit yang masih berdiri itu menatap bingung kepada Brenda yang tiba-tiba menunjukkan perhatiannya pada Tommy.Bukankah tadi ajakan Tommy ditolak mentah-ment
Adit menahan diri untuk tidak menghajar Bram. Bagaimanapun saat ini dia berada di antara banyak orang.Dan sebagai seorang bodyguard yang sedang menjalankan tugas, dia harus bersikap profesional.“Kamu keterlaluan, Bram! Aku tahu kamu kesal karena aku tiba-tiba mengganti Tommy dengan dia, tapi kamu tak perlu sampai berbuat sejauh ini. Lagi pula, sebagai CEO, aku berhak menentukan siapa orang yang menjadi bodyguard-ku. Ingat itu!” cerocos Brenda.Bram melirik Brenda sekilas. Memang benar, dia tak terima Tommy tiba-tiba saja diganti oleh pria yang sama sekali tak dikenalnya ini. Dan kalau saja dia bisa, dia ingin meludahi si bodyguard baru ini di situ.Ada alasan personal di balik sikap penolakannya yang berlebihan ini. Bram sudah sedari lama menyukai Brenda. Dia tak suka melihat ada pria asing berada di dekat sang CEO Galaxio Group.Dengan sorot mata yang dingin, Bram berjalan ke belakang Adit, menaruh tangan kirinya di bahu kiri Adit.Dia condongkan tubuhnya, dia dekatkan mulutnya ke
Hardikan Adit membuat lima orang yang mengeroyoknya itu terdiam sesaat. Bagi mereka, hardikan Adit barusan seperti auman singa jantan yang marah. Adit memanfaatkan momen ini untuk membalikkan keadaan. Dia menyerang dua dari para pengeroyoknya itu sebelum orang-orang itu sempat bergerak."Argh...""Ugh..."Adit hanya memberikan satu pukulan dan satu tendangan, tapi dua orang itu mengaduh kesakitan dan ambruk. Pupil Adit membesar. Dia bertanya-tanya apakah semakin lama dia semakin kuat. "Kurang ajar! Mati kamu!!"Satu dari tiga pria yang masih berdiri berteriak kembali memukulkan lagi asbak kayu jati ke punggung Adit. Kali ini Adit bergerak cepat. Ditangkisnya tangan orang itu hingga asbak kayu itu terpental. Serangan berikutnya datang dari dua orang lagi, tapi Adit menghajar mereka di muka sampai-sampai mereka terjengkang. Tinggal satu orang lagi saja yang masih berdiri. Adit menggertaknya dengan menggeram dan bertingkah seolah-olah akan menyerang. Itu saja sudah cukup untuk me