Adit terdiam memandangi layar ponselnya.
Pesan dari Diana itu masuk ke ponselnya lima menit yang lalu. Pastilah sesaat setelah dia masuk mobil.
"Ada apa, Adit? Ada masalah?" tanya Brenda.
"Ah, tidak," kata Adit, menggeleng.
Padahal jelas-jelas masalah itu ada. Saat ini dia sedang berada di dalam mobil dan di sampingnya ada seorang wanita yang penampilannya bak seorang aktris.
Bagaimana dia bisa mengangkat panggilan telepon dari istrinya dalam situasi seperti itu?
Baru saja Adit akan membalas pesan tersebut, meminta istrinya untuk menyampaikan apa yang ingin dibicarakannya itu lewat chat saja sebab sedang tak memungkinkan baginya untuk mengangkat panggilan telepon, istrinya sudah lebih dulu meneleponnya.
Adit menggigit bibirnya sambil terus memandangi layar ponselnya. Di sampingnya, Brenda tampak penasaran. Sesekali dia melirik layar ponselnya Adit dengan ujung matanya.
"Halo." Adit akhirnya menjawab panggilan.
"Adit, kamu lagi di mana?" tanya Diana.
"Aku lagi di jalan. Ada apa? Apa hal penting yang kamu maksud itu?"
"Emm... Ini soal Mama. Tadi Mama telepon, bilang kalau dia melihat ada orang-orang yang mondar-mandir di depan rumah, dan tingkah mereka mencurigakan. Dia curiga itu orang-orang suruhannya Joni. Apa mungkin Joni ingin balas dendam atas apa yang kamu lakukan padanya tadi pagi?"
Adit memicingkan mata, mencerna apa yang barusan dipaparkan istrinya itu.
Tadi pagi dia telah menyelesaikan urusannya dengan Joni. Mestinya Joni memenuhi janjinya untuk tidak mengganggu mereka lagi. Tapi, itu jika Joni orang yang sportif.
"Orang-orang itu mondar-mandir di depan rumah? Hanya itu?" tanya Adit.
"Ya. Sejauh ini hanya itu yang mereka lakukan. Tapi aku khawatir mereka akan mencoba masuk. Sekarang Mama sendirian di rumah," jawab Diana.
Adit bisa memahami kecemasan Diana. Dia sendiri pun pasti cemas kalau berada di posisi istrinya itu.
"Kamu masih lama di luar, Adit? Kalau pulang dulu apa bisa?" tanya Diana.
Tadinya Adit berniat mencari pekerjaan dulu sebelum pulang. Dia telah berjanji kepada ibu mertuanya kalau hari ini dia akan mendapatkan pekerjaan.
Tapi dia tak mungkin mengabaikan kecemasan istrinya itu. Jika benar Joni mengirim orang-orangnya untuk membalas dendam atas apa yang terjadi tadi pagi, mestinya orang-orang itu datang untuk mencarinya, bukan ibu mertuanya.
Tapi itu tidak lantas berarti ibu mertuanya akan aman. Orang-orang yang dikirim Joni itu kemungkinan berandalan. Sangat mungkin mereka menyerang ibu mertuanya atau merusak rumah sebab tak juga melihat Adit di situ.
"Oke. Aku ke sana sekarang. Kamu tenang saja, ya," kata Adit akhirnya.
"Makasih, Adit. Aku kabari Mama dulu," balas Diana.
"Oke."
Percakapan mereka berakhir di situ. Adit memandangi lagi layar ponselnya dalam diam. Dia sedang mengingat-ingat apa yang tadi hendak dilakukannya dengan ponselnya itu sebelum panggilan dari istrinya itu tiba.
"Ada apa, Adit? Kamu harus pergi ke suatu tempat?" tanya Brenda, sesaat menatapnya cemas.
"Ah, ya. Sepertinya kita harus berpisah di sini. Aku ada urusan mendadak. Kamu bisa menurunanku di halte di depan," jawab Adit.
"Kuantar saja, ya. Kamu mau ke mana?"
Lagi-lagi Adit kesulitan menolak tawaran Brenda, salah satunya karena tawaran itu sebenarnya tak bisa ditawar.
Brenda sudah memutuskan untuk mengantar Adit. Tak ada yang bisa Adit lakukan untuk mengubah itu.
Akhirnya, mau tak mau, Adit biarkan Brenda mengantarnya. Dia sebutkan ke kawasan mana dia ingin Brenda membawanya.
...
Di balik jendela, sedikit menyingkapkan garden, Julia kembali mengecek situasi di depan rumah.
Lagi-lagi orang-orang itu muncul. Lima orang pria dengan tingkah mencurigakan. Sedari tadi mereka mondar-mandir di situ, beberapa lama menatap ke arah rumah.
"Apa sih sebenarnya maunya mereka ini? Kalau sampai mereka merangsek masuk dan merusak rumah, akan kuhajar kamu, Adit! Semua ini gara-gara kamu!" rutuk Julia.
Julia memang menduga orang-orang ini dikirim Joni. Menurutnya Joni pasti tak terima dengan apa yang terjadi padanya tadi. Sudah sewajarnya dia mengirim orang-orang untuk balas menghajar Adit.
Tapi saat ini Adit tak ada di rumah. Julia tak akan pernah memaafkan menantunya itu kalau sampai dia yang jadi sasaran amukan pria-pria di luar itu.
Sekitar sepuluh menit lalu, Diana meneleponnya dan memberitahunya kalau Adit sedang dalam perjalanan ke situ.
Julia tak begitu berharap pada menantu sampahnya itu, sebenarnya, tapi paling tidak dia mungkin bisa menghadapi orang-orang mencurigakan ini.
"Misalkan nanti orang-orang ini menghajarmu sampai kamu babak-belur, Adit, aku tak akan membelamu. Itu akibat yang harus kamu terima karena tindakan gegabahmu tadi pagi," ucap Julia.
Dia memang sebenci itu pada Adit. Belakangan dia berpikir, hidupnya dan putrinya akan jauh lebih baik kalau Adit tak pernah ada.
"Ya Tuhan!"
Julia mundur selangkah dan menutup mulutnya dengan tangan. Dilihatnya dua dari orang-orang mencurigakan di luar itu memanjat pagar dan memasuki halaman.
"Oh, apa yang harus kulakukan sekarang? Adit sialan! Mestinya aku tak berharap apa pun padanya!"
Julia menjauh dari jendela. Pintu depan telah dia pastikan terkunci, tapi orang-orang itu bisa saja mendobraknya.
"Bagaimana ini? Bagaimana ini?"
Panik, Julia mondar-mandir seperti setrikaan. Dua pria itu sementara itu kini sudah menginjakkan kaki di teras.
"Polisi! Aku harus menelepon polisi!"
Julia mengambil ponselnya. Tangannya gemetaran, menyulitkannya saat menekan tombol-tombol nomor di keypad.
Dan belum juga dia sempat melakukan panggilan, dia mendengar bunyi mencurigakan dari arah kanan.
Sontak dia menoleh. Didapatinya gagang pintu depan diputar ke bawah.
"Oh, Tuhan!"
Julia semakin panik saja. Saking paniknya dia, kedua kakinya bergemetar hebat dan dia jatuh terduduk. Ponselnya sampai terlepas dari tangannya dan jatuh ke pahanya.
Gagang pintu itu kembali ke posisinya semula, tapi Julia tahu dia belum bisa lega.
Dua pria di luar itu, tentunya, akan mencari-cari cara untuk masuk ke rumah.
"P-p-polisi..."
Julia tergeragap saking panik dan takutnya dia. Dia mencoba mengambil ponselnya, tapi kesulitan menggerakkan tangannya yang gemetaran itu.
Ceklek!
Perhatiannya teralihkan oleh bunyi tersebut. Itu hanya berarti satu hal: mereka yang berada di balik pintu itu berhasil membuat pintu tak lagi terkunci.
Dan sesaat kemudian gagang pintu bergerak lagi ke bawah, dan setelah itu pintu didorong ke dalam.
Julia menatap ke pintu dengan mata terbuka lebar. Jantungnya berdebar-debar hebat.
'Tolong aku, ya Tuhan! Tolong lindungi aku!' Julia berdoa dalam hati, sambil memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangan.
Saat itulah, dia mendengar seseorang di luar berteriak dengan lantangnya:
"Hey, apa yang kalian lakukan di rumahku? Cepat menyingkir kalau kalian masih hidup!"
...
Tiga pria yang berdiri di depan gerbang rumah menoleh ke arah sumber suara. Mereka melihat Adit berjalan ke arah mereka dengan muka menantang. "Itu dia orangnya, Bang. Persis sama dengan yang di foto," kata salah satu pria. Si pria yang dipanggil 'Bang' itu mengecek foto yang dia simpan di ponselnya, mencocokannya dengan Adit. "Lu bener. Dia orangnya," kata si Bang. Dia masukkan lagi ponselnya ke saku celana, lantas mengeluarkan pistol yang tadi dia sembunyikan di belakang tubuhnya, di balik celana. "Ow ow ow... apa ini? Mau menembakku?" Adit mengatakannya sambil memelankan langkah. Dia kini berhati-hati. Bagaimanapun, bisa repot kalau pistol itu asli dan si Bang benar-benar menembaknya. "Diam lu, Bangsat! Jangan macem-macem sama gua, kecuali lu pengen gua bikin mampus!" kata si Bang. Langkah Adit semakin pelan. Situasi ini di luar perkiraannya. Tadinya saat melihat orang-orang ini dari jauh dia bermaksud menghajar mereka seperti dia menghajar pengawal-pengawalnya Erkan di res
Sedetik kemudian giliran dua anak buahnya si Bang yang terlempar. Yang satu menghantam pagar besi. Yang satu lagi terguling-guling di aspal. Adit berdiri, menegakkan punggung. Otot-otot lengannya terlihat saat dia mengerahkan seluruh tenaganya. Akhirnya, dia berhasil melepaskan tangannya yang semula terikat. Tali-tali tambang yang tebal itu putus dan berjatuhan di belakangnya. ‘Mantap! Rupanya aku sekarang sekuat ini,’ pikirnya. Adit melakukan peregangan. Kini saatnya dia membalas perlakuan si Bang dan dua anak buahnya itu. Adit memulai dari si pria yang tadi punggungnya menghantam pagar. Pria itu sedang berusaha berdiri ketika Adit menghajarnya dengan tendangan memutar, tepat di wajahnya. Pria itu sempat berputar-putar sebelum ambruk ke kiri. Linggis terlepas dari tangannya dan menggeling ke dekat Adit. Adit mengambil linggis itu. Saat dia menoleh ke arah satunya, dilihatnya anak buahnya si Bang yang satu lagi sudah bangkit. Pria itu mengeluarkan pistol dan mengokangnya. Adit
Si pria yang sedang menyandera Julia berteriak kencang. Pisau dapur itu jatuh dan terlempar ke arah si pria yang memegang pistol, tepat mengenai tangannya. Ya, benar sekali. Yang melakukan kedua hal tersebut adalah Adit. Dia banting si pria yang menyandera Julia hingga terdengar bunyi “gedebuk” yang keras. Setelah itu dia patahkan tangan pria tersebut. “Aaaaaa!!” Adit masih belum selesai. Dia pegang kedua kaki orang itu dan dia putar-putar tubuhnya, lalu dia lemparkan ke arah si pria yang satunya lagi, menghantam orang itu tepat di dadanya. Bruk! Krang!! Mereka berdua ambruk menimpa pot-pot bunga berukuran besar. Pot-pot itu pecah. Bunga-bunga itu sendiri berhamburan di pekarangan. Adit menoleh ke arah jalan. Si Bang terhenyak, lalu lari sekuat tenaga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi mesin sepeda motor yang melaju kencang. Adit mendengus. Lain kali jika dia melihat orang itu lagi, akan benar-benar dia bikin lumpuh permanen. Diarahkannya matanya ke dua anak buah si Ban
“Ya, boleh. Menjadi bodyguard sepertinya lebih menantang bagiku. Sekali lagi terima kasih, ya,” jawab Adit. “Sama-sama. Tapi untuk bisa menjadi bodyguard-ku, kamu harus menjalani tes dulu di kantorku. Bisa sih aku bicara dengannya nanti. Aku minta dia meloloskanmu kalaupun kamu tidak lolos tes fisik dan tes-tes lainnya.” Adit tersenyum miring. Dia tak perlu bantuan apa pun untuk lolos tes fisik dan tes-tes lainnya. Terlebih lagi saat ini dia menguasai pencak silat. Itu pastilah sebuah nilai lebih baginya. “Tak usah repot-repot, Brenda. Aku berusaha dengan kemampuanku sendiri saja. Paling aku minta tolong diberitahu saja apa-apa yang harus kusiapkan dan kubawa untuk mengikuti tes-tes nanti,” kata Adit. “Soal itu, kamu tenang saja. Nanti aku jelaskan semuanya lewat chat, ya. Oke?” “Oke.” Mereka masih bercakap-cakap beberapa menit lagi, tapi bahasan soal pekerjaan berakhir di situ. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, Adit menghela napas lega, tersenyum lebar. Syar
Hilman mengatakan dua kalimat terakhirnya itu dengan nada tinggi, hampir-hampir berteriak. Senyum mencemooh kembali ditunjukkan satpam-satpam di belakang Hilman itu. Adit menghela napas. Lagi-lagi dia harus berhadapan dengan orang-orang menyebalkan. “Kamu menantangku, hah? Apa maksud helaan napasmu barusan?!” Hilman mendekatkan wajahnya ke wajah Adit. Dengan jarak sedekat ini, semakin sulit bagi Adit untuk tak terganggu dengan bau tak sedap dari tubuh Hilman itu. “Saya belum menjalani tes sama sekali, Pak. Bagaimana kalau Pak Hilman menilai saya setelah saya menjalani tes-tes itu?” kata Adit. “Hoo, berani juga kamu menantangku. Oke. Kita lihat nanti hasil tesmu seperti apa. Sekarang buka bajumu!” “Eh? Buka baju?” “Iya, buka baju! Cepat lakukan! Itu bagian dari tes!” Tentu saja itu bohong. Di antara rentetan tes untuk menjadi seorang satpam saja seseorang tak pernah diminta buka baju. Adapun Hilman melakukan itu untuk mempermalukan Adit. Dari pengamatannya tadi, tubuh Adit bias
Satpam-satpam itu mengangkat pentungan dan mengayunkannya ke arah Adit. Mereka yakin sekali bisa memojokkan Adit dan menghajarnya hingga babak belur. Tapi apa yang kemudian terjadi? Keempat satpam itu tiba-tiba terkapar memegangi perut mereka, mengerang kesakitan. Rendi ternganga. Dia tak tahu kalau Adit baru saja memukul perut keempat satpam itu sekuat tenaga. Gerakannya begitu cepat sampai-sampai Rendi tak bisa meilhatnya. “Sekarang bagaimana? Masih mau cari masalah denganku?” tanya Adit. Rendi menatapnya dengan bengis. Mukanya memerah. Amarah yang busuk telah menguasainya. “Bangsat! Aku habisi kau!!” teriaknya sambil menerjang Adit, mengayunkan pentungannya ke kepala Adit. Mengingat badan Rendi yang tinggi besar, hantaman pentungannya itu bisa saja membuat tulang Adit retak jika mengenai sasaran. Tapi sayangnya, itu tak terjadi. Adit menahan pentungan tersebut, memeganginya kuat-kuat sampai-sampai Rendi tak bisa menariknya. Mata Rendi semakin membulat, tapi kini dia terlih
Adit memegangi tangan Tommy dengan begitu keras sampai-sampai pria tinggi-besar itu meringis kesakitan. Apa yang dilakukannya ini membuat Brenda terbelalak."Sialan! Lepaskan tanganku!" Hardik Tommy, berusaha menonjok Tommy dengan tangannya yang satu lagi.Tapi Adit dengan mudah menghindar. Selanjutnya dia pelintir tangan Tommy yang dipegangnya itu hingga pria itu terjengkang.Bunyi gedebuk yang keras terdengar, diikuti bunyi erangan dari Tommy.Di titik ini, Brenda berdiri dan memundurkan kursi. Dia menatap Tommy cemas. Ini membuat Adit bingung."Kamu baik-baik saja, Tommy?" tanya Brenda sambil memutari meja kerjanya, menghampiri Tommy.Tommy mengangguk meski tampak kesakitan. Dia mencoba bangkit terduduk, tapi malah meringis dan memegangi pinggangnya.Bantingan Adit barusan memang lumayan keras. Benar-benar di luar ekpektasinya.Adit yang masih berdiri itu menatap bingung kepada Brenda yang tiba-tiba menunjukkan perhatiannya pada Tommy.Bukankah tadi ajakan Tommy ditolak mentah-ment
Adit menahan diri untuk tidak menghajar Bram. Bagaimanapun saat ini dia berada di antara banyak orang.Dan sebagai seorang bodyguard yang sedang menjalankan tugas, dia harus bersikap profesional.“Kamu keterlaluan, Bram! Aku tahu kamu kesal karena aku tiba-tiba mengganti Tommy dengan dia, tapi kamu tak perlu sampai berbuat sejauh ini. Lagi pula, sebagai CEO, aku berhak menentukan siapa orang yang menjadi bodyguard-ku. Ingat itu!” cerocos Brenda.Bram melirik Brenda sekilas. Memang benar, dia tak terima Tommy tiba-tiba saja diganti oleh pria yang sama sekali tak dikenalnya ini. Dan kalau saja dia bisa, dia ingin meludahi si bodyguard baru ini di situ.Ada alasan personal di balik sikap penolakannya yang berlebihan ini. Bram sudah sedari lama menyukai Brenda. Dia tak suka melihat ada pria asing berada di dekat sang CEO Galaxio Group.Dengan sorot mata yang dingin, Bram berjalan ke belakang Adit, menaruh tangan kirinya di bahu kiri Adit.Dia condongkan tubuhnya, dia dekatkan mulutnya ke