Selama di perjalanan, bayangan bayangan menjijikkan itu kembali berputar di kepala Laras. Bagaimana Adhi melindungi Adis dan lebih memilih perempuan itu daripada dirinya.
Tujuh belas tahun rupanya tidak membuat Adhi ingin mempertahankan pernikahan. Dia malah mencari daun muda yang segar untuk dia gerogoti.Air mata Laras terjatuh saat dia mengingat banyak kenangan yang sudah dia lalui bersama dengan Adhi.Lelaki itu selalu bersamanya bahkan ketika ia kehilangan ibunya untuk selama-lamanya. Namun, hal itu juga tak cukup untuk membuat Adhi ingin mempertahankan Laras."Ras, kamu kenapa?" tanya Tian.Laras tersadar jika dia sudah menangis, dia mengusap airmatanya dengan kasar lalu menggelengkan kepalanya."Duduk di situ, cewek itu udah mau turun," kata Tian."Kakak gimana?""Aku berdiri, udah biasa."Tian adalah kakak kelas Laras yang waktu itu sama sekali tidak dia lirik. Malahan, dia sudah menolak mentah-mentah Tian di hari kelulusan lelaki itu.Laras tak mengerti mengapa dia menolak Tian dan memilih buaya darat si Adhi brengsek. Namun, jika diingat lagi, tak ada kenangan apapun dirinya dengan Tian waktu itu. Tian menyukai Laras karena dirinya cantik, bukan karena dekat dan merasa nyaman.Diam-diam Laras melirik ke arah Tian yang berdiri tepat di sebelahnya. Dia berpikir, bagaimana jika dia bersama dengan Tian saja.Jika waktu itu dia tidak bisa membuat kenangan indah dengan Tian. Bagaimana jika mulai dari sekarang saja, barangkali dia dan Tian cocok.Laras berdiri ketika bus sudah mendekati area halte bus perumahannya. Dia hendak keluar dari kursinya, tapi perempuan di sebelahnya sepertinya kelewat dan harus buru-buru menghentikan bus.Laras terjatuh ke samping, kedua tangannya tanpa sengaja menyentuh pinggang Tian. Matanya membulat karena terkejut dengan tangannya sendiri yang sudah memegang pinggang bocah lelaki."Maaf," kata Laras. "Aku nggak bermaksud, itu ...""Iya, nggak apa-apa," balas Tian yang tahu jika Laras jadi salah tingkah."Dasar anak remaja, sukanya dadakan kenapa nggak persiapan dari tadi," gerutu Laras sambil membenarkan tasnya."Anak remaja? Kamu juga masih remaja, kan?" tanya Tian."Oh.. "Tian menaikkan kedua alisnya."Itu sudah mau sampai," kata Laras mengalihkan perhatian Tian. Keduanya pun turun bergantian.Mata Laras memindai di sekitarnya, barangkali tiba-tiba ada Adhi muncul dari arah yang tidak dia sangka.Tapi yang jelas Adhi akan marah hebat pada Laras. Dan mungkin dia bisa putus dengan lelaki itu.Laras tersenyum sendiri.Ya, putus adalah jalan satu-satunya, dengan begitu aku nggak akan nikah sama dia."Kamu nggak takut kalau cowokmu tau kamu pulang sama aku?" tanya Tian. Mereka berdua mulai berjalan menyusuri jalanan yang waktu itu masih belum diaspal."Nggak, paling putus," jawab Laras.Kemudian hening, Laras memilih untuk diam dan tak banyak bicara. Dia hanya akan menjawab jika Tian bertanya kepadanya."Kayaknya pacar kamu udah nunggu di rumahmu," kata Tian.Sontak Laras melihat rumahnya dari arah kejauhan. Motor Adhi ada di depan pintu gerbang rumahnya. Pasti dia langsung ke rumahnya setelah melihat Laras pulang menggunakan bus."Kalau begitu, sampai sini aja ya nganternya. Tante bisa pulang sendiri.""... Ya?""Ya?""Tante?""Tante siapa?"Tian memiringkan kepalanya. "Kamu tadi nyebut diri kamu tante," kata Tian sambil tertawa. "Kamu kenapa sih Ras, kamu memangnya lucu begini ya."Wajah Laras memerah, bisa-bisanya dia dibilang lucu oleh anak lelaki berumur 17 tahun."Oh itu... ""Nggak apa-apa, mungkin kamu kemarin baru main sama keponakan kamu," kata Tian.Sejak kapan Tian sebijak ini? Apakah sejak dulu Tian memang seperti ini? Dewasa? Tidak banyak tingkah? Bahkan usia dia jauh lebih muda dari Adhi. Tapi mengapa Tian terasa begitu berbeda? Dan kenapa waktu itu Laras menolak lelaki baik ini?"Nah itu dia maksudku," kekeh Laras.Dia berjalan masuk setelah melambaikan tangannya pada Tian.Setelah melihat Tian pergi, lalu ia berkata melihat Adhi yang memandangnya dengan wajah yang asam, benar benar membuatnya bodoh karena sudah mau menikah dengan Adhi."Kenapa kamu pulang sama cowok itu, Ras?" tanya Adhi. Dia berdiri dari kursinya lalu mendekati Laras."Memangnya nggak boleh?"Adhi mendecakkan lidahnya. "Kamu nggak ngehargain aku, padahal udah jauh-jauh aku jemput kamu. Tau gitu, aku di kampus aja.""Ya udah di kampus aja, besok lagi nggak perlu dijemput.""Kamu selingkuh ya?" Tatapan mata Adhi seakan ingin menerkam Laras. Tapi Laras membalasnya dengan tatapan tak kalah tajam.Bilang selingkuh padahal kamu juga selingkuh dengan daun muda. Adis pasti sekarang masih SD. Bisa-bisanya kamu selingkuh sama anak SD, Adhi?!"Mau bilang apa, Ras? Bener kan tebakanku, kamu selingkuh sama cowok tadi.""Nggak ada bukti aku selingkuh sama dia, lagi pula, kita masih pacaran. Kita masih berhak milih yang terbaik.""Terbaik katamu? Memangnya kamu bisa bahagia dengan cowok miskin itu!"Mata Laras membulat.Miskin? Jangan-jangan Laras menolak Tian karena Tian tidak kaya?"Bisa saja sekarang miskin, tapi kita nggak tau ke depannya gimana, kan!""Kamu ini... kamu belain dia?""Ah udahlah, aku mau masuk, capek, lapar." Laras melenggang masuk, tapi baru saja dia menyentuh ujung gagang pintu, tangan Adhi mencengkeram lengan laras."Kita belum selesai bicara, Ras," geramnya."Udah selesai." Laras mengembuskan napasnya dengan kesal."Jadi kamu benar benar selingkuh sama dia?"Laras sudah muak, apalagi harus melihat wajah Adhi."Ya, aku selingkuh sama dia, jadi mendingan kita putus.""Oh, jadi bener tebakanku. Pantesan aja kamu nggak mau pulang sama aku. Malah naik bus desak-desakan sama cowok miskin itu.""Jangan bilang cowok miskin lagi, toh kamu juga nggak punya apa-apa kalau orangtuamu nggak kaya!"PLAK!Mata Laras membulat, rasa panas menjalari pipinya. Untuk pertama kalinya dia yakin jika apa yang sedang terjadi bukanlah mimpi. Terbukti rasa sakit tamparan itu sangat nyata.Adhi kelabakan, dia hendak menyentuh wajah Laras tapi ditepis oleh perempuan itu."Maaf Ras, aku nggak ada maksud nampar kamu, habisnya kamu ...""Dasar cowok brengsek, tukang zina," gumam Laras kemudian dia masuk ke rumahnya.Tahun 2007 – Hari Pertama Laras di SMAMatahari siang menyengat, membakar lapangan sekolah yang luas. Sekelompok siswa baru berdiri berjejer di tengah lapangan, wajah mereka memerah karena malu dan kepanasan. Mereka dihukum karena datang terlambat di hari pertama sekolah.Di antara mereka, seorang gadis berdiri dengan kepala tegak, meskipun keringat menetes di pelipisnya. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, seragam putih abu-abunya sedikit kusut karena terburu-buru.Laras. Di tangga lantai dua gedung sekolah, seorang siswa kelas dua menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, memperhatikan pemandangan di bawah dengan senyum tipis.Tian.Ia menyilangkan tangan di dadanya, matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri paling tegak di tengah lapangan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.“Oi, kamu senyum-senyum sendiri kenapa?” suara Dani, teman sekelasnya, memecah lamunannya.Tian tetap tidak menjawab, masih memandangi gadi
Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan kebaya putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi selipan melati kecil yang harum. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang.Hari ini adalah hari pernikahannya.Ia mengangkat tangannya, meraba dadanya yang bergetar pelan. Setelah semua yang terjadi, setelah luka dan kehilangan, ia akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya tetapi juga menerimanya apa adanya.“Laras.”Ia menoleh dan melihat Abi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.“Ibu sudah siap?” tanyanya lembut.Laras tersenyum, melangkah mendekat, lalu membetulkan kerah kemeja putranya. “Ibu siap.”Abi menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”Laras mengulurkan tangannya, dan Abi menggenggamnya erat, mengantarnya keluar menuju halaman belakang vila kecil yang mereka sewa untuk acara ini.Pernikahan ini bukan pesta besar dengan ra
Adhi duduk di kursi terdakwa dengan tubuh kaku, tangannya terkepal di atas meja. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda malam-malam tanpa tidur yang ia lalui selama sidang berlangsung. Hari ini, putusan akan dijatuhkan.Ruangan sidang dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa adalah wartawan yang siap mengabadikan momen kejatuhan seorang pria yang dulu begitu berkuasa. Sebagian lagi adalah orang-orang yang mengenal Adhi dan ingin melihat akhirnya.Di barisan kursi pengunjung, Laras duduk dengan punggung tegak. Ia mencoba tampak tenang, tetapi jemarinya yang saling meremas menunjukkan kegelisahannya. Di sebelahnya, Tian duduk dengan ekspresi profesional, tetapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Abi duduk dengan bahu tegap, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menghindar dari kenyataan.Hakim mengetukkan palunya, membuat seluruh ruangan terdiam.“Berdasarkan bukti yang telah diajukan serta kesaksian yang diberikan, pengadila
Bab 30. Adhi yang Puas, Lalu MurkaAdhi duduk di ruangannya, menyesap kopi dengan santai sambil membaca berita tentang kebakaran rumah Laras. Senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya."Laras, lihatlah... Kamu kehilangan segalanya. Sekarang, kamu pasti menyesal meninggalkan aku," pikirnya puas.Baginya, ini adalah balasan atas semua rasa sakit dan penghinaan yang telah Laras berikan padanya. Kehilangan rumah akan membuatnya terpuruk, dan pada akhirnya, Laras akan kembali padanya dengan wajah penuh penyesalan.Namun, kebanggaan itu lenyap seketika ketika sekretarisnya masuk dengan wajah ragu.“Tuan… Saya baru saja mendengar kabar bahwa… Bu Laras tidak mencari rumah lain.”Adhi mengangkat alis. “Apa maksudmu?”Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab, “Dia tinggal di rumahnya Pak Tian.”Cangkir di tangan Adhi langsung hancur di genggamannya. Kopi panas tumpah ke meja, tapi ia tak peduli.“Apa?” suaranya terdengar berbahaya.Sekretaris itu mundur sedikit, takut dengan ekspresi penuh
Enam Bulan KemudianRestoran kecil di sudut kota itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah udara malam yang mulai mendingin. Di salah satu meja dekat jendela, tiga orang duduk bersama—Abi, Laras, dan Tian.Abi menyendok makanannya dengan santai, sesekali melirik ke arah ibunya dan Tian yang duduk di seberangnya. Laras tampak lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu, sementara Tian terlihat nyaman berada di sana, meskipun tetap menjaga sikapnya.Setelah beberapa suapan, Abi meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ekspresi serius.“Bu,” panggilnya, suaranya tenang tapi penuh makna.Laras menoleh. “Ya?”Abi menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Aku nggak masalah kalau Ibu mau menikah lagi.”Laras terkejut. “Abi…”“Aku tahu,” Abi tersenyum tipis. “Aku tahu Ibu nggak pernah bahagia sama Ayah. Jadi kalau sekarang ada kesempatan buat Ibu bahagia, aku nggak akan menahan Ibu.”Laras terdiam, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ters
Satu minggu kemudian. Tempat Rehabilitasi Remaja, Sore HariTian melangkah memasuki area rehabilitasi dengan perasaan campur aduk. Bangunan sederhana dengan halaman luas itu dikelilingi pagar tinggi, tapi suasana di dalamnya terasa lebih tenang dibandingkan penjara. Udara sore yang sejuk tidak bisa meredakan ketegangan dalam dadanya.Di taman belakang, di bawah pohon rindang, Tian akhirnya menemukan Abi duduk di bangku kayu. Pemuda itu mengenakan kaus putih polos dengan jaket tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke kejauhan.Tian menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat. “Abi…” panggilnya pelan.Abi menoleh, ekspresinya datar, tapi sorot matanya menyiratkan ketegangan. “Ngapain ke sini?”Tian mengusap tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku mau minta maaf.”Abi mendengus kecil. “Buat apa? Kamu nggak salah apa-apa.”Tian menghela napas. “Aku… juga baru tahu kalau kamu anakku beberapa waktu yang lalu. Waktu aku bertemu ibumu di biro huku
Kafe, Senja MenjelangTian mengaduk kopinya perlahan, menatap cairan hitam itu sebelum akhirnya berkata, "Aku belum menikah."Laras sedikit tersentak, menoleh ke arahnya. "Belum?"Tian mengangguk. "Sejak dulu, aku terlalu sibuk membangun karier. Aku harus jadi orang yang hebat, Laras. Aku nggak mau diremehkan. Aku nggak mau dianggap cuma anak muda yang nggak bisa apa-apa." Ia terkekeh pendek, ada getir dalam suaranya. "Sampai-sampai aku lupa mencari kekasih."Entah mengapa, Laras merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sebuah perasaan yang tak ingin ia akui—kelegaan.Tian belum menikah.Ada jeda hening di antara mereka. Laras menggigit bibirnya, menatap jalanan di luar jendela kafe. Ia tak boleh berpikir macam-macam. Keadaan terlalu rumit sekarang."Sudah malam," Tian tiba-tiba berkata. "Aku antar kamu pulang."Laras menoleh, sedikit ragu. "Kamu nggak sibuk?"Tian tersenyum samar. "Aku selalu punya waktu untuk hal yang penting."Di dalam mobil... Perjalanan pulang terasa tenang. Lara
Tian melangkah masuk ke ruang kunjungan tahanan dengan ekspresi tenang. Di depannya, Abi duduk di balik meja besi, tangannya terborgol, sorot matanya penuh kebencian.Laras duduk di samping putranya, menggenggam tangan Abi dengan erat. Ia menoleh pada Tian, seolah meminta kepastian bahwa pria itu benar-benar bisa membebaskan putranya.Tian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. Ia membuka mapnya, mengeluarkan beberapa dokumen. “Aku butuh kamu cerita dari awal. Apa yang terjadi malam itu?”Abi menatap Tian tajam. “Siapa Anda?”Tian menutup mapnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Abi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sebuah ketegangan yang aneh. Sejak pertama melihat anak itu, ada perasaan tak biasa yang menusuk dadanya.“Aku pengacara yang akan membelamu,” jawab Tian profesional.Abi mendengus, bersandar di kursinya dengan wajah sinis. “Jadi Ibu menyewa pengacara?”Laras menepuk tangan Abi, berusaha menenangkan. “Abi, dia pengacara terbaik. Percayalah.”Tian masih memperhatika
Laras menggenggam tasnya erat, mengikuti langkah Widya yang berjalan cepat di depannya. Hatinya masih bergejolak, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus. Ia harus menemukan pengacara yang bisa membantunya.“Kita hampir sampai,” kata Widya tanpa menoleh.Laras mengangguk. “Biro jasa hukum ini… beneran bisa dipercaya, kan?”Widya berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Laras, ini bukan tempat sembarangan. Mereka menangani kasus-kasus besar. Aku yakin mereka bisa bantu kamu.”Laras menarik napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. “Oke.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung kantor yang modern dan elegan. Resepsionis menyambut mereka dengan senyum ramah.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?”Widya mendekat. “Kami ingin bertemu dengan salah satu pengacara terbaik di sini. Ada janji dengan Pak Tian.”Laras mengernyit. Nama itu terdengar familiar, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk menyadarinya.“Silakan ke ruang 302. Beliau sudah menunggu,” kata resepsionis itu.Widya