Share

7. Merubah takdir

“Ras?” panggil seseorang dari luar kamar Laras.

Laras menoleh merasa familer dengan suara lembut itu.

“Kamu tidur siang, Ras?”

Laras gegas menghampiri pintu, ketika dia membuka pintu kamarnya. Dia melihat ibunya tersenyum ke arahnya dan membawakan sebuah kotak kue yang dulu menjadi kesukaannya.

“Ibu!” Laras yang sangat merindukan ibunya pun langsung memeluknya. Dia menangis dan memeluk ibunya sangat erat.

“Kamu kenapa sih, baru ditinggal ke Jogja kemarin udah kayak ditinggal mati ibu aja.”

Laras mendelik. “Bu?! kenapa bilangnya begitu sih.”

“Nih, kue kesukaan kamu. Katanya mau ini kan kemarin.”

Ibu Laras sebulan sekali pergi ke Jogja, ada arisan keluarga di mana arisan tersebut diadakan di rumah kakek nenek Laras.

Yang jelas Laras tidak bisa ikut karena sekolah, apalagi ayahnya yang bekerja.

“Ibu tadi papasan sama Adhi, Ras.”

“Oh ya?” Laras mengambil kotak kue itu lalu membawanya ke meja makan. “Makan yuk, Bu.”

“Ganti dulu seragam kamu, habis itu baru makan, Ras.”

Laras langsung berdiri dari duduknya, dia menurut apa perintah ibunya untuk mengganti pakaiannya dulu sebelum makan.

Ibunya yang melihat sikap Laras yang agak berbeda pun sedikit heran, karena biasanya Laras bodo amat dan tidak peduli jika ibunya menyuruh-nyuruhnya.

Keluar dari kamar, Laras memeluk ibunya yang sedang berdiri di depan kompor. Laras menempelkan kepalanya di punggung ibunya dan merasakan hangat tubuh wanita yang meninggalkan dunia saat dirinya berusia 20 tahun.

“Kamu kenapa sih, Ras. Peluk ibu terus dari tadi,” gerutu ibunya.

“Aroma ibu enak,” jawabnya.

“Katamu ibu bau bawang putih.”

“Laras suka bau bawang putih,” sahut Laras. Mengingat bagaimana dulu ibunya pergi untuk selamanya. Laras benar-benar terpukul pada saat itu. Dia kehilangan sosok perempuan yang selalu berada di pihaknya.

Segala penyesalan itu muncul saat ibunya tiada, dia menyesal tak pernah mendengarkan apa kata ibunya. Atau sekadar menemaninya pergi ke pasar jika dirinya libur sekolah.

“Bu, kalau misalnya Laras menikah terus diselingkuhi, ibu bakalan gimana?” tanya Laras.

Ibunya langsung membalikkan tubuhnya. Mengacungi pisau pada Laras.

“Memangnya siapa yang mau nyelingkuhin anak ibu? Coba siapa yang berani? Adhi? Sini, bawa sini, biar ibu sunat sekali lagi.”

Laras tertawa. “Kan kalau udah nikah, Bu.”

“Ya, kalau begitu kamu jangan nyari suami yang suka selingkuh. Kayak bapak kamu tuh, setia sama ibu,” katanya dengan bangga.

“Gitu ya, Bu.”

“Pernikahan cuma sekali seumur hidup Ras, kalau kamu menemukan orang yang salah, kamu yang menderita.”

Hening.

“Tapi kenapa kamu tiba-tiba ngomongin pernikahan? Kamu nggak hamil, kan Ras?” tuduh ibunya mendadak.

“Nggak Bu. Hamil sama siapa? Kambing?”

Ibunya mendelik pada Laras. “Pokoknya, jaga harga diri dan kesucian kamu ya, Ras. Ibu percaya sama kamu.”

“Bu, seneng nggak kalau punya cucu laki-laki?” tanya Laras, membayangkan bagaimana jika Abhi bisa bertemu ibunya ketika dewasa, pasti ibunya sangat senang.

“Kok tiba-tiba bahas masalah cucu, tuh kan? Jangan aneh aneh lho, Ras!”

“Nggak Bu. Laras nggak hamil!”

**

Telepon rumah Laras berdering, dia masih terkejut dengan suara telepon itu karena sudah lama tidak mendengarnya. Tak lama, pembantu rumah Laras muncul dari balik pintu dan mengatakan jika Widuri menelponnya.

“Katanya cepet Non, di wartel lagi banyak yang antre,” kata pembantu Laras.

“Iya, Bi.”

Laras duduk di sofa tunggal dekat pesawat telepon. Dia menyapa Widuri dengan santai.

“Ras, kak Tian digebukin sama Adhi, tau belum?” tanya Widuri panik.

“Kak Tian? Kamu kok bisa tau?”

“Ya kan tetanggaku kakak kelas kita temen kak Tian.”

“Terus katanya Adhi yang gebukin?”

“Iya pas di halte, Adhi sempet dibawa ke kantor polisi katanya. Tapi damai, soalnya ibunya Adhi ngasih kompensasi sama orangtuanya kak Tian.”

Laras masih mencerna ucapan Widuri. Jika Adhi memukuli Tian, maka itu artinya kejadiannya saat makan siang tadi.

Laras tak langsung tahu kabar tersebut karena dia tidak memiliki ponsel.

“Kamu tau nomor rumahnya kak Tian nggak, Wid?”

“Nggak tau lah, eh udah ya. Udah mau habis dua ribu nih, aku cuma bawa duit dua ribu aja soalnya. Bye.”

Telepon ditutup, Laras mengamati telepon rumahnya dengan gamang. Padahal masih banyak yang ingin dia tanyakan pada Widuri, tapi sepertinya tak bisa.

Rumah Widuri ke rumahnya jaraknya lumayan jauh.

“Bu, aku ke rumah Widuri ya?” tanya Laras pada ibunya yang sedang menonton tv di ruang tamu.

“Udah jam delapan, Ras. Besok kan ketemu di sekolah. Besok aja ya.”

Laras melirik jam dindin di depan kamarnya. Benar juga sudah jam delapan. Dia tidak bisa asal pergi karena tak ada ojek online sekarang. Jangankan ojek online, supir di rumahnya saja tidak ada.

Dan akhirnya Laras pun menurut apa kata ibunya dan semalaman kepikiran dengan kondisi Tian. Karena dirinyalah penyebab Tian dipukuli oleh Adhi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status