Laras masih berpikir bahwa apa yang dia alami adalah sebuah mimpi. Ya, dia pasti sedang bermimpi. Mungkin apa yang dia lihat tadi adalah sebuah mimpi karena ingin melarikan diri dari rasa sakitnya.
“Ras? Kamu nggak pulang?” tanya Widuri. “Apa nunggu dijemput sama Adhi?”Mendengar nama lelaki itu saja sudah membuatnya marah, apalagi jika harus bertemu dengan Adhi! Laras tak akan sudi!“Dijemput Adhi?”Widuri memandang Laras aneh, dia berjalan kembali masuk ke kelas kemudian menempelkan punggung tangan di dahi Laras.“Nggak panas padahal, kamu ilang ingatan apa gimana? Kan tadi pagi kamu bilang sendiri kalau siang ini mau dijemput sama Adhi.”Laras tersenyum dengan canggung. Kejadian sudah berlalu begitu lama. Dua puluh tiga tahun yang lalu, jadi mana mungkin dia mengingat persis bagaimana kejadian yang terjadi hari ini.“Kalau begitu aku duluan aja deh!” Laras mengambil tas ranselnya, dia berlari mendahului Widuri yang masih melihatnya dengan aneh.Di halaman sekolah, dia melihat para murid sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Kebanyakan dari mereka menunggu bus di halte yang tak jauh dari sekolah.Ada beberapa yang dijemput oleh pacar atau ayah mereka.Langkah Laras terhenti, dia tak sengaja melihat bayangan Adhi baru saja sampai dengan motornya. Motor NSR 150, motor kebanggan Adhi yang membuatnya merasa seperti seorang pangeran.Laras bersembunyi di antara murid-murid yang lain, menghindari agar tidak bertemu dengan lelaki itu dan pulang bersamanya.Padahal waktu masih remaja, dia paling suka dan bangga jika Adhi menjemputnya. Tak hanya terlihat wah, Adhi juga tampan dan keren. Dan mungkin itu adalah salah satu kesalahannya waktu itu.“Maaf, maaf, permisi,” kata Laras pelan sambil membungkuk dan bersembunyi dari balik murid yang berjubelan.Tubuhnya terasa ringan dan dia tidak merasakan sakit pada pinggangnya. Dia baru saja menyadari jika tak hanya wajahnya yang kembali muda, tapi kesehatan dan staminanya juga kembali seperti masih remaja.DUG!Kepala Laras menubruk punggung seseorang. Bau keringat menggelitik hidungnya, membuatnya tak bisa untuk tidak melihat siapa yang dia tabrak.Baru saja Laras hendak mengomel pada lelaki yang di depannya. Tapi mulutnya terkunci ketika lelaki itu hendak menyemprotnya karena sudah menabrak dirinya.“Untung aja,” kata Laras lega, dia berhasil menghindar.Matanya menangkap bayangan Adhi lagi, tapi kali ini Adhi melihat dirinya dan melambaikan tangan ke arahnya.“Ras! Aku di sini!”“Mau di situ mau di hutan, aku nggak peduli,” gerutu Laras. Bayangan menjijikkan Adhi dengan Adis seolah baru saja terjadi.Dengan susah payah Laras melipir, mencari celah di antara murid yang sedang bergerombolan berjalan menunggu bus. Hingga sebuah tangan menarik tas gendongnya dari belakang.“Ras! Mau ke mana?” tanya seseorang. Laras menoleh lalu mengernyitkan keningnya.“Tadi aku ke perpus, tapi kamu tidur.”Oh, dia Tian, bisa-bisanya aku lupa sama dia.“Oh… ya?” balas Laras dengan canggung.“Mau naik bus?”Laras langsung mengangguk cepat.“Ya udah bareng sama aku,” kata Tian. “Tapi jemputan kamu udah nunggu kamu di sana tadi.” Tian menunjuk ke arah Adhi di mana wajahnya kali ini sudah suram karena melihat dirinya sedang berbicara dengan Tian.Adhi si lelaki pencemburu, dia yang tak suka jika Laras dekat dengan lelaki lain meskipun teman sekelasnya, Laras pikir dulu karena Adhi mencintainya. Tapi jika dipikir lagi, cemburu Adhi bukan karena cinta, melainkan hanya tak mau dikalahkan oleh lelaki lain yang berada di bawah levelnya.“Naik bus aja deh, Ka kk,” kata Laras agak canggung, karena meski bagaimanapun juga lelaki di depannya itu seusia Abhi. Dan rasanya sangat aneh.“Oh ya udah. Yuk, busnya udah datang,” kata Tian. Bus berwarna biru, kecil dan muat dengan 32 penumpang itu berhenti di depannya.Padahal bus sudah penuh berjubel murid dari SMA lain, tapi si supir masih ingin mengangkut lebih banyak penumpang lagi.“Tapi penuh Ras, mau nunggu bus berikutnya aja?”“NGGAK!” sambar Laras yang panik. Ia tak bermaksud ingin meninggikan suaranya pada Tian. Hingga membuat lelaki itu sedikit terkejut kemudian tersenyum.“Oh ya udah, kamu naik dulu. Aku di belakang kamu,” kata Tian. Dia berjalan di depan Laras dan memberikan jalan agar perempuan itu bisa masuk ke dalam bus.Laras tentu saja tidak mendapatkan kursi, dia berdiri dengan tas gendong dia letakkan di depan dadanya. Sementara itu Tian berdiri di belakangnya.“Pegang ini, nanti kamu jatuh,” kata Tian.“Oh ya.” Laras melepaskan satu tangannya dan memegang kursi bus. Dia begitu aneh dengan suasana yang dia alami saat ini. Semasa SMA dia tidak pernah naik angkutan umum, karena biasanya dia akan dijemput oleh Adhi atau jika tidak dia akan dijemput oleh supir ayahnya.“Kok nggak mau dijemput sama cowok kamu?” tanya Tian membuka suara.Laras yang sejak tadi menahan napasnya karena mencium bau durian akhirnya melepaskannya perlahan.“Nggak apa-apa, lagi mau naik bus aja,” jawabnya.Aku nggak kelihatan kayak ibu-ibu kan ngomongnya? Dulu aku ngomong pas remaja gimana ya?“Oh… kirain lagi berantem.”Laras hanya tersenyum. Bus yang berjalan begitu lambat membuatnya dapat melihat Adhi yang sedang menyusulnya. Motornya sudah sampai di samping bus. Dengan pandangan yang tajam dia menatap Laras dan memberikannya kode agar turun dari bus.“Ternyata sifat asli kamu begini kalau aku nggak nurut sama kamu,” gumam Laras. Dia membalas menatap tajam Adhi.“Kak… bisa anterin aku… pulang?” tanya Laras. Dia yakin Adhi akan menunggu di rumahnya setelah tahu dia pulang dengan lelaki lain.Tian tersenyum. “Boleh.”Tahun 2007 – Hari Pertama Laras di SMAMatahari siang menyengat, membakar lapangan sekolah yang luas. Sekelompok siswa baru berdiri berjejer di tengah lapangan, wajah mereka memerah karena malu dan kepanasan. Mereka dihukum karena datang terlambat di hari pertama sekolah.Di antara mereka, seorang gadis berdiri dengan kepala tegak, meskipun keringat menetes di pelipisnya. Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda, seragam putih abu-abunya sedikit kusut karena terburu-buru.Laras. Di tangga lantai dua gedung sekolah, seorang siswa kelas dua menyandarkan tubuhnya ke pagar besi, memperhatikan pemandangan di bawah dengan senyum tipis.Tian.Ia menyilangkan tangan di dadanya, matanya terpaku pada sosok gadis yang berdiri paling tegak di tengah lapangan. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu pada gadis itu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.“Oi, kamu senyum-senyum sendiri kenapa?” suara Dani, teman sekelasnya, memecah lamunannya.Tian tetap tidak menjawab, masih memandangi gadi
Laras berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan kebaya putih yang sederhana namun elegan. Rambutnya disanggul rapi, dihiasi selipan melati kecil yang harum. Wajahnya terlihat tenang, tetapi hatinya berdebar kencang.Hari ini adalah hari pernikahannya.Ia mengangkat tangannya, meraba dadanya yang bergetar pelan. Setelah semua yang terjadi, setelah luka dan kehilangan, ia akhirnya menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya tetapi juga menerimanya apa adanya.“Laras.”Ia menoleh dan melihat Abi berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan formal yang membuatnya terlihat lebih dewasa dari usianya.“Ibu sudah siap?” tanyanya lembut.Laras tersenyum, melangkah mendekat, lalu membetulkan kerah kemeja putranya. “Ibu siap.”Abi menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. “Ayo.”Laras mengulurkan tangannya, dan Abi menggenggamnya erat, mengantarnya keluar menuju halaman belakang vila kecil yang mereka sewa untuk acara ini.Pernikahan ini bukan pesta besar dengan ra
Adhi duduk di kursi terdakwa dengan tubuh kaku, tangannya terkepal di atas meja. Wajahnya tampak lebih tirus dari sebelumnya, dengan lingkaran hitam di bawah matanya, pertanda malam-malam tanpa tidur yang ia lalui selama sidang berlangsung. Hari ini, putusan akan dijatuhkan.Ruangan sidang dipenuhi oleh pengunjung. Beberapa adalah wartawan yang siap mengabadikan momen kejatuhan seorang pria yang dulu begitu berkuasa. Sebagian lagi adalah orang-orang yang mengenal Adhi dan ingin melihat akhirnya.Di barisan kursi pengunjung, Laras duduk dengan punggung tegak. Ia mencoba tampak tenang, tetapi jemarinya yang saling meremas menunjukkan kegelisahannya. Di sebelahnya, Tian duduk dengan ekspresi profesional, tetapi tatapan matanya penuh kewaspadaan. Di sisi lain, Abi duduk dengan bahu tegap, tatapannya lurus ke depan. Ia tidak menghindar dari kenyataan.Hakim mengetukkan palunya, membuat seluruh ruangan terdiam.“Berdasarkan bukti yang telah diajukan serta kesaksian yang diberikan, pengadila
Bab 30. Adhi yang Puas, Lalu MurkaAdhi duduk di ruangannya, menyesap kopi dengan santai sambil membaca berita tentang kebakaran rumah Laras. Senyum penuh kepuasan terukir di wajahnya."Laras, lihatlah... Kamu kehilangan segalanya. Sekarang, kamu pasti menyesal meninggalkan aku," pikirnya puas.Baginya, ini adalah balasan atas semua rasa sakit dan penghinaan yang telah Laras berikan padanya. Kehilangan rumah akan membuatnya terpuruk, dan pada akhirnya, Laras akan kembali padanya dengan wajah penuh penyesalan.Namun, kebanggaan itu lenyap seketika ketika sekretarisnya masuk dengan wajah ragu.“Tuan… Saya baru saja mendengar kabar bahwa… Bu Laras tidak mencari rumah lain.”Adhi mengangkat alis. “Apa maksudmu?”Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab, “Dia tinggal di rumahnya Pak Tian.”Cangkir di tangan Adhi langsung hancur di genggamannya. Kopi panas tumpah ke meja, tapi ia tak peduli.“Apa?” suaranya terdengar berbahaya.Sekretaris itu mundur sedikit, takut dengan ekspresi penuh
Enam Bulan KemudianRestoran kecil di sudut kota itu dipenuhi cahaya lampu yang hangat, menciptakan suasana nyaman di tengah udara malam yang mulai mendingin. Di salah satu meja dekat jendela, tiga orang duduk bersama—Abi, Laras, dan Tian.Abi menyendok makanannya dengan santai, sesekali melirik ke arah ibunya dan Tian yang duduk di seberangnya. Laras tampak lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu, sementara Tian terlihat nyaman berada di sana, meskipun tetap menjaga sikapnya.Setelah beberapa suapan, Abi meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ekspresi serius.“Bu,” panggilnya, suaranya tenang tapi penuh makna.Laras menoleh. “Ya?”Abi menghela napas pelan sebelum melanjutkan, “Aku nggak masalah kalau Ibu mau menikah lagi.”Laras terkejut. “Abi…”“Aku tahu,” Abi tersenyum tipis. “Aku tahu Ibu nggak pernah bahagia sama Ayah. Jadi kalau sekarang ada kesempatan buat Ibu bahagia, aku nggak akan menahan Ibu.”Laras terdiam, menatap putranya dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ters
Satu minggu kemudian. Tempat Rehabilitasi Remaja, Sore HariTian melangkah memasuki area rehabilitasi dengan perasaan campur aduk. Bangunan sederhana dengan halaman luas itu dikelilingi pagar tinggi, tapi suasana di dalamnya terasa lebih tenang dibandingkan penjara. Udara sore yang sejuk tidak bisa meredakan ketegangan dalam dadanya.Di taman belakang, di bawah pohon rindang, Tian akhirnya menemukan Abi duduk di bangku kayu. Pemuda itu mengenakan kaus putih polos dengan jaket tipis, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke kejauhan.Tian menarik napas panjang sebelum berjalan mendekat. “Abi…” panggilnya pelan.Abi menoleh, ekspresinya datar, tapi sorot matanya menyiratkan ketegangan. “Ngapain ke sini?”Tian mengusap tengkuknya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku mau minta maaf.”Abi mendengus kecil. “Buat apa? Kamu nggak salah apa-apa.”Tian menghela napas. “Aku… juga baru tahu kalau kamu anakku beberapa waktu yang lalu. Waktu aku bertemu ibumu di biro huku
Kafe, Senja MenjelangTian mengaduk kopinya perlahan, menatap cairan hitam itu sebelum akhirnya berkata, "Aku belum menikah."Laras sedikit tersentak, menoleh ke arahnya. "Belum?"Tian mengangguk. "Sejak dulu, aku terlalu sibuk membangun karier. Aku harus jadi orang yang hebat, Laras. Aku nggak mau diremehkan. Aku nggak mau dianggap cuma anak muda yang nggak bisa apa-apa." Ia terkekeh pendek, ada getir dalam suaranya. "Sampai-sampai aku lupa mencari kekasih."Entah mengapa, Laras merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sebuah perasaan yang tak ingin ia akui—kelegaan.Tian belum menikah.Ada jeda hening di antara mereka. Laras menggigit bibirnya, menatap jalanan di luar jendela kafe. Ia tak boleh berpikir macam-macam. Keadaan terlalu rumit sekarang."Sudah malam," Tian tiba-tiba berkata. "Aku antar kamu pulang."Laras menoleh, sedikit ragu. "Kamu nggak sibuk?"Tian tersenyum samar. "Aku selalu punya waktu untuk hal yang penting."Di dalam mobil... Perjalanan pulang terasa tenang. Lara
Tian melangkah masuk ke ruang kunjungan tahanan dengan ekspresi tenang. Di depannya, Abi duduk di balik meja besi, tangannya terborgol, sorot matanya penuh kebencian.Laras duduk di samping putranya, menggenggam tangan Abi dengan erat. Ia menoleh pada Tian, seolah meminta kepastian bahwa pria itu benar-benar bisa membebaskan putranya.Tian menarik kursi dan duduk di seberang mereka. Ia membuka mapnya, mengeluarkan beberapa dokumen. “Aku butuh kamu cerita dari awal. Apa yang terjadi malam itu?”Abi menatap Tian tajam. “Siapa Anda?”Tian menutup mapnya perlahan, lalu menatap langsung ke mata Abi. Ada sesuatu dalam tatapan itu—sebuah ketegangan yang aneh. Sejak pertama melihat anak itu, ada perasaan tak biasa yang menusuk dadanya.“Aku pengacara yang akan membelamu,” jawab Tian profesional.Abi mendengus, bersandar di kursinya dengan wajah sinis. “Jadi Ibu menyewa pengacara?”Laras menepuk tangan Abi, berusaha menenangkan. “Abi, dia pengacara terbaik. Percayalah.”Tian masih memperhatika
Laras menggenggam tasnya erat, mengikuti langkah Widya yang berjalan cepat di depannya. Hatinya masih bergejolak, tapi ia memaksakan diri untuk tetap fokus. Ia harus menemukan pengacara yang bisa membantunya.“Kita hampir sampai,” kata Widya tanpa menoleh.Laras mengangguk. “Biro jasa hukum ini… beneran bisa dipercaya, kan?”Widya berhenti sejenak, menatapnya dengan serius. “Laras, ini bukan tempat sembarangan. Mereka menangani kasus-kasus besar. Aku yakin mereka bisa bantu kamu.”Laras menarik napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. “Oke.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung kantor yang modern dan elegan. Resepsionis menyambut mereka dengan senyum ramah.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?”Widya mendekat. “Kami ingin bertemu dengan salah satu pengacara terbaik di sini. Ada janji dengan Pak Tian.”Laras mengernyit. Nama itu terdengar familiar, tapi pikirannya masih terlalu kacau untuk menyadarinya.“Silakan ke ruang 302. Beliau sudah menunggu,” kata resepsionis itu.Widya