"M-maaf, aku cuma lewat. Aku gak denger apa-apa kok," ujar Eira cepat. Karena terkejut, dia bahkan tak bisa mengendalikan dirinya hingga suaranya sedikit terbata.
Aryan menelisik wajah panik Eira. Bahkan tanpa Eira menyangkal pun, dia tahu betul jika gadis itu sudah mendengar semuanya. Namun, alih-alih menegur, Aryan lebih memilih segera berlalu, meninggalkan Eira begitu saja dengan rasa bersalahnya.'Ish, ngapain sih kamu tuh jadi orang kepo banget, Ira-Ira.' Eira menggeleng lemah sambil terus menyesali perbuatannya yang tak bisa menahan rasa keingin tahuannya.Ya, dia memang tak sengaja mendengar perbincangan Aryan dan kedua orang tuanya ketika berjalan melewati kamar Maheswari dan Dedrik, karena pintu kamar yang sedikit terbuka. Tak kuasa menahan rasa penasaran, Eira malah berhenti dan menguping. Namun, kini dia berasa menyesal karena sudah bersikap lancang.***Setelah sarapan bersama, Aryan dan Eira berpamitan untuk kembali ke rutinitas masi"Kamu gak papa?" Aryan segera berjalan menghampiri Eira. Dia mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Asih. Namun, dirinya tak juga menemukannya. "Ra?" Aryan harus sedikit menggoyangkan tubuh Eira agar gadis itu menyadari keberadaannya. "Bapak-" Bibir bergetar Eira bergumam lirih. Matanya perlahan bergulir hingga kini tepat menatap wajah Aryan. "Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?" tanya Aryan sambil meneliti tubuh Eira, memastikan jika gadis itu tidak memiliki luka sedikit pun. Namun, kekacauan yang dibuat Asih masih membuatnya khawatir, apa lagi dia tidak tahu di mana wanita itu berada. "Di mana Tante Asih?" Eira hanya menggeleng sebagai jawaban, tetapi matanya kembali mengedar menatap sekitar, lalu bergumam sangat lirih. "Sudah pergi." Aryan menghembuskan napas lega. Walau kini matanya menyipit melihat ada darah di kaki Eira, sepertinya terkena pecahan kaca. "Kamu terluka." Perlahan Aryan memapah tubuh Eira un
Aryan berjalan cepat memasuki retoran tempat Maheswari dan Eira berada, dia langsung bergegas datang setelah menyelesaikan rapatnya. Sungguh, akibat keputusan ibunya yang akan langsung melamar Eira, dia sama sekali tidak bisa fokus dalam mengerjakan pekerjaannya.Semua ini terjadi karena kabar kedatangan Asih ke apartemennya yang telah sampai pada kedua orang tuanya, kini mereka mendesaknya untuk segera menikah. Padahal Aryan sudah berusaha sebaik mungkin menutupi kekacauan yang dibuat Asih. Namun, tampaknya kedua orang tuanya memiliki banyak mata yang mengawasinya di mana pun dia berada.Aryan berdiri di pintu masuk restoran sambil menetralkan napasnya yang terasa memburu. Jantungnya berdebar tak menentu entah karena apa. Pandangannya dia edarkan ke seluruh sudut, mencari keberadaan Maheswari dan Eira. Lalu, meneruskan langkahnya kala matanya telah menemukan dua orang yang dirinya cari."Ibu," sapa Aryan sambil duduk di samping Eira."Nah, kebert
"Bibi," sapa Eira begitu dia berdiri di depan Wati. Diam-diam dia melirik wanita paruh baya yang selalu bersikap arogan di depannya. Walau begitu, Eira masih berharap jika bibinya akan berubah pikiran dan kembali menerima dirinya dan Gilang sebagai keluarga. "Duduk!" titah Wati sambil menunjuk kursi di depannya menggunakan dagu.Eira mengangguk lalu duduk. "Kenapa kita bertemu di sini, Bi? Apa Bibi gak mau lihat Kak Gilang?" Wati tersenyum sinis. "Kamu pikir aku ke sini untuk menjenguk mayat hidup sepertinya? Jangan harap." "Bibi!" Tanpa sadar, Eira meninggikan suaranya. Dia tak terima jika Gilang disebut sebagai mayat hidup. "Kakakku masih hidup dan sebentar lagi dia akan sadar, tolong ingat itu, Bi!""Benarkah? Lihat saja nanti, sampai kapan dia akan bertahan dan kamu bisa mendapatkan uang untuk membiayainya," ejek Wati sambil terkekeh sinis. Eira mengepalkan tangannya, kini dirinya mulai menyesal karena telah menemui wanita jahat itu dan masih mengharapkan kebaikannya. "Kalau Bi
"Bu-bulan madu?" Eira menatap bingung Aryan dan Maheswari secara bergantian. Bukankah ini hanya sebuah pernikahan palsu, tetapi kenapa harus ada bulan madu? Bagaimana dengan pekerjaanya, terlebih dia juga masih harus mengurus Gilang."Iya, sayang. Ini adalah tiket bulan madu selama sebulan."Eira semakin terkejut kala mendengar waktu bulan madu yang sangat panjang. "Ta-tapi, Bu-" Eira semakin merasa prustasi ketika melihat Aryan yang diam saja. Jelas-jelas acara ini tidak ada dalam perjanjian, dia tidak akan mau jika harus meninggalkan Gilang dalam waktu yang lama."Terima kasih untuk hadiahnya, Bu, Papah. Tapi, apa kita bisa membicarakan semua ini nanti saja," pinta Aryan yang akhirnya membuka suara."Baiklah. Tapi, keberangkatan kalian besok pagi, jadi jangan sampai terlambat ya." Maheswari mengelus pelan pundak Eira sambil tersenyum lembut.Eira hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia bahkan sudah tidak berselera lagi unt
Aryan berdiri di bawah dinginnya tetes air shower yang terus membasahi tubuhnya. Menyugar rambut basahanya, dia mendongak membiarkan wajahnya langsung terkena air sambil terus mengatur napasnya yang masih memburu. Aryan merutuki dirinya sendiri yang hampir saja terbawa oleh amarah bayangan masa lalu. Untung saja asistennnya tiba-tiba menelepon hingga getar ponsel di sakunya mampu menyadarkannya dan mencegahnya melakukan hal yang terkutuk pada Eira.Inilah salah satu alasan dia tidak lagi mau berhubungan dengan mahluk yang bernama perempuan. Dia bahkan belum dapat melupakan bagaimana sakitnya dikhianti oleh kepolosan dan kelembutan yang ternyata menyembunyikan beribu duri dan racun yang sangat mematikan. Bukan hanya dirinya, tetapi juga keluarganya yang hancur. Cukup lama Aryan berada di sana, berteman dengan dinginnya air dan rasa benci akan ketidakberdayaannya. Lelaki itu baru saja ke luar setelah merasa lebih tenang. Matanya sempat menangkap Eira yang masih terl
Eira membeku dengan lidah yang terasa kelu Napasnya bahkan tertahan karena gerakan spontan Aryan. "I-iya, Pak...." Eira mencoba menjawab dengan susah payah setelah beberapa saat. Namun, ternyata Aryan malah kembali menutup matanya dan tertidur dengan wajah tenangnya. 'Apa dia sudah tidur lagi?' Eira menyipitkan matanya, memastikan jika lelaki itu memang hanya mengigau dengan cara mengibaskan tangannya di depan wajah Aryan. "Hah, ngagetin aja. Aku kira dia bangun beneran," gumam Eira yang kini merasa lega, walau tangannya masih terjebak di genggam lelaki itu. Akhirnya, Eira memilih pasrah, dia duduk di lantai sambil bersandar di sisi ranjang. Berada dalam posisi yang sama dengan waktu yang cukup lama, membuat Eira mulai merasa bosan hingga kembali mengantuk. Tanpa sadar kelopak matanya terasa berat dan akhirnya tertutup bersamaan dengan kesadarannya yang menghilang. Eira tertidur.***Eira membuka matanya kala sinar matahir me
"Jadi mereka semua ada di pihak Ibu dan Papah?" tanya Eira, setelah dia mendengar penjelasan Aryan tentang semua pekerja yang ada di rumah itu.Eira menghembuskan napas kasar ketika matanya melihat anggukkan Aryan. "Jadi, sekarang kita harus tidur di satu kamar yang sama?" Aryan kembali mengangguk. "Bagaimana ini," keluh Eira, merutuki keputusannya yang lebih memilih rumah ini daripada berbulan madu.Aryan sempat memeperhatikan Eira yang kini tampak lebih prustasi dibanding dirinya. Sepertinya gadis itu baru mengetahui jika hidup di rumah ini, mungkin akan terasa sama seperti terpenjara, karena mereka tidak akan bisa bebas di depan para pekerja kedua orang tuanya. Merasa tak ada lagi yang harus dibicarakan, Aryan beranjak berdiri bersamaan dengan dering ponsel di sakunya. Setelah melihat nama siapa yang tertera di layar, dia segera melangkahkan kakinya dan masuk ke salah satu ruangan yang ada di sana.Sementara itu, Eira hanya melirik k
"Astaga!" Aryan segera membalik tubuhnya hingga kini memunggungi Eira yang bahkan sudah masuk kembali ke kamar mandi. Walau ini bukan pertama kalinya Aryan melihat tubuh wanita, tetapi entah mengapa terasa berbeda ketika itu Eira. "Bapak ngapain masuk ke sini? Bapak mau ngintipin aku mandi ya?!" teriak Eira dari dalam kamar mandi. Dia menyandarkan tubuhnya di balik pintu sambil memegangi dadanya yang terasa sesak akibat debar jantung yang meningkat lebih cepat dalam waktu singkat."Maaf, saya tidak bermaksud." Aryan berujar, masih sambil membelakangi pintu kamar mandi. "Saya kira kamu masih di kamar mandi....""Gak usah banyak alasan! Tetep aja, Bapak gak sopan karena udah masuk ke sini padahal aku lagi mandi!" Teriakan Eira kembali terdengar.Aryan mulai bingung, akibat terkejut dia bahkan sampai melupakan niat awal dirinya masuk ke ruang walk in closet, hingga dering ponsel milik Eira yang berada dalam genggamannya kembali terdengar."