Share

Perjanjian Cinta Sang Pewaris
Perjanjian Cinta Sang Pewaris
Penulis: Selly Aurelline

Citra Sang Pewaris

Penulis: Selly Aurelline
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-19 16:03:43

Kilatan kamera menyambar ke segala arah begitu pintu hitam mobil mewah itu terbuka. Seorang pria tinggi dengan setelan abu-abu gelap turun dengan ekspresi datar. Wajahnya tirus, tegas, dengan sorot mata tajam seperti elang yang terluka. Dialah Lucian Raveheart, pewaris tunggal Raveheart Corporation, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang investasi, real estate, dan teknologi canggih.

Sayangnya, hari itu bukan untuk merayakan keberhasilan.

“Lucian! Benarkah pertunangan Anda dibatalkan?”

“Apakah Selena memutuskan Anda karena skandal internal perusahaan?”

"Bagaimana tanggapan Anda soal saham Raveheart Corp yang anjlok pagi ini?”

Pertanyaan para wartawan meluncur cepat, penuh desakan dan spekulasi. Lucian berjalan lurus, tak menoleh, hanya dikawal oleh dua bodyguard andalan. Tapi wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bukan karena gosip itu tidak menyakitkan tapi karena ia tidak pernah membiarkan hidupnya diatur oleh siapa pun, termasuk tunangannya sendiri.

Selena Vallerine, sang mantan tunangan, pergi dua malam lalu. Tanpa peringatan. Tanpa penjelasan. Yang tertinggal hanyalah gaun pernikahan yang belum sempat dikenakan dan secarik surat yang mengatakan: "Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin hidup dalam bayangan keluargamu."

Surat yang terlalu dangkal untuk luka sedalam ini.

---

Di ruang rapat utama Raveheart Corp, para dewan direksi duduk dengan wajah gelisah. Sorotan media menjadi ancaman bagi reputasi mereka, dan tak seorang pun berani menatap mata Lucian yang dingin itu.

“Nama baik keluarga Raveheart dipertaruhkan,” ucap pria tua berambut perak di ujung meja. Dialah Alaric Raveheart, ayah Lucian sekaligus pendiri perusahaan.

“Pertunangan yang dibatalkan hanya membuat kita terlihat rapuh. Pasar tidak peduli alasan personal. Mereka hanya peduli stabilitas.”

Lucian menyandarkan punggungnya, tenang, namun aura mengancamnya menekan ruangan seperti kabut tebal. “Jadi kalian ingin solusi instan?”

“Pernikahan kontrak,” jawab Alaric tanpa tedeng aling-aling. “Segera. Aku tidak peduli siapa. Yang penting wanita itu layak tampil di media dan mampu menenangkan investor.”

Lucian mengerutkan dahi. Wanita kontrak? Cinta yang dibeli? Kedengarannya menjijikkan. Tapi inilah harga yang harus dibayar demi kekuasaan dan kehormatan.

Tanpa sadar, pikirannya melayang pada pertemuan singkat dengan seorang perempuan bermata sendu dan bicara lembut di lorong rumah sakit dua malam lalu.

Gadis biasa yang berjuang sendiri membayar biaya rumah sakit ibunya. Ia tidak meminta apa-apa darinya. Tapi tatapan penuh harga diri itu—tak bisa dilupakan.

Apa dia bersedia menjual dirinya… demi orang yang ia cintai?

Lucian tersenyum tipis, seperti serigala yang menemukan celah mangsanya.

.............................................

Sore harinya...

Sorotan kamera terus memburu Lucian di lobi utama gedung Raveheart Corp. Wartawan melemparkan pertanyaan tajam tanpa jeda. Tentang tunangannya yang kabur. Tentang reputasinya yang kini retak. Tentang dewan direksi yang mulai goyah.

“Benarkah Anda dibatalkan sepihak, Tuan Lucian?”

“Bagaimana nasib merger dengan Valdevra Group?”

“Tuan Lucian, komentar Anda... "

Lucian mengatupkan rahang, wajah nya dingin. Matanya tak memancarkan emosi, tapi napasnya mengeras. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat cukup. Bodyguard segera menahan kerumunan. Ia melangkah masuk lift kaca, menyisakan bayangannya yang tertangkap lensa ribuan media.

Begitu pintu lift tertutup, wajah Lucian menegang. Sekretarisnya, Marvin, berdiri dengan ekspresi canggung.

“Pernikahan dengan Selena resmi dibatalkan. Ayahnya menuntut balik kita secara diam-diam. Saham anjlok 7% pagi ini.”

Lucian menatap bayangannya sendiri di dinding kaca lift. Lalu, mendadak pikirannya kembali ke waktu itu, dua minggu lalu.

---

Hari itu ia sedang menginspeksi proyek perluasan anak usaha Raveheart Corp, menyamar dalam setelan sederhana, menyingkir dari segala hiruk pikuk pusat kota. Ia berjalan melewati lorong rumah sakit umum tempat yayasannya memberikan donasi untuk perawatan pasien-pasien kanker stadium lanjut.

Dan di sanalah dia melihatnya.

Gadis itu berdiri di depan loket administrasi. Wajahnya pucat, rambutnya dikuncir seadanya, mata bengkak seolah habis menangis, tapi tetap tegak dengan suara gemetar menanyakan keringanan biaya perawatan untuk ibunya.

“Saya… saya akan bayar dalam seminggu. Saya akan cari cara,” katanya. “Mohon jangan hentikan pengobatannya.”

Lucian berdiri beberapa meter dari belakangnya. Ia tahu betul raut keputusasaan seperti itu. Bukan kepura-puraan. Bukan tangisan manja wanita sosialita. Itu ketulusan yang langka di dunia penuh kepalsuan ini.

Ia tidak tahu siapa nama wanita itu waktu itu. Tapi sorot mata pasrah namun kuat itu menyentaknya lebih dari apapun.

Saat gadis itu berbalik dan tanpa sengaja menabraknya, ia sempat melihat tatapan terkejut dan bingung.

“Maaf…” lirihnya.

Lalu gadis itu pergi begitu saja.

Tanpa tahu bahwa pria yang berdiri di sana adalah Lucian Raveheart, tuan muda perusahaan teknologi terbesar di negeri ini.

---

Pintu lift berbunyi. Kembali ke kenyataan.

Lucian melangkah keluar dan berkata tenang, “Siapkan kontrak pernikahan.”

Marvin mengangkat kepala, terkejut. “Dengan siapa, Tuan?”

Lucian memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan sorot tajam.

“Cari gadis itu. Gadis yang kita temui di rumah sakit dua minggu lalu. Aku ingin menikahinya. Kontrak. Selama satu tahun. Setelah itu ia akan bebas.”

---

Marvin menelan ludah, mencoba menangkap maksud tersembunyi dari perintah itu. “Gadis itu, Tuan? Tapi... kami bahkan tidak tahu siapa namanya.”

Lucian melangkah ke ruang kerjanya di lantai atas, dinding kaca membingkai panorama kota yang memudar di balik hujan. Ia membuka jasnya, menggantung sendiri di belakang kursi kerja, lalu duduk dengan tenang, menyatukan jari-jarinya di atas meja.

“Kau lihat CCTV rumah sakit hari itu, kan?” tanyanya datar.

Marvin mengangguk pelan. “Kami hanya menyimpannya sementara untuk laporan dokumentasi. Tapi bisa saya minta kembali.”

“Lakukan. Aku ingin identitas lengkapnya. Segera.”

Nada suara Lucian tak meninggi, tapi membawa beban tekanan yang membuat siapa pun tak berani membantah.

“Baik, Tuan.” Marvin pun segera keluar.

Begitu pintu tertutup, Lucian memejamkan mata dan membiarkan pikirannya kembali menelusuri kilasan pertemuan singkat itu. Sorot mata gadis itu yang seolah berbicara tanpa kata. Ia tak tahu mengapa, tapi wajah pucat yang tetap memohon demi ibunya itu terpatri jelas dalam ingatannya.

Bukan cinta. Bukan iba. Tapi ketertarikan terhadap sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang atau kekuasaan, sebuah ketulusan.

Lucian membuka matanya. Ia sudah kehilangan reputasi, nama baik keluarga dipertaruhkan, merger penting nyaris hancur, dan media haus darah menunggu kejatuhannya. Ia butuh alibi. Stabilitas. Dan seorang istri secepat mungkin.

Tapi ia tak mau sembarang wanita. Ia tak ingin seorang sosialita palsu yang menari di depan kamera dan menusuk di belakang.

Ia ingin... wanita itu. Wanita yang menangis tanpa suara, tapi berdiri tegak menghadapi dunia.

Dan bila harus menikah, maka ia akan memilih sendiri siapa wanita di sisinya. Bukan dari silsilah. Bukan dari daftar pewaris.

Ia akan membalik permainan.

---

Dua hari kemudian.

Marvin menaruh map cokelat di atas meja kerja Lucian. “Kami menemukannya. Namanya Lyanna Elvarisse. 24 tahun. Lulusan D3 Keperawatan, tapi tidak bekerja tetap. Ibunya sedang menjalani pengobatan kanker ovarium stadium 3.”

Lucian membuka map itu, menelusuri data dengan pandangan tajam. Ada foto. Dan ya itu dia. Gadis di rumah sakit. Tanpa riasan. Mata bengkak. Wajah lelah.

Ia menutup map dan berkata tenang, “Buat dia datang ke sini. Besok.”

Marvin tampak ragu. “Apa alasan yang harus saya pakai untuk...”

“Bayar utangnya di rumah sakit,” potong Lucian. “Berikan alasan bahwa yayasan kita ingin menawarkan bantuan lanjutan. Pastikan dia datang. Tapi... jangan sebut namaku.”

“Baik, Tuan.”

Lucian berdiri, memutar tubuh menghadap jendela kaca. Hujan turun semakin deras di luar.

Di dunia yang penuh kepalsuan, ia tak pernah tertarik pada pernikahan.

Tapi untuk yang satu ini...

Ia akan menulis aturannya sendiri.

_"Bersambung"_

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjanjian Cinta Sang Pewaris   Lucian Tak Pernah Kalah

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar apartemen mereka, jatuh tepat di wajah Lyanna yang baru saja terbangun. Pandangannya sempat kabur, tapi begitu melihat sosok Lucian berdiri di depan cermin dengan setelan formalnya, ia langsung terduduk di ranjang. Ada rasa bersalah yang menusuk dadanya. Lucian tampak begitu berwibawa, kemeja putihnya terpasang rapi, dan kini jemarinya sibuk mengikat simpul dasi berwarna gelap. Tatapannya singkat terpantul di cermin, menangkap wajah Lyanna yang masih terlihat letih. "Ada apa, Lyanna? Kenapa kau seperti gelisah?" suara Lucian terdengar tenang, namun tetap mengandung ketegasan khas dirinya. Lyanna menggenggam erat selimut, suaranya lirih. "Maafkan aku, Lucian… aku terlambat bangun. Harusnya aku bisa membantumu bersiap." Lucian menoleh sebentar, menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan, antara dingin dan hangat. "Tak apa, Lyanna. Aku tahu kau lelah, itu sebabnya aku tak membangunkanmu." Lyanna terdiam, dadanya berdeg

  • Perjanjian Cinta Sang Pewaris   Berubah Dingin

    Lyanna duduk di kamar apartemen nya, menatap layar televisi yang sebenarnya tak ia tonton. Pikirannya tak kunjung fokus. Sejak pesta semalam, sikap Lucian terasa berbeda, lebih dingin, lebih penuh amarah. “Kenapa dia berubah begitu cepat…?” gumamnya lirih. Tangannya meremas ujung gaun rumah yang ia kenakan. Evelyn datang sambil membawa secangkir teh hangat. “Nyonya muda, sebaiknya Anda beristirahat dulu. Wajah Anda terlihat lelah.” Lyanna tersenyum samar. “Terima kasih, Evelyn. Aku hanya… menunggu kabar dari Lucian. Dia bilang rapatnya bersama Orion Group akan selesai sore ini. Tapi…” Lyanna menunduk, menahan resah. Evelyn menatap tuannya dengan iba. “Tuan muda memang selalu sibuk. Tapi saya yakin, ia memikirkan Anda.” Lyanna menghela napas panjang, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Aku harap begitu…” Namun jauh di sana, tanpa ia ketahui, Lucian justru tengah berhadapan dengan sosok dari masa lalu yang bisa mengguncang seluruh kehidupannya. Di dalam lift, suasana tera

  • Perjanjian Cinta Sang Pewaris   Getaran Hati

    Musik lembut dari orkestra mulai mengalun, memenuhi ballroom yang dipenuhi cahaya lampu kristal. Para tamu undangan mulai menuju lantai dansa dengan pasangan mereka masing-masing. “Sekarang adalah saatnya untuk berdansa,” ucap pembawa acara dengan suara lantang namun elegan. Lucian otomatis mengulurkan tangannya pada Lyanna. Senyumnya dingin, namun tetap terjaga karena banyak mata yang memperhatikan. Dengan ragu, Lyanna menerima uluran tangan itu. Jemari mereka bertaut, dan tubuh Lyanna perlahan ditarik ke tengah lantai dansa. Semua pasang mata mengikuti setiap gerakan pewaris keluarga Raveheart dengan istrinya yang baru. Beberapa wanita bahkan berbisik iri, menatap Lyanna yang tampak anggun dalam balutan gaun putih gading yang membalut tubuh mungilnya. Lucian menundukkan sedikit wajahnya. “Ikuti langkahku,” bisiknya, nada suaranya kaku, seakan berdansa hanyalah kewajiban. Lyanna menahan napas, mencoba menyesuaikan diri. Awalnya canggung, namun perlahan tubuhnya mulai mengik

  • Perjanjian Cinta Sang Pewaris   Pertemuan di Pesta

    Malam ini adalah malam pesta anniversarry Alaric dan Marie Raveheart. Lampu kristal bergemerlap indah, musik lembut mengisi udara, dan para tamu undangan dari kalangan bangsawan serta pengusaha papan atas berdatangan dengan penuh wibawa. Lyanna muncul dari balik pintu ruang rias dengan anggun. Gaun berwarna emerald green membalut tubuh rampingnya, menonjolkan siluet indah sekaligus kesan elegan. Riasan wajah sederhana dengan sentuhan natural, serta rambut yang digelung rapi dengan beberapa helai anak rambut tergerai lembut di sisi wajah, membuat penampilannya begitu mempesona, anggun sekaligus memikat. Lucian yang sudah menunggu di ruangan itu, mengenakan setelan tuxedo hitam klasik dengan dasi kupu-kupu satin. Bahunya yang bidang dan postur tegak membuatnya tampak gagah dan berwibawa, seperti seorang pangeran modern. Sesaat matanya bertemu dengan Lyanna, langkah Lucian terhenti. Tatapan tajamnya yang biasanya dingin kini melembut, terpaku pada sosok istrinya. Senyum tipis ter

  • Perjanjian Cinta Sang Pewaris   Selena Kembali

    Marvin baru saja menerima instruksi dari Tuan Muda Lucian untuk menjemput Nyonya Muda Lyanna di mansion untuk menghadiri pesta anniversary Tuan Alaric dan Nyonya Marie Raveheart. Setelah memastikan detail persiapan, ia segera melangkah keluar dari mobil hitam yang terparkir di halaman depan. Namun, langkahnya mendadak terhenti. Dari kejauhan, di sisi jalan setapak yang dipenuhi bunga mawar, berdiri seorang wanita dengan rambut pirang panjang yang berkilau diterpa cahaya sore. Wajahnya begitu familiar, sebuah wajah yang pernah menghilang dari kehidupan keluarga Raveheart tepat sebelum hari pernikahan. Jantung Marvin berdegup lebih cepat. Ia berjalan tergesa, matanya tak lepas dari sosok itu, seakan tak percaya dengan dugaannya sendiri. Saat ia mendekat, wanita itu pun menoleh, menyunggingkan senyum tipis penuh intrik. Marvin tercekat. “Nona… Selena? Apa yang Anda lakukan di sini?” Selena Vallerine, wanita yang dulu hampir menjadi nyonya besar Raveheart itu menyilangkan tangan

  • Perjanjian Cinta Sang Pewaris   Fitting Gaun

    Hari ini adalah jadwal fitting busana untuk pesta anniversary ayah dan ibu Lucian, Alaric Raveheart dan Marie Raveheart, yang akan digelar lusa. Ruangan butik dipenuhi cahaya hangat, dan aroma parfum lembut menyelimuti udara. Lucian berjalan di sisi Lyanna, menatap setiap gerakannya dengan perhatian. Saat Lyanna mencoba membenarkan lipatan gaunnya, Lucian mencondongkan tubuh, mengusap lembut lipatan kain dengan jarinya. “Biarkan aku bantu,” ujarnya, suaranya hangat. “Kamu akan terlihat sempurna nanti.” Lyanna tersenyum, sedikit tersipu. “Lucian… kamu selalu terlalu perhatian.” “Kalau itu membuatmu nyaman, aku akan tetap begitu,” jawabnya sambil menunduk, matanya menatap Lyanna dengan lembut. Di sudut ruangan, terdengar bisik-bisik di antara karyawan butik. “Ternyata Tuan Muda Raveheart sangat romantis ya,” bisik seorang karyawan. “Kau benar… beruntung sekali Nyonya Muda Lyanna,” jawab yang lain, sambil tersenyum kecil. Para pengawal yang berdiri di dekat pintu pun tak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status