Hari ini, Lyanna menerima kabar yang mengubah seluruh ritme hidupnya. Seorang pria menelepon dari nomor tak dikenal.suaranya tenang, penuh wibawa, dan memperkenalkan dirinya sebagai Marvin Alexander.
"Aku mewakili seseorang yang bersedia menanggung seluruh biaya pengobatan ibumu hingga sembuh total, Nona Elvarisse," ucapnya. Lyanna terdiam. Setengah tak percaya, setengah khawatir. “Apa syaratnya?” tanyanya waspada. "Tak ada yang memberatkan. Nona hanya perlu datang ke sebuah apartemen sore nanti, dan berbicara langsung dengan orang yang bersedia membantu Anda.” Marvin kemudian mengirimkan alamat sebuah apartemen mewah di kawasan Westwood, Los Angeles. Lingkungan elit yang tak jauh dari pusat bisnis dan kampus UCLA, tempat orang-orang berdasi dan berdarah biru biasa tinggal. --- Sore harinya, dengan langkah gugup dan jantung yang berdebar tak menentu, Lyanna menaiki lift ke lantai 38. Gedung itu menjulang tinggi, penuh pantulan cahaya sore yang memeluk kaca-kaca luas bangunannya. Ding. Pintu lift terbuka. Ia berdiri sejenak di depan nomor apartemen yang disebut Marvin. Tangan kirinya menggenggam tali tas lusuh, sementara tangan kanannya terangkat untuk mengetuk. Namun, sebelum sempat ia menyentuh pintu, daun pintu terbuka perlahan dari dalam. Marvin berdiri di sana, masih dengan ekspresi serius yang tenang. "Silakan masuk, Nona Lyanna. Tuan muda sudah menunggu," ucapnya sambil memberi jalan. Langkah Lyanna terhenti beberapa meter dari pintu masuk saat matanya menangkap sosok tegap di balik dinding kaca raksasa, berdiri membelakangi mereka dan menghadap langit jingga Los Angeles. Pria itu hanya diam, tangannya berada di dalam saku celana. Wajahnya tak terlihat dari posisi Lyanna berdiri, namun siluetnya dengan postur tegas dan aura tak asing itu membuat napas Lyanna tercekat. “...Tuan muda Raveheart?” gumamnya tak percaya. Pria itu menoleh perlahan. Tatapannya tajam, maskulin, dan misterius. “Senang melihatmu lagi, Lyanna Elvarisse,” ucap Lucian Raveheart dengan senyum tipis yang menandakan bahwa pertemuan ini bukan kebetulan, melainkan rencana. Pria itu perlahan membalikkan badan, menampakkan wajah dingin dan sorot mata tajam yang tak asing bagi Lyanna. Setelan jas hitam sempurna membalut tubuhnya, rambutnya disisir rapi, dan aura berwibawa yang mengintimidasi langsung memenuhi ruangan. “Senang akhirnya kau datang, Lyanna Elvarisse,” ucap Lucian dengan nada datar namun penuh kendali. Lyanna menelan ludah. Ia tak menyangka pria yang dua minggu lalu membantunya di rumah sakit dan menghilang begitu saja, ternyata adalah Lucian Raveheart, pewaris tunggal Raveheart Corp, pria yang kini jadi bahan utama berita karena ditinggal tunangannya. “Apa maksud semua ini?” tanyanya pelan, Lyanna kemudian melangkah hati-hati masuk ke dalam apartemen. “Kenapa saya?” Lucian menatapnya sejenak, lalu memberi isyarat agar Marvin keluar. Pintu ditutup perlahan, menyisakan mereka berdua dalam keheningan. “Karena kau satu-satunya yang bisa menyelamatkanku saat ini,” jawab Lucian tanpa basa-basi. “Aku butuh istri kontrak. Dan aku ingin kamu.” “...Apa?” mata Lyanna membulat. Lucian berjalan mendekat, namun tetap menjaga jarak. “Pernikahan palsu. Berdurasi satu tahun. Aku akan menanggung semua biaya pengobatan ibumu. Sebagai gantinya, kau akan menjadi istri sah-ku di mata dunia.” “Ini gila...” gumam Lyanna. “Tidak lebih gila daripada rumor yang sedang menghancurkan perusahaanku sekarang,” Lucian membalas dingin. “Kau hanya perlu menandatangani kontrak, memainkan peran istri sempurna, dan ketika semua selesai, kau bebas pergi. Uang juga akan disediakan.” Lyanna menggigit bibirnya. Tawaran itu terlalu besar untuk ditolak… tapi juga terlalu berisiko untuk diterima. --- Sepeninggal Lucian dan Marvin yang mengizinkannya berpikir sendiri sejenak, Lyanna duduk di sofa empuk apartemen mewah itu. Ruangan itu terasa terlalu senyap, terlalu mahal, terlalu asing. Tangannya menggenggam kertas kontrak yang baru saja diberikan. Tinta emas bertuliskan “Perjanjian Pernikahan Sementara” menyilaukan matanya. “Apa aku sudah sebegitu terpojoknya?” bisiknya lirih. Ia memandangi foto ibunya yang selalu ia bawa dalam dompet. Wajah pucat sang ibu beberapa hari lalu di rumah sakit kembali terbayang. Nafas berat, suara lemah yang meminta maaf karena selalu menjadi beban, dan tagihan rumah sakit yang terus membengkak. Hatinya mencelos. Ia bukan hanya kelelahan secara fisik, tapi juga hampir menyerah secara batin. “Menikah dengan pria seperti Lucian Raveheart… bahkan jika hanya pura-pura, aku bisa mati berdiri,” desahnya. Ia ingat betul bagaimana sorot mata pria itu yang tajam, suaranya tenang namun menyeramkan, seolah dunia harus tunduk di bawah kehendaknya. Tapi… bukankah itu artinya dia juga bisa membuat dunia tunduk demi menyelamatkan ibunya? Lyanna menunduk dalam. Jika ia menerima tawaran ini, maka ia menyerahkan hidupnya selama satu tahun pada pria yang nyaris asing. Tapi jika ia menolak… ia tahu betul, waktu ibunya mungkin tidak sepanjang itu. Ia menatap kembali kertas kontrak, jari-jarinya gemetar. “Ma, maafin Lyanna… mungkin ini satu-satunya cara...” Suara pintu terbuka pelan. Marvin masuk membawa map lain dan berkata pelan, “Tuan Raveheart akan kembali dalam lima belas menit. Jika kau siap, dia ingin mendengar jawabanmu langsung.” Lyanna mengangguk pelan. Dalam hati, ia tahu, apa pun yang akan terjadi setelah ini, hidupnya tak akan pernah sama lagi. Suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu. Lyanna buru-buru berdiri, menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba berpacu cepat. Marvin yang membukakan pintu. Dan pria itu berdiri di ambang pintu seperti bayangan dari dunia lain, mengenakan kemeja hitam yang digulung di lengan, jas digantungkan di lengannya yang satu, dan sorot mata dingin yang tak berubah sejak mereka pertama bertemu. Lucian Raveheart. Langkahnya tenang, nyaris malas. Tapi aura mendominasi itu terasa memenuhi ruangan begitu ia masuk. "Jadi," ucapnya datar, tanpa basa-basi. Ia berdiri di hadapan Lyanna. “Kau sudah memikirkannya?” Lyanna mengangguk pelan. Ia menegakkan tubuhnya. Meski gemetar, ia berusaha menjaga agar suaranya tak bergetar. “Kalau saya setuju… ibu saya bisa dirawat di rumah sakit terbaik, dan seluruh biayanya ditanggung?” Lucian mengangkat satu alis. “Itu sudah bagian dari kesepakatan. Aku tidak akan mengulanginya.” Keheningan sempat menggantung. Lalu Lyanna menjawab, dengan suara pelan tapi tegas, “Saya setuju.” Lucian menatapnya lama. Tidak tersenyum, tidak juga bereaksi secara emosional. Tapi matanya menelanjangi keraguan di balik keteguhan Lyanna. Ia berjalan mendekat, berhenti hanya beberapa langkah darinya. “Sekali kau masuk ke dalam hidupku, Lyanna, tidak ada jalan kembali.” Nada suaranya nyaris seperti ancaman. “Saya tidak akan mundur… selama ibu saya baik-baik saja.” Lucian menghela napas singkat, lalu melirik Marvin. "Siapkan kontraknya. Bawa dia ke butik, urus semua yang diperlukan." Tatapannya kembali ke Lyanna. "Kau milikku mulai sekarang." Di hadapannya, berkas-berkas kontrak tersusun rapi di atas meja kaca. Tangan Lyanna gemetar saat ia meraih pena. Kontrak itu bukan hanya tentang uang, melainkan tentang dirinya, hidupnya, dan masa depannya. Tentang tubuh yang akan menjadi milik pria bernama Lucian Raveheart selama satu tahun ke depan. Lucian duduk bersandar santai, tetapi mata elangnya tak lepas dari gerakan Lyanna. “Kau bebas membaca semuanya. Atau langsung tandatangani, kalau sudah yakin,” ucapnya datar, dingin seperti biasanya. Lyanna menatap halaman-halaman kaku itu. Setiap pasal tertera jelas, gamblang, seperti merenggut harga dirinya selembar demi selembar. “Selama satu tahun, aku harus tinggal di sini. Menjadi pendamping Tuan Raveheart. Mengikuti aturan yang ditetapkan. Tidak terlibat hubungan dengan pria lain. Dan…” Ia menelan ludah. “…memenuhi semua kebutuhan dan perintah Tuan Raveheart.” Lucian hanya mengangguk kecil, seolah tak perlu menjelaskan ulang. Tangan Lyanna akhirnya bergerak. Tanda tangannya tercetak di akhir lembaran terakhir. Begitu tinta hitam itu mengering, ia tahu segalanya sudah berubah. “Selamat datang di dunia nyata, Nona Lyanna.” Suara Lucian terdengar sarkastik, tapi ada sesuatu dalam tatapannya, campuran rasa ingin tahu dan penilaian. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka. Seorang wanita paruh baya elegan masuk, mengenakan setelan modis berwarna gading. “Namaku Madame Elisse. Aku akan menangani penampilanmu mulai hari ini,” katanya sambil menatap Lyanna dari ujung kepala hingga kaki. Lyanna merasa gugup saat Elisse mengangguk tipis, lalu menyuruhnya ikut. Dalam hitungan menit, ia sudah berdiri di depan cermin raksasa di ruangan privat bergaya klasik Eropa. Gaun-gaun elegan digantung berjejer seperti milik bangsawan. “Tuan Raveheart menginginkanmu tampil... seperti seseorang yang layak berada di sisinya,” ujar Elisse. Makeup artist segera bekerja, merias wajah Lyanna tanpa kata. Rambutnya ditata, gaun lembut berwarna champagne dipakaikan ke tubuhnya, menggantikan sweter lusuh yang tadi ia kenakan. Saat semuanya selesai, Lyanna nyaris tak mengenali sosok di balik pantulan cermin. Wanita itu berdiri tegap, wajahnya memancarkan keteguhan namun matanya masih menyimpan luka. “Lucian tidak akan mempermainkanmu,” ucap Elisse pelan, seolah tahu apa yang Lyanna pikirkan. “Tapi ia juga tidak akan menyentuhmu... kecuali kau sendiri yang menyerahkan hatimu.” Lyanna memejamkan mata sebentar. Dalam satu hari, dunianya berubah. Ia telah menjual kebebasannya. Namun demi ibunya, ia akan bertahan. Ketika ia kembali ke ruang tamu, Lucian berdiri dari sofa. Tatapan pria itu menelusuri sosok Lyanna yang telah berubah, bukan lagi gadis sederhana, tapi wanita elegan yang tampak berbahaya dan menggoda. “Satu tahun dimulai hari ini,” ucap Lucian pelan, nadanya nyaris seperti janji. “Dan kau sekarang milikku, Lyanna. Secara hukum… dan sebentar lagi, secara utuh.” _"Bersambung"_Hari ini adalah jadwal fitting busana untuk pesta anniversary ayah dan ibu Lucian, Alaric Raveheart dan Marie Raveheart, yang akan digelar lusa. Ruangan butik dipenuhi cahaya hangat, dan aroma parfum lembut menyelimuti udara. Lucian berjalan di sisi Lyanna, menatap setiap gerakannya dengan perhatian. Saat Lyanna mencoba membenarkan lipatan gaunnya, Lucian mencondongkan tubuh, mengusap lembut lipatan kain dengan jarinya. “Biarkan aku bantu,” ujarnya, suaranya hangat. “Kamu akan terlihat sempurna nanti.” Lyanna tersenyum, sedikit tersipu. “Lucian… kamu selalu terlalu perhatian.” “Kalau itu membuatmu nyaman, aku akan tetap begitu,” jawabnya sambil menunduk, matanya menatap Lyanna dengan lembut. Di sudut ruangan, terdengar bisik-bisik di antara karyawan butik. “Ternyata Tuan Muda Raveheart sangat romantis ya,” bisik seorang karyawan. “Kau benar… beruntung sekali Nyonya Muda Lyanna,” jawab yang lain, sambil tersenyum kecil. Para pengawal yang berdiri di dekat pintu pun tak
Langit Los Angeles diselimuti awan kelabu, seperti mewakili kegelisahan yang memenuhi benak Lyanna. Sepulang dari pertemuan dengan Alaric, ia mengurung diri di kamar. Ia tak bicara apa pun selama makan malam. Bahkan saat Lucian menawarkan duduk di balkon bersamanya, ia hanya menggeleng pelan. Namun malam belum benar-benar berakhir. Pukul dua belas malam, Lucian membuka pintu kamar Lyanna tanpa mengetuk. Wajahnya masih dibayangi emosi yang belum selesai sejak siang tadi. “Kau tidak bisa terus menghindar seperti ini, Lyanna,” ucapnya pelan tapi dalam. Lyanna berdiri di sisi tempat tidur, masih mengenakan piyama satin tipis warna pucat. Rambutnya terurai, mata sembab karena menangis. “Aku lelah... Aku malu, Lucian. Bukan hanya karena tuduhan itu, tapi karena kau harus terus-menerus membelaku.” Lucian melangkah mendekat. “Kau pikir aku membelamu karena terpaksa?” Tatapannya menusuk. Lyanna tak menjawab. Nafasnya naik-turun. “Kalau aku tak peduli, aku tak akan berdiri di
Setelah nama Lyanna Raveheart merajai headline seluruh media, hidupnya berubah drastis. Ke mana pun ia melangkah, sorotan kamera dan suara teriakan wartawan menjadi makanan sehari-hari. Tak ada lagi kebebasan untuk sekadar berjalan-jalan santai atau duduk di taman tanpa pengawalan. Ia kini bukan hanya wanita biasa, tapi istri dari seorang pewaris Raveheart, nama yang punya bobot besar di dunia sosialita dan bisnis internasional. Pagi itu, Lyanna berdiri di balkon kamar suite-nya yang menghadap langsung ke taman luas kediaman Raveheart. Rambutnya yang tergerai ditiup angin, dan matanya menatap jauh, kosong. “Oh Tuhan... Ternyata hidup seperti ini tak seindah yang aku bayangkan,” gumamnya lirih. “Selalu diburu awak media dan tak bisa bebas ke mana pun sangat menyiksaku…” Langkah kaki terdengar dari balik pintu. Lucian muncul dengan setelan santainya, kemeja putih yang hanya dikancing separuh dan segelas wine merah di tangan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, mengamati L
Sorotan kamera, judul utama koran, dan berita daring nyaris serempak menampilkan hal yang sama. Seorang wanita muda berdiri elegan di sisi pewaris tunggal Raveheart Group, Lucian Raveheart.> "Siapa Lyanna Raveheart, wanita misterius yang kini menjadi istri pewaris kerajaan bisnis Amerika?""Lyanna Raveheart: Dari bayangan gelap menuju sorotan panggung dunia elit!""Mantan tunangan Lucian angkat suara: ‘Siapa dia sebenarnya?’"Foto-foto malam gala menampilkan Lyanna dengan gaun warna emerald anggunnya, tersenyum lembut di samping Lucian yang mengenakan setelan jas hitam klasik. Pose mereka seolah menggambarkan pasangan sempurna yang dilahirkan untuk berada di dunia yang sama.Namun tak semua pihak menyambut kehadiran Lyanna dengan hangat.Di salah satu sudut apartemen mewah milik Selena Vallerine, mantan tunangan Lucian yang menghilang tanpa jejak dua bulan lalu, layar TV menyala dengan wajah Lyanna terpampang jelas. Tatapan Selena penuh bara. Bibirnya menyeringai kecut, dan jemarinya
Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui celah tirai apartemen mewah itu, membelai pelan wajah Lyanna yang tampak lelah. Ia sudah bangun lebih awal, mungkin karena canggung tidur di tempat asing atau karena pikirannya terlalu penuh untuk bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tanpa riasan, dan apron lucu tergantung di pinggangnya saat ia menyiapkan sarapan sederhana di dapur terbuka.Lucian muncul dari koridor dengan kemeja santai abu-abu dan celana panjang gelap. Raut wajahnya datar, tapi matanya sempat melirik Lyanna yang sedang membalik telur dadar di atas pan."Aku tak tahu kau bisa masak," gumamnya sambil duduk di kursi tinggi bar dapur.Lyanna berusaha tersenyum, meskipun jelas matanya masih sembab."Aku tidak jago. Tapi ini sarapan biasa, bukan sesuatu yang sulit."Lucian tidak membalas. Ia hanya mengamati Lyanna, cukup lama hingga membuat gadis itu gugup dan hampir menjatuhkan sendok kayunya."Maaf soal sem
Restoran bintang lima yang berada di puncak gedung pencakar langit Los Angeles itu menyajikan panorama malam yang menakjubkan. Lampu kota berkelap-kelip, menciptakan latar sempurna untuk malam pertama mereka sebagai pasangan kontrak. Tapi bagi Lyanna, semuanya terasa seperti panggung dan dia hanyalah pemeran pengganti dalam drama hidup Lucian Raveheart.Dengan gugup, Lyanna menyesap air putih dari gelas kristal di depannya. Gaun hitam elegan yang diberikan oleh penata gaya Lucian membungkus tubuhnya dengan sempurna, membuatnya tampak seperti wanita kelas atas. Namun di dalam hati, ia tetaplah Lyanna si gadis yang selama ini bergelut dengan dua pekerjaan untuk menyambung hidup.“Berhenti terlihat seperti kau akan melarikan diri,” ucap Lucian tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh tekanan.Lyanna menatap pria di hadapannya begitu dingin, begitu terkendali. Ia tak pernah membayangkan akan duduk semeja dengan pewaris tunggal Raveheart Corporation, apalagi sebagai ‘istri’ yang ia sewa untu