Demi menyelamatkan sang ibu yang terbaring di rumah sakit, Lyanna Elvarisse, seorang wanita biasa dengan luka masa lalu, rela menandatangani kontrak pernikahan dengan pewaris keluarga Raveheart, Lucian, pria dingin dan penuh rahasia yang kehilangan kepercayaan pada cinta sejak pertunangannya gagal. Apa yang awalnya hanya perjanjian dingin tanpa perasaan, perlahan berubah menjadi perang batin yang membingungkan. Di balik tatapan tajam Lucian dan sikap apatisnya, tersimpan masa lalu kelam yang membuatnya tak ingin jatuh cinta lagi. Sementara Lyanna, mulai bertanya pada dirinya sendiri apakah hatinya masih bisa tetap netral ketika perlahan, lelaki itu mulai menyentuh sisi rapuh dalam dirinya? Di balik kontrak, apakah cinta bisa tumbuh… atau justru menghancurkan keduanya?
View MoreKilatan kamera menyambar ke segala arah begitu pintu hitam mobil mewah itu terbuka. Seorang pria tinggi dengan setelan abu-abu gelap turun dengan ekspresi datar. Wajahnya tirus, tegas, dengan sorot mata tajam seperti elang yang terluka. Dialah Lucian Raveheart, pewaris tunggal Raveheart Corporation, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang investasi, real estate, dan teknologi canggih.
Sayangnya, hari itu bukan untuk merayakan keberhasilan. “Lucian! Benarkah pertunangan Anda dibatalkan?” “Apakah Selena memutuskan Anda karena skandal internal perusahaan?” "Bagaimana tanggapan Anda soal saham Raveheart Corp yang anjlok pagi ini?” Pertanyaan para wartawan meluncur cepat, penuh desakan dan spekulasi. Lucian berjalan lurus, tak menoleh, hanya dikawal oleh dua bodyguard andalan. Tapi wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bukan karena gosip itu tidak menyakitkan tapi karena ia tidak pernah membiarkan hidupnya diatur oleh siapa pun, termasuk tunangannya sendiri. Selena Vallerine, sang mantan tunangan, pergi dua malam lalu. Tanpa peringatan. Tanpa penjelasan. Yang tertinggal hanyalah gaun pernikahan yang belum sempat dikenakan dan secarik surat yang mengatakan: "Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin hidup dalam bayangan keluargamu." Surat yang terlalu dangkal untuk luka sedalam ini. --- Di ruang rapat utama Raveheart Corp, para dewan direksi duduk dengan wajah gelisah. Sorotan media menjadi ancaman bagi reputasi mereka, dan tak seorang pun berani menatap mata Lucian yang dingin itu. “Nama baik keluarga Raveheart dipertaruhkan,” ucap pria tua berambut perak di ujung meja. Dialah Alaric Raveheart, ayah Lucian sekaligus pendiri perusahaan. “Pertunangan yang dibatalkan hanya membuat kita terlihat rapuh. Pasar tidak peduli alasan personal. Mereka hanya peduli stabilitas.” Lucian menyandarkan punggungnya, tenang, namun aura mengancamnya menekan ruangan seperti kabut tebal. “Jadi kalian ingin solusi instan?” “Pernikahan kontrak,” jawab Alaric tanpa tedeng aling-aling. “Segera. Aku tidak peduli siapa. Yang penting wanita itu layak tampil di media dan mampu menenangkan investor.” Lucian mengerutkan dahi. Wanita kontrak? Cinta yang dibeli? Kedengarannya menjijikkan. Tapi inilah harga yang harus dibayar demi kekuasaan dan kehormatan. Tanpa sadar, pikirannya melayang pada pertemuan singkat dengan seorang perempuan bermata sendu dan bicara lembut di lorong rumah sakit dua malam lalu. Gadis biasa yang berjuang sendiri membayar biaya rumah sakit ibunya. Ia tidak meminta apa-apa darinya. Tapi tatapan penuh harga diri itu—tak bisa dilupakan. Apa dia bersedia menjual dirinya… demi orang yang ia cintai? Lucian tersenyum tipis, seperti serigala yang menemukan celah mangsanya. ............................................. Sore harinya... Sorotan kamera terus memburu Lucian di lobi utama gedung Raveheart Corp. Wartawan melemparkan pertanyaan tajam tanpa jeda. Tentang tunangannya yang kabur. Tentang reputasinya yang kini retak. Tentang dewan direksi yang mulai goyah. “Benarkah Anda dibatalkan sepihak, Tuan Lucian?” “Bagaimana nasib merger dengan Valdevra Group?” “Tuan Lucian, komentar Anda... " Lucian mengatupkan rahang, wajah nya dingin. Matanya tak memancarkan emosi, tapi napasnya mengeras. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat cukup. Bodyguard segera menahan kerumunan. Ia melangkah masuk lift kaca, menyisakan bayangannya yang tertangkap lensa ribuan media. Begitu pintu lift tertutup, wajah Lucian menegang. Sekretarisnya, Marvin, berdiri dengan ekspresi canggung. “Pernikahan dengan Selena resmi dibatalkan. Ayahnya menuntut balik kita secara diam-diam. Saham anjlok 7% pagi ini.” Lucian menatap bayangannya sendiri di dinding kaca lift. Lalu, mendadak pikirannya kembali ke waktu itu, dua minggu lalu. --- Hari itu ia sedang menginspeksi proyek perluasan anak usaha Raveheart Corp, menyamar dalam setelan sederhana, menyingkir dari segala hiruk pikuk pusat kota. Ia berjalan melewati lorong rumah sakit umum tempat yayasannya memberikan donasi untuk perawatan pasien-pasien kanker stadium lanjut. Dan di sanalah dia melihatnya. Gadis itu berdiri di depan loket administrasi. Wajahnya pucat, rambutnya dikuncir seadanya, mata bengkak seolah habis menangis, tapi tetap tegak dengan suara gemetar menanyakan keringanan biaya perawatan untuk ibunya. “Saya… saya akan bayar dalam seminggu. Saya akan cari cara,” katanya. “Mohon jangan hentikan pengobatannya.” Lucian berdiri beberapa meter dari belakangnya. Ia tahu betul raut keputusasaan seperti itu. Bukan kepura-puraan. Bukan tangisan manja wanita sosialita. Itu ketulusan yang langka di dunia penuh kepalsuan ini. Ia tidak tahu siapa nama wanita itu waktu itu. Tapi sorot mata pasrah namun kuat itu menyentaknya lebih dari apapun. Saat gadis itu berbalik dan tanpa sengaja menabraknya, ia sempat melihat tatapan terkejut dan bingung. “Maaf…” lirihnya. Lalu gadis itu pergi begitu saja. Tanpa tahu bahwa pria yang berdiri di sana adalah Lucian Raveheart, tuan muda perusahaan teknologi terbesar di negeri ini. --- Pintu lift berbunyi. Kembali ke kenyataan. Lucian melangkah keluar dan berkata tenang, “Siapkan kontrak pernikahan.” Marvin mengangkat kepala, terkejut. “Dengan siapa, Tuan?” Lucian memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan sorot tajam. “Cari gadis itu. Gadis yang kita temui di rumah sakit dua minggu lalu. Aku ingin menikahinya. Kontrak. Selama satu tahun. Setelah itu ia akan bebas.” --- Marvin menelan ludah, mencoba menangkap maksud tersembunyi dari perintah itu. “Gadis itu, Tuan? Tapi... kami bahkan tidak tahu siapa namanya.” Lucian melangkah ke ruang kerjanya di lantai atas, dinding kaca membingkai panorama kota yang memudar di balik hujan. Ia membuka jasnya, menggantung sendiri di belakang kursi kerja, lalu duduk dengan tenang, menyatukan jari-jarinya di atas meja. “Kau lihat CCTV rumah sakit hari itu, kan?” tanyanya datar. Marvin mengangguk pelan. “Kami hanya menyimpannya sementara untuk laporan dokumentasi. Tapi bisa saya minta kembali.” “Lakukan. Aku ingin identitas lengkapnya. Segera.” Nada suara Lucian tak meninggi, tapi membawa beban tekanan yang membuat siapa pun tak berani membantah. “Baik, Tuan.” Marvin pun segera keluar. Begitu pintu tertutup, Lucian memejamkan mata dan membiarkan pikirannya kembali menelusuri kilasan pertemuan singkat itu. Sorot mata gadis itu yang seolah berbicara tanpa kata. Ia tak tahu mengapa, tapi wajah pucat yang tetap memohon demi ibunya itu terpatri jelas dalam ingatannya. Bukan cinta. Bukan iba. Tapi ketertarikan terhadap sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang atau kekuasaan, sebuah ketulusan. Lucian membuka matanya. Ia sudah kehilangan reputasi, nama baik keluarga dipertaruhkan, merger penting nyaris hancur, dan media haus darah menunggu kejatuhannya. Ia butuh alibi. Stabilitas. Dan seorang istri secepat mungkin. Tapi ia tak mau sembarang wanita. Ia tak ingin seorang sosialita palsu yang menari di depan kamera dan menusuk di belakang. Ia ingin... wanita itu. Wanita yang menangis tanpa suara, tapi berdiri tegak menghadapi dunia. Dan bila harus menikah, maka ia akan memilih sendiri siapa wanita di sisinya. Bukan dari silsilah. Bukan dari daftar pewaris. Ia akan membalik permainan. --- Dua hari kemudian. Marvin menaruh map cokelat di atas meja kerja Lucian. “Kami menemukannya. Namanya Lyanna Elvarisse. 24 tahun. Lulusan D3 Keperawatan, tapi tidak bekerja tetap. Ibunya sedang menjalani pengobatan kanker ovarium stadium 3.” Lucian membuka map itu, menelusuri data dengan pandangan tajam. Ada foto. Dan ya itu dia. Gadis di rumah sakit. Tanpa riasan. Mata bengkak. Wajah lelah. Ia menutup map dan berkata tenang, “Buat dia datang ke sini. Besok.” Marvin tampak ragu. “Apa alasan yang harus saya pakai untuk...” “Bayar utangnya di rumah sakit,” potong Lucian. “Berikan alasan bahwa yayasan kita ingin menawarkan bantuan lanjutan. Pastikan dia datang. Tapi... jangan sebut namaku.” “Baik, Tuan.” Lucian berdiri, memutar tubuh menghadap jendela kaca. Hujan turun semakin deras di luar. Di dunia yang penuh kepalsuan, ia tak pernah tertarik pada pernikahan. Tapi untuk yang satu ini... Ia akan menulis aturannya sendiri. _"Bersambung"_Hari ini adalah jadwal fitting busana untuk pesta anniversary ayah dan ibu Lucian, Alaric Raveheart dan Marie Raveheart, yang akan digelar lusa. Ruangan butik dipenuhi cahaya hangat, dan aroma parfum lembut menyelimuti udara. Lucian berjalan di sisi Lyanna, menatap setiap gerakannya dengan perhatian. Saat Lyanna mencoba membenarkan lipatan gaunnya, Lucian mencondongkan tubuh, mengusap lembut lipatan kain dengan jarinya. “Biarkan aku bantu,” ujarnya, suaranya hangat. “Kamu akan terlihat sempurna nanti.” Lyanna tersenyum, sedikit tersipu. “Lucian… kamu selalu terlalu perhatian.” “Kalau itu membuatmu nyaman, aku akan tetap begitu,” jawabnya sambil menunduk, matanya menatap Lyanna dengan lembut. Di sudut ruangan, terdengar bisik-bisik di antara karyawan butik. “Ternyata Tuan Muda Raveheart sangat romantis ya,” bisik seorang karyawan. “Kau benar… beruntung sekali Nyonya Muda Lyanna,” jawab yang lain, sambil tersenyum kecil. Para pengawal yang berdiri di dekat pintu pun tak
Langit Los Angeles diselimuti awan kelabu, seperti mewakili kegelisahan yang memenuhi benak Lyanna. Sepulang dari pertemuan dengan Alaric, ia mengurung diri di kamar. Ia tak bicara apa pun selama makan malam. Bahkan saat Lucian menawarkan duduk di balkon bersamanya, ia hanya menggeleng pelan. Namun malam belum benar-benar berakhir. Pukul dua belas malam, Lucian membuka pintu kamar Lyanna tanpa mengetuk. Wajahnya masih dibayangi emosi yang belum selesai sejak siang tadi. “Kau tidak bisa terus menghindar seperti ini, Lyanna,” ucapnya pelan tapi dalam. Lyanna berdiri di sisi tempat tidur, masih mengenakan piyama satin tipis warna pucat. Rambutnya terurai, mata sembab karena menangis. “Aku lelah... Aku malu, Lucian. Bukan hanya karena tuduhan itu, tapi karena kau harus terus-menerus membelaku.” Lucian melangkah mendekat. “Kau pikir aku membelamu karena terpaksa?” Tatapannya menusuk. Lyanna tak menjawab. Nafasnya naik-turun. “Kalau aku tak peduli, aku tak akan berdiri di
Setelah nama Lyanna Raveheart merajai headline seluruh media, hidupnya berubah drastis. Ke mana pun ia melangkah, sorotan kamera dan suara teriakan wartawan menjadi makanan sehari-hari. Tak ada lagi kebebasan untuk sekadar berjalan-jalan santai atau duduk di taman tanpa pengawalan. Ia kini bukan hanya wanita biasa, tapi istri dari seorang pewaris Raveheart, nama yang punya bobot besar di dunia sosialita dan bisnis internasional. Pagi itu, Lyanna berdiri di balkon kamar suite-nya yang menghadap langsung ke taman luas kediaman Raveheart. Rambutnya yang tergerai ditiup angin, dan matanya menatap jauh, kosong. “Oh Tuhan... Ternyata hidup seperti ini tak seindah yang aku bayangkan,” gumamnya lirih. “Selalu diburu awak media dan tak bisa bebas ke mana pun sangat menyiksaku…” Langkah kaki terdengar dari balik pintu. Lucian muncul dengan setelan santainya, kemeja putih yang hanya dikancing separuh dan segelas wine merah di tangan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya tajam, mengamati L
Sorotan kamera, judul utama koran, dan berita daring nyaris serempak menampilkan hal yang sama. Seorang wanita muda berdiri elegan di sisi pewaris tunggal Raveheart Group, Lucian Raveheart.> "Siapa Lyanna Raveheart, wanita misterius yang kini menjadi istri pewaris kerajaan bisnis Amerika?""Lyanna Raveheart: Dari bayangan gelap menuju sorotan panggung dunia elit!""Mantan tunangan Lucian angkat suara: ‘Siapa dia sebenarnya?’"Foto-foto malam gala menampilkan Lyanna dengan gaun warna emerald anggunnya, tersenyum lembut di samping Lucian yang mengenakan setelan jas hitam klasik. Pose mereka seolah menggambarkan pasangan sempurna yang dilahirkan untuk berada di dunia yang sama.Namun tak semua pihak menyambut kehadiran Lyanna dengan hangat.Di salah satu sudut apartemen mewah milik Selena Vallerine, mantan tunangan Lucian yang menghilang tanpa jejak dua bulan lalu, layar TV menyala dengan wajah Lyanna terpampang jelas. Tatapan Selena penuh bara. Bibirnya menyeringai kecut, dan jemarinya
Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui celah tirai apartemen mewah itu, membelai pelan wajah Lyanna yang tampak lelah. Ia sudah bangun lebih awal, mungkin karena canggung tidur di tempat asing atau karena pikirannya terlalu penuh untuk bisa beristirahat dengan tenang. Tapi ia mencoba bersikap biasa saja. Rambutnya dikuncir rendah, wajahnya tanpa riasan, dan apron lucu tergantung di pinggangnya saat ia menyiapkan sarapan sederhana di dapur terbuka.Lucian muncul dari koridor dengan kemeja santai abu-abu dan celana panjang gelap. Raut wajahnya datar, tapi matanya sempat melirik Lyanna yang sedang membalik telur dadar di atas pan."Aku tak tahu kau bisa masak," gumamnya sambil duduk di kursi tinggi bar dapur.Lyanna berusaha tersenyum, meskipun jelas matanya masih sembab."Aku tidak jago. Tapi ini sarapan biasa, bukan sesuatu yang sulit."Lucian tidak membalas. Ia hanya mengamati Lyanna, cukup lama hingga membuat gadis itu gugup dan hampir menjatuhkan sendok kayunya."Maaf soal sem
Restoran bintang lima yang berada di puncak gedung pencakar langit Los Angeles itu menyajikan panorama malam yang menakjubkan. Lampu kota berkelap-kelip, menciptakan latar sempurna untuk malam pertama mereka sebagai pasangan kontrak. Tapi bagi Lyanna, semuanya terasa seperti panggung dan dia hanyalah pemeran pengganti dalam drama hidup Lucian Raveheart.Dengan gugup, Lyanna menyesap air putih dari gelas kristal di depannya. Gaun hitam elegan yang diberikan oleh penata gaya Lucian membungkus tubuhnya dengan sempurna, membuatnya tampak seperti wanita kelas atas. Namun di dalam hati, ia tetaplah Lyanna si gadis yang selama ini bergelut dengan dua pekerjaan untuk menyambung hidup.“Berhenti terlihat seperti kau akan melarikan diri,” ucap Lucian tiba-tiba, suaranya tenang namun penuh tekanan.Lyanna menatap pria di hadapannya begitu dingin, begitu terkendali. Ia tak pernah membayangkan akan duduk semeja dengan pewaris tunggal Raveheart Corporation, apalagi sebagai ‘istri’ yang ia sewa untu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments