Share

Bab 7

Bab 7

Pak karsa beserta rombongan pergi meninggalkan desa. Meskipun jujur hatinya mereka merasa tak tenang karena memikirkan kelanjutan nasib Juragan Kuncoro. Semua yang ada di dalam mobil itu diam membisu, hanya terdengar suara sesenggukan dari Bu Wening yang terus memikirkan suaminya. 

Tiga jam telah berlalu, mobil yang mereka tumpangi kini melewati jalur yang berkelok-kelok dan menanjak. Semakin melaju, mobil yang di kemudikan oleh Pak Karsa semakin masuk ke dalam hutan belantara.

Tujuan mereka tentu saja rumah yang kemarin sempat Mbok Asih dan Pak Karsa datangi. Karena hanya rumah itulah satu-satunya rumah tersisa yang di miliki oleh Keluarga Kuncoro, disamping itu juga tak akan ada yang tahu letak rumah tersebut terkecuali Pak Karsa, Mbok Asih dan juga Juragan Kuncoro itu sendiri. 

Awalnya, jalan yang mereka lewati berupa cor-coran, namun semakin masuk kedalam jalur itu semakin sempit dan hanya bisa dilalui oleh satu mobil saja.

Selain berbatu, jalanan itu juga licin oleh tanah merah. Kiri kanannya banyak sekali ditumbuhi oleh semak belukar. Hal itu membuat semua orang yang ada di dalam mobil termasuk Bu Wening merasa kebingungan kecuali Pak Karsa yang memang sudah beberapa kali ke tempat ini. 

"Sak benere awak e dewe iki arak ndok endi, Karsa? Lapo kok ndadak mlebu ndok alas barang?" tanya Bu Wening gusar, sepertinya beliau baru kali pertama berkunjung ke daerah ini. 

{ Sebenarnya kita ini mau kemana, Karsa? Kenapa kita harus masuk ke hutan? }

"Ke rumah kanjeng juragan, Ndoro Putri," jawab Pak Karsa sopan. Terlihat raut keterkejutan dari wajah Bu Wening.

"Rumahe Juragan?" tanya Bu Wening bingung.

"Injeh, Ndoro. Mangke nek sampun mantuk teng mriko kulo sanjangi sedoyo. Niki lagek mawon naming setengah perjalanan, Insya Allah mangke sonten lagek tekan," ujar Pak Karsa.

{ Iya, Nyonya. Nanti kalau sudah sampai sana saya jelaskan semuanya. Ini kita baru setengah perjalanan, mungkin nanti malam baru sampai}

Seolah paham akan ucapan Pak Karsa, Bu Wening pun lalu tak bertanya lagi.

------****--------

Sementara itu, di kediaman Keluarga Kuncoro, terlihat rumah besar itu telah berhasil dibakar warga. Tubuh Juragan Kuncoro sendiri pun sudah babak belur dengan darah yang mengalir membasahi pakaian yang ia kenakan. 

Warga terlihat antusias mengumpulkan kayu bakar, lalu meletakkan tubuh Juragan Kuncoro yang sudah tak berdaya di atas kayu-kayu yang telah berhasil mereka kumpulkan. Menyiramnya dengan minyak tanah hingga mengenai tubuh laki-laki malang itu, selanjutnya melemparkan satu buah obor yang menyala ke tengah. Seketika api berkobar sangat besar, terdengar suara Juragan Kuncoro meraung kepanasan. Di detik-detik terahir kematiannya, ia sempat mengucapkan sebuah sumpah jika kelak keturunan Kuncoro paling bungsulah yang akan membalaskan dendam kepada mereka semua terutama Keluarga Atmojo.

Juragan Kuncoro pun meregang nyawa dengan cara mengenaskan. Tubuhnya hangus terbakar hingga tak berbentuk. Akan tetapi sumpahnya itu telah sampai ke puncak nirwana.

-----*****-----

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Pak Karsa. Hari sudah sangat gelap saat mereka tiba di sebuah rumah tua besar, rumah tersebut bergaya khas Jaman Belanda. Dengan ornamen-ornamnenya yang masih terlihat asli.

Rumah beratap tinggi menjulang berwarna putih tulang dengan sebagiannya telah di tumbuhi lumut itu terlihat begitu menyeramkan. Persis seperti rumah-rumah yang ada di film-film horor. Dikelilingi hutan jati yang tampak tak terurus. 

Jalan depan rumah itu terlihat sudah sangat rusak dan hanya muat dilalui oleh satu mobil saja.

Mereka semua turun, lalu mengamati setiap inci dari banguan tua tersebut dengan perasaan tak menentu. Seram, gelisah, dan takut bercampur menjadi satu itu karena aura dari rumah tersebut yang seakan-akan tak bersahabat dengan kedatangan mereka. 

"Opo iki omahe seng mbok maksud ndok awakmu, Karsa?" tanya Bu Wening akhirnya, setelah sedari tadi senyap dengan pikiran masing-masing.

{ Apakah ini rumah yang kamu maksud, Karsa? }

"Injeh, Ndoro Putri. Karena rumah inilah satu-satunya yang menurut Juragan Kuncoro aman untuk ditinggali. Setidaknya, keluarga Atmojo tidak ada yang tahu mengenai rumah ini."

Bu Wening pun terlihat pasrah, begitu juga dengan yang lainnya. Mungkin mereka fikir, toh tidak ada gunanya juga menolak. Disamping hari sudah malam ditambah dengan badan yang lelah, mereka juga sudah tak memiliki pilihan lain selain "Nerimo Ing Pandum."

Pak Karsa melangkah lebih dulu mendekati pintu utama rumah itu yang berupa dua daun pintu dengan handle yang terlihat sudah berkarat di sisi keduanya. Ia merogoh saku celana lalu mengeluarkan segerombolan anak kunci dan memasukkannya ke dalam lubang. 

Ceklek ....

Kriettt ....

Terdengar suara kunci dan engsel pintu yang sepertinya juga sudah berkarat. Mereka semua saling pandang satu sama lain, seolah merasa ragu untuk memasukinya. Pak Karsa yang dapat membaca situasi itu pun kemudian mengalah untuk masuk terlebih dahulu barulah diikuti oleh yang lainnya di belakang. 

"Res, aku kok keroso merinding yo mlebu ndok omah iki," bisik Nunik kepada Resti teman disampingnya. Mereka berdua adalah ART yang belerja di rumah Keluarga Kuncoro. 

{ Res, aku kok berasa merinding, ya masuk kerumah ini.}

"Hust, ojo ngomong seng aneh-aneh koen. Ndak krungu ibuk, ra penak ngko!" sahut Resti tak kalah lirih namun tegas.

{ Hust, jangan ngomong yang aneh-aneh kamu. Nanti kedengeran sama ibu, gak enak.}

"Tapi, tenan lho iki tangi kabeh wuluku, merinding," kata Nunik sembari menatap ngeri seluruh sudut di dalam rumah yang akan mereka tempati itu. 

{ Tapi, beneran loh ini bulu kudukku berdiri semua, merinding.}

"Koen ki jalok tak sampluk tenan lambemu. Nek ngomong asal metu ae, meneng iso ora? Nak ra iso, tak lakban sisan nggae lambemu kuwi!" jawab Resti sewot Karena temannya itu masih saja tidak mau diam.

{ Kamu itu minta di tab*k mulutmu itu, kalau bicara asal mangap aja. Diam bisa gak? Kalau gak bisa saya lakban m*lutmu itu.}

"Ck, kowe ki opo seh. Tegonan mbek konco. Nek lambeku mbok lakban, lah teros leh ku mangan kepie?" tanya Nunik polos. 

{ Ck, kamu tuh apaan sih. Tega sama temen sendiri. Kalau mulutku di lakban, terus nanti kalau aku mau makan, gimana?}

"Sak karepmu, lah, Nik. Kesel aku!" sahut Resti sewot.

{Terserah kamu aja lah, Nik. Jengkel aku sama kamu!}

"Heleh, dadi uwong kok nesusan! Cepet tuwek, ngko. Ndak dadi perawan tuo, gelem ko'en?" cibir Nunik yang masih saja belum mau diam.

Resti yang merasa sudah jengkel, sengaja mempercepat langkahnya membuat Nunik tertinggal beberapa langkah.

"Weh, aku ditinggal tenan, lho iki. Res! Enteni aku!" teriak Nunik ketakutan.

Namun Resti tak peduli, ia tetap saja mempercepat langkahnya. Bahkan, kini ia sudah setengah berlari.

"Ndue konco kok kucluk tenan!" gerutunya.

{Punya teman kok, ajaib banget!}

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status