Bab 8
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, manun Pak Karsa masih belum bisa memejamkan matanya. Entah kenapa perasaannya begitu gelisah memikirkan majikan laki-lakinya. Pak Karsa memutuskan keluar dari kamarnya untuk sekedar merokok di depan teras. Selain itu juga untuk berjaga-jaga kalau ada seseorang yang datang, Juragan Kuncoro misalnya. Setelah sampai di teras rumah, ia duduk sambil memandangi area sekitar yang tampak sepi dan gelap. Tiba-tiba, netranya menangkap sesuatu dari balik pohon. Seperti siluet seseorang yang tengah mengintai. Pak Karsa yang menyadari itu langsung berteriak."Sopo ndok kono? Metuo, ojo dadi pengecut!" { Siapa disitu? Keluarlah, jangan jadi pengecut! }Lalu sosok itu pun melesat dengan kecepatan kilat, dalam sekejap saja. Sosok tersebut kini sudah berada persis di hadapannya."Mbah Bejo?" gumam Pak Karsa lirih."Iyo, Ngger. Iki aku, Bejo. Hehehe ...," ucapnya menyeringai.{ Iya, Nak. Ini aku, Bejo. }"Enten urusan nopo, kok sampean ngetutke kulo tekan kene?" { Ada urusan apa kamu membuntuti saya sampai kesini? }"Urusanku dudu mbek awakmu! Tapi ambek Keluarga Kuncoro!" { Urusanku bukan denganmu, tapi dengan Keluarga Kuncoro."Hhh ... Urusan Keluarga Kuncoro iku podo wae ambek urusanku,"{ Berurusan dengan Keluarga Kuncoro berarti juga berurusan denganku.}"Weleh, weleh, ndue nyawa piro awakmu, Ngger apenane ngelindungi keluarga iblis?"{ Punya nyawa berapa kamu sampai mau melindungi keluarga iblis?}"Gak salah sampean ngomong ngunu, Mbah? Seng iblis kui asline kowe mbek keluarga Atmojo! Tego nggae fitnah uwong, ngojok-ngojok'i warga deso menyerang Keluarga Kuncoro!" ujar Pak Karsa menyindir. { Gak salah kamu ngomong begitu, Mbah? Yang iblis itu aslinya kamu sendiri dan Keluarga Atmojo. Memfitnah dan memprovokasi warga untuk menyerang Keluarga Kuncoro!} "Dasar bocah tengik, wes sak iki ngomongo. Ape mati ndok kene opo ndok omahmu dewe ndok kana!?" { Dasar bocah tengik, sekarang katakan. Mau mati disini atau di rumahmu sana?!}"Ra eneng seng iso nyabut nyowoku kecuali kersaning gusti!" ucap Pak Karsa lantang yang tentu saja membuat Mbah Bejo semakin naik pitam.{ Tidak ada yang bisa mencabut nyawaku selain atas izin dari Allah!}"Kokean omong, rasakno iki!" Mbah Bejo langsung menyerang Pak Karsa.Keduanya pun terlibat duel hebat. Menimbulkan suara berisik hingga membuat seisi rumah terbangun. Mereka semua tergopoh-gopoh menuju teras guna menyaksikan pertarugan sengit antara Pak Karsa dan Mbah Bejo. Tak banyak orang tahu, jika Pak Karsa sendiri ternyata bukan orang sembarangan. Ia mempunyai ilmu kebatinan serta kanuragan yang mumpuni. Hanya Juragan Kuncoro saja yang tahu makanya beliau mau menerima Pak Karsa bekerja dan menjadi tangan kanannya.Pergulatan semakin panas, terlihat kini Mbah Bejo mulai duduk bersila di atas tanah begitupun juga dengan Pak Karsa. Sukma mereka sama-sama lepas meninggalkan raga. Mereka bertarung di alam bawah sadar masing-masing.Bu Wening yang mengetahui jika mereka semua kemungkinan tidak akan selamat. Bergegas menyuruh Nunik dan Resti untuk lari sejauh mungkin dengan membawa putrinya yang masih bayi. "Nik, Res. Awakmu sayang ora mbek anakkku?" tanya Bu Wening halus. Mereka berdua lalu mengangguk setelah sebelumnya saling melempar pandang.{ Nik, Res. Kalian berdua sayang gak sama anakku?}"Nek tenan sayang, aku jaluk tulong mbek awakmu wong loro iso?" imbuh Bu wening.{ Kalau beneran sayang, apa boleh saya minta tolong sama kalian?}"Insya Allah, Ndoro ibu," jawab Resti dan Nunik bersamaan. "Tolong bawalah Lastri sejauh mungkin dari sini." lari secepat dan sekencang yang kalian bisa. Biar saya, Pak Karsa, Pak dhe kajar dan Mbok Tum yang ada bertahan disini untuk menahan dukun laknat itu untuk mengejar kalian. Bisa?" Lagi-lagi Nunik dan Resti saling berpandangan seolah meminta persetujuan masing-masing. "Tenang ae, nanti aku kasih bekal untuk kalian, tapi tolong selamatkan putriku," pinta Bu Wening yang kini sudah berurai air mata. "Kamu lihat itu, Ndok." Bu Wening menunjuk ke arah luar rumah itu. "Pak Karsa sedang mati-matian bertarung disana. Agar kita semua bisa selamat. Tapi aku tahu itu tidaklah mungkin karena dukun itu sakti mandra guna. Jadi aku ingin kalian berdua menyelamatkan putriku biarlah kami saja yang berkorban," seketika Nunik dan Resti menatap ke arah dimana terdapat dua orang laki-laki bersila dengan darah yang sudah keluar dari mulut masing-masing."Sendiko dawuh, Ndoro Ibu,"Bagai mendapat angin segar, buru-buru Bu Wening menyiapkan semua perbekalan untuk putri dan kedua ART-nya itu kabur. Tak lupa juga Bu Wening membungkus sebuah bantal menggunakan jarik agar seolah-olah bayinya masih berada di dalam gendongannya. Setelah semuanya siap, dengan penuh haru. Bu wening melepas mereka bertiga melalui pintu belakang yang mengarah langsung ke kebun jati yang rimbun dan juga gelap gulita."Hati-hati, yo, Nduk. Aku titip Lastri, anakku," ucap Bu Wening lalu mencium bertubi-tubi wajah putrinya.Bab 9Ditengah pekatnya malam, Lastri dan Nunik berlari tunggang langgang. Mereka menyusuri hutan jati yang gelap gulita. Beruntung tengah padang bulan, cukup membantu mereka yang sedikit kesulitan melihat jalan. Bayi bernama Lastri itupun sangat anteng dalam gendongan Resti."Sek, Res. Nafasku koyok wes arak kendat iki," kata Nunik ngos-ngosan. { sebentar, Res. nafasku sudah seperti mau putus ini rasanya.}"Lah, mbok kiro gor awakmu thok. Aku loh iyo, podo," sahut Resti tak kalah ngos-ngosan dari Nunik. { Emangnya kamu pikir cuma kamu sendiri, aku juga.}"Seandainya awak'e dewe nduwe ilmu ngilang, beuh sakti tenan yo," ujar Nunik berkelakar.{ Coba aja kalau kita punya ilmu menghilang, pasti enak itu.}Bisa-bisanya di saat tengah genting begini, Nunik masih saja berkelakar. Anak itu memang ajaib."Ho'oh.""Tapi, Res. Nek tenan diijabah Ambek gusti Allah. Awakmu pengen ngilang ndok ndi?"
Bab 10Lastri terbangun dengan nafas ngos-ngosan dan pakaian yang basah kuyup akibat keringat membanjiri tubuhnya. "Keluarga Kuncoro?" gumam Lastri lirih. "Apa yang dimaksud dalam mimpi itu adalah Resti Ibuku? Lalu, kenapa selama ini ibuk ndak pernah bilang apa-apa sama aku?" Lastri bertanya pasa dirinya sendiri."Aku harus telepon ibu sekarang juga," imbuh nya.Cepat-cepat ia menyambar gawai lalu menekan nomor ibunya. Terdengar bunyi nada sambung, tak butuh waktu lama. Telepon pun tersambung. "Hallo, Assalamu'alaikum!" seru suara di seberang telefon yang tak lain adalah Resti. "Walaikum salam, Bu. Gimana kabare, sehat?" tanya Lastri berbasa-basi."Alhamdulilah, sehat, Nduk. Kalau kamu sendiri gimana kabare?" jawab dan tanya Resti terdengar semringah. "Alhamdulilah, Lastri baik, Bu," timpal Lastri. "Bu, Lastri boleh nanya ndak?" imbuhnya."Nanya apa, Nduk? Ibu jadi deg-degan
Bab 11Lastri yang terlihat sudah tak sabar, berkali-kali memanggil-manggil sang ibu di ujung telefon. "Bu, kok suwi tenan tho?"{Bu, kok lama banget?}Lalu terdengar suara Resti menyahut."Sek, Nduk. Iki lho, wes ketemu!"{Sebentar, Nak. Ini lho, sudah ketemu!}"Piye, Bu? Opo onok alamate seng mbok simpen ndok almarhum bapak?" cecar Lastri.{Gimana, Bu? Apa ada alamatnya yang disimpan oleh almarhum bapak?}"Alhamdulilah, eneng, Nduk! Alamate ndok Kota Gede Yogyakarta. Awakmu sak ini ijeh ndok Jogja, tho?" {Alhamdulilah, ada, Nak! Alamatnya ada di daerah Kota Gede Yogyakarta. Kamu sekarang masih tinggal di jogja, kan?}"Injeh, Bu. Tapi sak niki Lastri takseh teng Gunung Kidul. Nek ajeng teng alamat niku, butuh waktu sak jam lewih," ujar Lastri.{Iya, Bu. Tapi sekarang Lastri masih ada di Gunung Kidul. Kalau mau ke alamat itu, butuh waktu satu jam lebih.}"Ndak
Bab 12Mobil yang ditumpangi oleh Dokter Adrian dan Lastri melaju membelah jalanan. Pikiran Lastri terus melanglang buana memikirkan nasib sang adik dan mbaknya. "Las ...," suara Dokter Adrian seketika membuyarkan lamunan Lastri. Membuat gadis itu sedikit tersentak. "Maaf, bikin kamu kaget, ya? Sedari tadi aku perhatikan kamu melamun terus, kenapa?" tanya Dokter Adrian.Lastri menunduk dalam. Ia terus saja memainkan jari jemarinya yang ada di pangkuan saat ini."Bicaralah, siapa tau aku punya solusinya," sambung sang dokter. Lastri mendongakkan wajahnya, kini ia beralih menatap wajah laki-laki yang ada di sampingnya saat ini. 'Apa sebaiknya aku cerita aja sama Dokter Adrian, ya?' Lastri bertanya dalam hati. "Kenapa? Kalau kamu gak mau cerita, aku juga gak akan maksa, kok," ujar dokter tampan itu seraya tersenyum."Dok ...," ucap Lastri tercekat. "Ya, kalau memang tak siap tak apa. Us
Bab 13Kini Lastri, Dokter Adrian dan juga Adam sudah sampai di depan kediaman Keluarga Singgih. Namun anehnya, terlihat seorang bapak paruh baya seperti tengah tergesa-gesa hendak memasuki mobilnya. Lastri yang tak ingin kedatangannya sia-sia lantas buru-buru berlari menghampiri lelaki tersebut. "Nuwun sewu, Pak. Kulo ajeng kepanggeh kaleh Pak Singgih, nopo tiyange wonten teng lebet, njih?" tanya Lastri sopan. {Maaf permisi, Pak. Saya ingin bertemu dengan Pak Singgih, apa orangnya ada di dalam?}Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Lastri ia sudah yakin jika pria paruh baya yang ada di hadapannya adalah Pak Singgih, namun ia tak mau gegabah. Pria itu menatap Lastri heran. "Enten perlu nopo, cah ayu. Nopo sak derenge sampun nate kepanggih?" pria itu justru balik bertanya dengan nada yang begitu lembut. {Ada apa, Nak. Apa sebelumnya sudah pernah bertemu? }"Ngapunten, dereng, Pak. Tapi kulo mantuk mriki enten kepe
Bab 14"Wes bengi, sak iki turuo ndok omah kene wae," pinta Pak Singgih. { Sudah malam, sekarang kita tidur di rumah ini dulu saja}Mau tak mau mereka pun mengangguk meski sejujurnya merasa takut juga. Akan tetapi sudah tidak ada pilihan lain. "Berarti, trae omah iki gak beres," gumam Adam setelah mereka berada dikamar. { Berarti memang ada yang gak beres sama rumah ini}Dokter Adrian hanya terkekeh ringan. "Guduk omahe seng gak beres, tapi lemahe iki lho seng gak beres," sahut Dokter Adrian. {Bukan rumahnya yang gak beres, tapi tanahnya yang gak beres}"Awakmu kan dokter, kok iso eroh barang ngunu ki piye ceritane? Jajal cerito mbek aku sak iki, penasaran tenan awak ku!"{Kamu kan dokter, kok bisa melihat hal-hal tak kasat mata, itu gimana ceritanya? Coba cerita sama aku, penasaran soalnya}"Aku dewe yo gak eroh lho, padahal aku ki ra tau ngelmu. Mboh nyapo kok tiba-tib
Bab 15"Ada apa ini sebenarnya, Adrian?" Adam mulai memberanikan diri untuk bertanya saat mereka berdua telah sampai di dalam gubuk.Lastri dan Pak Singgih menatap Adam dan Adrian secara bergantian dengan tatapan penuh kebingungan. Ketika Pak Singgih memperhatikan Adrian lebih seksama. Seketika ia tahu jika ada sesuatu yang tidak beres tengah menguasai tubuh Adrian hingga membuat pemuda itu seperti orang linglung. Pak Singgih kemudian menyuruh Adam untuk mengambil segelas air, lepas itu Pak Singgih membacakan entah apa lalu meniupkan kedalam gelas tersebut. Menyipratkan air keseluruhan tubuh Adrian dan terakhir mengusapkan kebagian wajah putihnya. Detik berikutnya, Adrian seperti baru tersadar. "Kita harus pergi dari sini secepatnya. Bahaya tengah mengintai kita semua. Tanah ini adalah tanah tumbal kerajaan pulung gantung!" tegas Adrian yang bergegas masuk kedalam kamar dan memasukkan semua barang-barang mereka kedalam t
Bab 16 "Bukaken lawange!" teriak perempuan misterius itu. Mau tak mau, Pak Singgih pun beranjak dan membuka pintu. Terlihat perempuan itu tengah membawa parang. "Minggir, ben tak pedote sikile!" ujar perempuan aneh itu. {Minggir, biar saya saja potong kakinya!}Ia mendorong tubuh Pak Singgih kesamping agar memberinya jalan lalu dengan cepat ia mencengkram baju Adrian dan berujar. "Opo awakmu piker, bar reti sekabehane arak sak mudah iku lungo teko kene, Mas?" tatapannya tajam menghunus bak pedang dan nadanya begitu dingin. {Apa kamu pikit akan semudah itu bisa pergi dari sini setelah mengetahui semuanya, Mas?}"Mati aku!" batin AdamTadinya mereka semua kecuali Pak Singgih berfikir jika perempuan itu akan menghabisi Adrian dengan menggunakan parang yang ia bawa. Akan tetapi dugaan itu meleset terbukti dengan gerakan si wanita aneh itu yang kini melepaskan cengkramannya pada pakaian Adrian.