Bag 18
Tubuh Lastri yang gemetaran melihat parang yang dipegang oleh Sriningsih dihunuskan kepada Adrian itu pun tak mampu berbuat apa-apa.Namun rupanya, Sriningsih hanya menggorok rambut Adrian saja. Seketika tubuh Adrian terjerembab ketanah dan berhenti muntah darah.Lastri dan Adam mendekati tubuh Adrian yang terkulai sambil memandang sengit ke arah Sriningsih."Katakan pada teman kalian, ilmunya di sini tidak ada apa-apanya. Nanti kalau sudah sadar, lekas bawa dia ke rumah Mbah Tejo!""Baik, Mbak," jawab Pak Singgih, sementara Lastri dan Adam diam saja.Ketiganya menatap Sriningsih yang berjalan menjauh menuju rumah besar dengan tangan yang masih menggenggam rambut Adrian.Tak lama kemudian, Adrian pun tersadar. Pak Singgih dan Adam memapah tubuh Adrian menuju kerumah Mbah Tejo, Lastri membuntuti mereka dibelakang.Wajah Adrian begitu pucat, sejak tadi. Adam dan Pak Singgih mencoba mengajaBab 19"Mas, coba sampean sekarang cerita sama aku. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Lastri pada lelaki yang ada dihadapannya. Terlihat Dokter Adrian seperti bingung harus menjelaskannya mulai dari mana. Semua terjadi secara tiba-tiba. "Aku bingung, Las. Entah kenapa, semenjak menginjak rumah itu. Mata batinku menjadi lebih sensitif, padahal sebelumnya enggak, lho." Lastri menundukkan wajah dalam, hati dan pikirannya bingung dengan keadaan yang tengah mereka alami. Tujuan datang ke sini untuk menyelamatkan adiknya, malah harus berakhir seperti ini. Bahkan, sekarang adiknya malah justru semakin dalam bahaya. Baik Lastri maupun Dokter Adrian sama-sama membisu, pikirannya menerawang ke alam bawah sadar masing-masing. Sebenarnya, Dokter Adrian ingin sekali berkata jujur pada Lastri. Namun, ia belum memiliki keberanian. Disamping itu juga, waktunya dirasa belum tepat. "Aku minta maaf ya, Las," ucap Dokter Adrian disela-sela ke
Bab 20Sriningsih dan Mbah Tejo menyalami wanita itu dengan takzim. Dia adalah Mirah Atmojo, bos dari Sriningsih dan juga Mbah Tejo. "Ngapunten, Ndoro ibu. Lapo kok mboten sanjang rumiyen nek sampun dugi mriki?," tanya Mbah Tejo halus tanpa berani menatap wanita tua itu. {Maaf, Juragan Ibu. Kenapa enggak bilang-bilang kalau sudah sampai di sini?} "Opo nek aku ngabari kowe iso jamin nek cah iki enggak bakalane mlayu ngindari awakku?" jari telunjuk Mirah menunjuk ke arah Sriningsih, tatapannya begitu dingin dan mematikan.{Apakah kamu bisa menjamin kalau orang ini tidak akan kabur demi menghindariku?}Mbah Tejo terdiam mendengar pertanyaan Mirah. Sementara Sriningsih terus tertunduk menatap lantai yang masih beralaskan tanah itu. "Ket mbiyen, awakmu wes tak kandani tho Nduk. Nek tugas iki abot, ora kabeh uwong iso nyonggo. King nyatane, sak iki omonganku kebukti, tho?" Suara Mirah begitu halus tapi terdengar sangat mengerikan ji
Bab 21"Karina!" pekik Karisma dan Dokter Adrian secara bersamaan. Keduanya berusaha untuk menahan tubuh Karina dengan menarik sebelah tangannya. Karina menjerit kesakitan sekaligus ketakutan. Sosok itu ternyata Mbah Bejo tetapi dengan versi wajah yang sangat mengerikan."Lepaskan adikku!" hardik Karisma sambil terus berusaha melepaskan cengkraman tangan Mbah Bejo di pergelangan tangan Karina. "Aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Sudah berpuluh tahun lamanya, aku menunggu saat-saat ini untuk menghabisi seluruh keturunan Kuncoro. Hahaha!" ujarnya menyeringai. Karisma memberi kode kepada Dokter Adrian untuk menarik kuat tangan Karina sementara dirinya mencoba mengalihkan perhatian Mbah Bejo. Karisma melompat ke belakang tubuh lelaki tua nan menjijikan itu. Menjambak rambut gondrongnya, serta menendang sebelah kakinya hingga tersungkur. Akibat hal itu, cengkramannya pada Karina terlepas dan saat itulah
Bab 22Mirah tidak mau mendengar alasan apapun yang diucapkan oleh Sriningsih. Tujuannya sudah bulat, ia ingin mengambil apa yang memang sudah seharusnya menjadi haknya sejak dulu. "Mbiyen, awakku ijeh ngekni kesempatan ndok awakmu. Makakne, bapak mu ijeh tak kekni kesempatan urep nanging wujude koyok ngono. Njut awakmu ambek aku nggae perjanjian, lak awakmu ingkar ambek janjine awakke dewe. Aku teko, pan mateni bapakmu. Sak iki lha nyapo, kowe kok ngalang-ngali aku!?" bentak Mirah tampak begitu marah. (Dulu, aku masih memberikan kesempatan padamu. Maka dari itu, bapakmu masih aku biarkan hidup hingga detik ini. Bahkan, kita berdua sampai membuat sebuah perjanjian, bukan? Jika sampai kamu melanggarnya, aku akan datang ke sini untuk mengambil nyawa bapakmu. Tapi kenapa sekarang kamu malah justru menghalangiku untuk membunuhnya!?)Sriningsih menangis tergugu. Kedua tangannya memegang kaki bagian bawah milik Mirah. Memohon agar memberikannya w
Bab 1Sinar mentari pagi terasa hangat menerpa tubuhku, yang tengah duduk santai di depan teras rumah, sembari melihat lalu lalang warga yang sedang beraktifitas. Ditemani secangkir kopi hitam kesukaanku dan sepiring pisang goreng buatan ibu. Tiba-tiba saja, suasana yang tadinya tenang mendadak riuh. Warga terlihat berbondong-bondong pergi ke arah kebun di samping rumah. Aku yang penasaran langsung mengikuti mereka. Dibawah pohon Akasia besar, terlihat sudah begitu banyak orang berkumpul. Aku bahkan sampai tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya tengah terjadi. "Pak, ada apa ini?" tanyaku kepada seorang pria paruhbaya berbadan gempal. "Ada yang gantung diri, tapi belum tau siapa," jawab sesebapak yang kutanyai tadi. "Lho, ini kan Karisma. Istrinya si Adam!" seru beberapa warga yang tengah berusaha menurunkan mayat tersebut. Aku yang mendengar nama istriku disebut, sontak merangsek masuk ke
Bag 2Pov LastriSungguh aku tak menyangka jika Adam berani menamparku dengan begitu kerasnya. Rasa panas dan perih di pipi ini, tak sebanding dengan luka hati yang aku rasakan. Sulit dimengerti, mengapa Adam begitu mencintai Karisma? Padahal jelas-jelas aku lebih segala-galanya di bandingkan dengan Risma. "Kamu jahat, Dam! Demi seorang Karisma, kamu sampai tega menyakitiku. Apa kurangnya aku, Dam? Apa!?" racauku di depan meja rias sambil memandangi pantulan wajah pada cermin.Sementara diluar, hujan turun begitu deras. Suata petir menggelegar menggetarkan kaca jendela kamarku, cahaya kilatnya menembus ventilasi memantulkan cahaya menembus cermin.Pandanganku teralih pada sebuah figura yang terpampang foto kami bertiga, tanganku terulur untuk meraihnya. Membawa benda persegi Itu lalu memindahkan tubuh ini ke sudut tempat tidur. "Ris, maafkan aku. Tak seharusnya aku mengatakan itu semua kepada Adam, tapi sungguh aku sudah tak ta
Bag 3Pov Author🌻 flash back, beberapa hari sebelum kepulangan Lastri.Mbok Darsih adalah pemilik warung angkringan yang berada di samping pos kamling ujung jalan menuju ke arah rumah Lastri. Sedang rumah Mbok Darsih sendiri berjarak tiga rumah dari rumah Almarhumah Karisma atau dalam kata lain mereka ini bertetangga. Semasa hidupnya, Karisma merupakan salah satu langganan setianya. Setelah acara tahlilan yang di gelar di rumah Almarhumah yang dilaksanakan sehabis isya itu, seperti biasa ia akan membuka lapaknya guna mencari nafkah. Maklum, Mbok Darsih ini seorang janda, sementara ia harus mencukupi kebutuhan kedua anaknya yang masih sekolah. Sementara suami Mbok Darsih sudah lama meninggal juga di Karenakan gantung diri. Malam ini ia merasakan suasana yang lain. Jika biasanya, tak berselang lama ia membuka lapak. Para bapak-bapak yang biasanya berkumpul di pos kampling akan bermunculan satu persatu lalu mereka mengobrol bersama sambil mem
Bab 4Malam semakin merangkak naik, sementara Dokter Adrian tadi langsung pamit pulang dan menyisakanLastri sendiri. Lastri melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan sudah pukul satu malam. Entah Kenapa, ia tak kunjung bisa tidur hanya asik bergulang-guling kesana kemari. Diraihnya benda pipih di atas nakas. Sambil menunggu kantuk datang, Lastri memutuskan untuk berselancar di sosial media. Entah sejak kapan ia mulai tertidur, hingga tiba-tiba Terdengar suara cekikikan yang berasal dari luar kamarnya berhasil membuat Lastri terbangun. Dengan pelan, Lastri melangkah mendekati pintu dan keluar dari kamarnya untuk memeriksa. Baru saja Lastri membuka pintu, terlihat sebuah bayangan di ruang tamu. Seperti seorang perempuan yang tengah menimang bayi sambil berjalan wira-wiri. Kakinya berjalan mengendap-endap mendekati sosok tersebut. Untuk sesaat, tubuh Lastri terpaku di antara sekat lorong rumah dan ruang tamu. Sosok itu bertelanja