Dentang jam di ruang tengah mengisi kesunyian, sementara aku duduk termenung di dekat stroller Dean. Pandangan mataku kosong, meskipun di depan mata bocah kecil itu tertawa ceria sambil memegang mainan favoritnya. Pikiranku masih terpaku pada nama "Kiranti" yang di sebutkan Pak Juan tadi siang
"Ah, bukankah nama Kiranti di kota Hasta sangat banyak? Nggak mungkin kalau Kiranti, perempuan yang aku kenal," batinku berusaha menenangkan diri. Namun ada sesuatu yang aneh. Nama itu menggantung di pikiranku seperti bayangan kelabu. Aku menggelengkan kepala, mencoba fokus pada Dean bermain. Aku kembali menemani Dean bermain hingga denting ponselku kembali terdengar. Melihat nama Mas Sandi di layar, aku segera mengangkatnya. "Iya Mas," sapaku lembut pada Mas Sandi yang berada di seberang telepon. "Din, besok pagi aku operasi. Dan ini aku sudah berada di rumah sakit," ucap Mas Sandi yang terdengar sangat besemangat. Ia memperlihatkan ruangan tempatnya di rawat lewat video call. Ibu mertuaku tampak duduk di sampingnya, tersenyum menenangkan. "Iya Mas, semoga operasinya lancar. Maaf aku nggak bisa ada di sana," kataku dengan nada lirih. Sebagai istri aku merasa gagal mendampinginya di saat penting seperti ini. Mas Sandi tersenyum padaku. "Nggak papa, Din. Kamu sudah berupaya sangat keras padaku. Makasih ya, sudah mengupayakan uang untuk operasiku," ucapnya. Kedua mataku berkaca-kaca menatap wajah Mas Sandi yang sudah beberapa bulan ini tidak pernah aku melihatnya secara langsung. Hanya lewat video call kami melepas rindu. Mas Sandi mengusap air matanya dan memberikan ponselnya pada ibu mertuaku. "Nggak papa Dini. Kami di sini baik-baik saja. Kamu jaga kesehatan ya, jangan biarkan badanmu sakit," ucap wanita yang sudah aku anggap seperti ibuku sendiri. "Iya Bu, pasti," jawabku sambil mengangguk. Telepon pun segera aku akhiri karena Dean merengek sudah bosan bermain. Aku mendorong stroller menuju taman depan rumah. Berkeliling di sana hingga Dean terlelap dengan sendirinya. Saat malam menjelang, aku menemani Dean berada di kamarnya. Membacakan cerita untuknya sambil mengistirahatkan badan. Tiba-tiba, Mbak Mira, asisten rumah tangga lain, mengetuk pintu. "Mbak Dini, kamu di minta Pak Juan buat mengangkat panggilannya," ujarnya sambil menunjukkan ponselnya. "Ada apa? Pakai ponsel kamu aja Mbak," jawabku yang sedikit malas mengambil ponselku yang ada di kamar karena tadi batrainya tinggal 10 persen. "Halo Pak, ada apa?" tanyaku. "Dini, kenapa kamu nggak angkat ponselmu sendiri? Cepat ambil ponselmu dan balas panggilanku. Jangan gunakan ponsel orang lain!" ucapnya dengan nada mendesak. Aku terdiam dan panggilan itu terputus. Aku kembalikan ponsel itu pada Mira, asisten rumah tangga. Heran rasanya dengan majikanku itu kenapa dia sudah seperti pacarku saja yang tidak membalas pesan atau teleponnya dia akan marah-marah padaku, padahal tadi juga sudah telepon dan melihat putranya baik-baik saja. Aneh! "Dean sayang, sebentar ya, Mbak Dini ambil ponsel dulu di kamar," pamitku pada bocah laki-laki berumur satu tahun itu. Dia menganggukkan kepalanya dan kembali bermain dengan pengawasan Mbak Mira. Aku melangkah gontai menuju ke kamar mengambil ponselku. Mengerutkan dahi begitu membuka benda pipih itu yang banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Pak Juan. "Dini, kamu di mana? Kenapa nggak angkat telepon dariku? Apa yang terjadi?" Begitulah pesan dari Pak Juan dan masih banyak pertanyaan yang lainnya. Sebenarnya Pak Juan itu khawatir pada anaknya atau padaku? Sambil menghela napas, aku segera membalas pesan tersebut. Tak lama, ponselku berdering lagi. "Iya Pak, bos kecil baik-baik saja. Dia sedang bermain," jawabku langsung, mencoba meredakan kekhawatirannya. Aku mengarahkan kamera ponselku pada Dean yang sedang merangkak menghampiriku dan duduk di pangkuanku dengan manja. "Ayo sayang, sapa papa," ucapku pada Dean yang sudah berdiri dengan berpegangan padaku. "Halo, sayang," sapa Pak Juan pada anaknya tapi tatapannya ada yang ganjil karena tatapan itu mengarah padaku. Aku mengarahkan kamera pada wajah Dean. "Hei, sayang, kok nggak kelihatan," tanya Pak Juan tiba-tiba. Aku memeriksa ponselku apakah kameranya mati atau bagaimana karena Pak Juan tidak bisa melihat wajah anaknya. Ponselku baik-baik saja dan kameranya masih jernih dan jelas. Lalu apanya yang nggak kelihatan? ''Pak, apa sekarang sudah jelas?'' tanyaku pada Pak Juan sambil memperlihatkan wajah Dean dan wajahku di depan layar ponsel. Pak Juan mengangguk pelan. "Sudah," jawabnya pendek, tapi tatapannya meninggalkan tanda tanya besar di pikiranku. Entahlah mungkin karena ia rindu dengan anaknya. *** Hari terus berlalu, sudah hampir tiga bulan setelah Mas Sandi operasi, ia sudah berjalan normal kembali. Tapi masalah baru muncul, ia mulai mendesakku untuk mengirim uang lebih yang katanya untuk membuka usaha. ''Ayolah Din, ini juga untuk kebaikan kita. Kamu nggak perlu lagi kerja jauh-jauh. Setelah usahaku ini berjalan lancar, kamu pulang saja untuk menjalankan usaha kita,'' ucapnya dengan nada penuh harap. ''Tapi Mas, masalahnya bukan itu. Aku masih punya hutang pada bosku dan aku harus segera melunasinya,'' jawabku tegas, mencoba mempertahankan pendirianku. ''Kenapa sih Din, apa kamu tidak percaya padaku? Ya, aku memang orang cacat yang tak pantas untuk di percaya,'' ucap Mas Sandi dengan nada suara berubah, terdengar lebih rendah. Ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya terlihat sangat sedih. Aku merasa bersalah melihat hal itu, dada ini terasa sesak bagaikan terhimpit beban berat. Sebenarnya aku tidak tega tapi mau bagaimana lagi. Aku tak mau berhutang lagi pada Pak Juan, sudah cukup tak mau lagi menanggung beban. ''Maaf Mas, bukannya aku tak mau tapi aku-,'' ''Tak apa, Din. Aku tak mungkin menyusahkanmu. Aku memang suami yang tak berguna,'' ujar Mas Sandi yang membuatku semakin merasa bersalah. Aku membuang napas dengan kasar. "Bukan seperti maksudku Mas, setiap kali ada masalah kamu pasti mengatakan hal itu, seolah aku adalah seorang istri yang kejam!" sahutku emosi. Mas Sandi tersulut emosinya. "Kalau kamu nggak mau ya sudah. Kamu memang tak percaya padaku, aku hanya bisa menyusahkanmu!" potongnya tajam. Aku terduduk lemas. Air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Saat itu, suara Pak Juan mengagetkanku. "Ada apa, Din? Kenapa kamu terlihat sedih?" tanya Pak Juan yang tiba-tiba saja berdiri di sampingku sambil menggendong Dean. Aku terkejut dan tak tahu harus menjawab apa. Sedangkan Mas Sandi masih berbicara. "Selama kita menikah, aku memang belum bisa membahagiakanmu. Tapi satu yang perlu kamu tahu, Din, kalau aku sangat mencintai kamu," bisik Mas Sandi lewat telepon, suaranya getir. Aku menutup mata, mencoba menyembunyikan malu ketika memikirkan pertengkaran ini didengar oleh Pak Juan. Pak Juan mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya apa yang terjadi. "Sebentar ya Mas, Pak Juan ada di sini," bisikku dengan suara yang hampir tak terdengar, sambil memandang Pak Juan yang tampak penasaran. "Halah, kamu alasan saja. Kamu sudah tidak mau terima telepon dariku kan karena hidup kamu sudah enak di kota, jadi kamu mau menghindar dariku kan?" sindir Mas Sandi dengan nada sinis. Kepalaku menggeleng pelan, menyangkal. "Mas, kamu ngomong apa sih!" ucapku, kesal mewarnai suaraku. "Kenapa! Apa kamu sudah punya pengganti aku karena aku hanya orang cacat!" teriak Mas Sandi, suaranya meninggi, penuh emosi, lalu memutuskan sambungan telepon begitu saja. Wajahku memanas, pipi merah padam seraya menahan rasa terhina dan kesal yang bercampur menjadi satu. Aku tergagap, mencoba menjawab, tapi ponsel di tanganku tiba-tiba terjatuh. Pak Juan memungutnya, tapi tidak langsung memberikannya padaku. "Kamu baru saja bicara dengan suamimu?" tanyanya lagi, nadanya terdengar datar tapi penuh perhatian. Aku hanya mengangguk tak mampu berkata-kata. Tatapannya tajam seperti mencoba membaca pikiranku. "Dini, kadang kita harus memilih. Antara bertahan atau membebaskan diri," ucapnya tiba-tiba membuatku tertegun. Kata-kata itu menggema di pikiranku. Apa maksudnya? Apa yang sebenarnya ingin di katakan oleh Pak Juan? Kalimat Pak Juan terus terngiang di benakku saat aku berjalan kembali ke kamar. Pilihan? Apa aku benar-benar punya pilihan? Atau aku hanya terjebak dalam lingkaran tanggung jawab yang tak berujung? Di luar, suara hujan turun, seolah menggambarkan gejolak yang ada di dalam hatiku.Mentari pagi menyinari rumah kecil mereka dengan kehangatan yang lembut. Burung-burung berkicau di luar jendela, membawa suasana yang damai. Hari ini adalah hari yang spesial, hari yang akan menjadi awal dari babak baru dalam kehidupan keluarga kecil mereka. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan tangan Juan yang menggenggam tangannya dalam tidur. Ia menoleh dan melihat suaminya yang masih tertidur lelap di sampingnya, dengan napas yang teratur. Ia tersenyum, mengingat semua perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Tiba-tiba, sebuah suara kecil terdengar dari luar kamar mereka. “Mama! Papa! Bangun!” suara Dean terdengar ceria. Juan mengerjapkan matanya, lalu tersenyum ketika melihat Dini sudah terjaga. “Sepertinya kita harus bangun sebelum Dean menyerbu kamar kita,” katanya dengan suara serak karena baru bangun tidur. Dini terkekeh dan mengangguk. Mereka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, di mana Dean sudah berdiri dengan wajah antusias. “Mama, Pa
Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Sinar matahari yang hangat menembus jendela kamar, membangunkan Dini yang masih terlelap di sisi Juan. Ia mengerjapkan mata perlahan, lalu menoleh ke arah suaminya yang masih terlelap. Wajah Juan terlihat begitu damai dalam tidurnya, berbeda jauh dengan masa-masa ketika mereka harus menghadapi begitu banyak rintangan. Dini tersenyum, mengusap lembut wajah suaminya sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Usia kehamilannya kini telah memasuki bulan ke delapan, dan setiap harinya ia semakin menyadari bahwa hidup mereka akan segera berubah lagi. Saat ia berjalan ke ruang tamu, Dean sudah duduk di lantai dengan mainan-mainan berserakan di sekelilingnya. Bocah kecil itu menatapnya dengan senyum lebar. “Mama! Aku mimpi ketemu adikku tadi malam!” serunya penuh semangat. Dini terkekeh, lalu duduk di sofa dengan hati-hati. “Oh ya? Bagaimana rupanya?” Dean mengerutkan kening, mencoba mengingat. “Dia kecil, tapi lucu! Dan dia suka t
Matahari pagi menyinari rumah mereka dengan lembut, menandai awal hari yang baru. Dini membuka matanya perlahan, merasakan kehangatan di sampingnya. Juan masih tertidur dengan wajah tenang, napasnya teratur. Ia tersenyum kecil, lalu tanpa suara bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Di ruang tamu, Dean sudah terjaga lebih dulu, duduk di lantai sambil bermain dengan mobil-mobilannya. Bocah kecil itu menoleh saat melihat ibunya dan langsung tersenyum lebar. “Mama! Lihat, mobilku bisa jalan sendiri!” katanya antusias, menunjukkan mobil mainan bertenaga baterai yang baru dibelikan Juan kemarin. Dini tertawa kecil dan mengusap kepala Dean. “Hebat, Dean! Tapi jangan berisik dulu, ya. Papa masih tidur.” Dean mengangguk cepat, lalu kembali sibuk dengan mainannya. Sementara itu, Dini menuju dapur, berniat membuat sarapan spesial untuk pagi ini. *** Setelah beberapa saat, aroma harum kopi dan roti panggang mulai menyebar ke seluruh rumah. Juan akhirnya bangun, ber
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar tidur Juan dan Dini, membangunkan mereka dengan hangatnya. Dini menggeliat pelan, merasa nyaman dalam dekapan suaminya yang masih terlelap. Ia menatap wajah Juan yang tenang saat tidur, lalu tersenyum kecil. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. “PAPA! MAMA! BANGUN!” Dean berlari masuk ke kamar mereka dengan penuh semangat, langsung memanjat tempat tidur dan melompat-lompat di antara mereka. Juan mengerang pelan, membuka satu matanya. “Dean… ini masih pagi…” keluhnya setengah sadar. “Tapi aku lapar!” protes Dean sambil memeluk Dini. “Mama, ayo masak sesuatu yang enak!” Dini tertawa dan mengacak rambut putranya. “Baiklah, baiklah. Mama masak, tapi Dean bantu, ya?” Dean mengangguk antusias, lalu menarik tangan mamanya untuk segera ke dapur. Juan hanya bisa menghela napas dan bangun perlahan, tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu. *** Di dapur, Dini dan Dean sibuk membuat pancake. Dean, dengan cel
Matahari mulai condong ke barat saat Juan dan Dini tiba di rumah mereka. Setelah menghabiskan waktu bersama di kafe, keduanya memutuskan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sore dengan Dean. Begitu mereka membuka pintu, suara tawa kecil Dean menggema di dalam rumah. Anak kecil itu berlari ke arah mereka dengan wajah ceria. “Mama! Papa!” seru Dean, tangannya terangkat meminta gendongan. Juan dengan sigap mengangkat Dean ke dalam pelukannya, lalu mengecup pipi mungilnya. “Bagaimana harimu, Nak? Apa kamu bermain dengan baik hari ini?” Dean mengangguk semangat. “Dean main sama Tante Rina! Dia ajarin Dean gambar!” Dini melirik ke ruang tamu dan melihat Rina, sahabatnya, sedang membereskan beberapa kertas gambar yang penuh dengan coretan warna-warni. “Terima kasih sudah menjaga Dean, Rin,” kata Dini sambil mendekati sahabatnya. Rina tersenyum. “Tidak masalah. Dean anak yang pintar dan ceria. Tapi dia terus bertanya kapan Mama dan Papa pulang.” Dini tertawa kecil lalu me
Pagi itu, Juan sudah berada di ruang kerjanya, sibuk membaca berkas-berkas kasus yang harus ditangani. Sebagai seorang pengacara handal, ia memang selalu disibukkan dengan berbagai klien, tetapi sejak menikah dengan Dini dan menjadi ayah bagi Dean, ia mulai menyeimbangkan kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya. Di tengah kesibukannya, ponselnya bergetar. Nama Dini muncul di layar, membuatnya tersenyum sebelum segera mengangkatnya. “Halo, sayang,” sapa Juan dengan suara lembut. “Juan, kamu sibuk?” tanya Dini di seberang telepon. “Tidak terlalu. Ada apa?” “Aku butuh bantuanmu… bukan, lebih tepatnya, aku butuh pendapatmu. Bisa ke butik sebentar?” Juan mengerutkan kening, sedikit penasaran. “Ada masalah?” “Bukan masalah, sih. Tapi aku ingin kamu melihat sesuatu. Ayolah, ini penting,” bujuk Dini. Juan menghela napas kecil, lalu tersenyum. “Baiklah, aku akan ke sana dalam lima belas menit.” Setelah merapikan berkas-berkasnya, Juan segera meninggalkan kantornya dan menuju