LOGINKabut belum juga hilang meski pagi sudah lama datang. Dari jendela kamar, aku hanya melihat warna abu-abu yang menutup kebun belakang. Udara di dalam rumah pengap, berbau tanah basah bercampur anyir besi. Seolah-olah rumah ini menghirup darah malam dan menghembuskannya kembali di pagi hari.
Aku duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang. Seluruh tubuh masih lemas setelah kejadian semalam. Sosok Pak Lurah yang wajahnya berubah rata terus menghantui pikiranku. Apakah benar dia yang asli sempat datang? Ataukah sejak awal hanya jelmaan rumah ini?
Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca surat kakek sekali lagi. Tulisan tangannya, kasar dan bergetar, seperti ditulis dalam keadaan tergesa. “Jangan menjawab… jangan membuka… jangan bercermin…” Tiga larangan. Dan entah kenapa, makin aku membacanya, makin terasa seperti undangan.
Aku harus keluar, pikirku. Kalau tidak, aku akan gila.
Di warung kopi, beberapa warga menatapku dengan cara yang sama: cepat, waspada, lalu menunduk. Seolah-olah aku membawa penyakit yang bisa menular hanya dengan tatapan. Aku mencoba bicara dengan salah satu pemuda yang duduk di pojok, wajahnya kurus, kulitnya gelap terbakar matahari.
“Mas, saya Raka… cucunya Pak Surya.”
Pemuda itu menegang. “Aku tahu. Semua orang di sini tahu. Kamu harus hati-hati.”
“Hati-hati kenapa?”
Ia menoleh ke pintu warung, lalu berbisik, “Rumah itu… tidak pernah kosong. Bahkan waktu kakekmu meninggal, suara-suara masih terdengar. Kami tidak pernah berani mendekat.”
Aku menelan ludah. “Tapi… kenapa semua orang tetap diam? Kenapa tidak ada yang menolong?”
Pemuda itu menghela napas. “Karena rumah itu milik perjanjian. Bukan milik manusia lagi. Siapa pun yang ikut campur… hilang. Seperti Mbah Sumi.”
Aku menegakkan tubuh. “Penjaga rumah itu?”
Ia mengangguk cepat. “Dulu, waktu kau masih kecil, Mbah Sumi masih hidup. Dia yang terakhir tahu cara ‘berbicara’ dengan penunggu rumah. Tapi dia mati mendadak, badannya kering seperti dijemur matahari. Sejak itu, tidak ada lagi yang berani.”
Kembali ke rumah, aku memutuskan memeriksa setiap sudut. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa semua ini hanya permainan pikiran. Tapi langkahku berhenti di lorong timur.
Lorong itu gelap meski siang. Panjangnya sekitar sepuluh meter, di ujungnya ada pintu kayu retak yang setengah terbuka. Aku bisa melihat celah hitam di antara papan, menganga seperti mulut.
Aku berdiri di ambang lorong, tubuhku merinding. Udara dari sana dingin, menusuk kulit. Bau anyir bercampur harum bunga melati samar. Dan… suara.
Tok… tok… tok…
Langkah kaki. Sangat jelas. Mendekat perlahan.
Aku mundur setapak, tapi suaranya tetap semakin dekat. Hingga akhirnya, dari kegelapan, muncul sesuatu—bukan tubuh, bukan bayangan, melainkan jejak kaki basah di lantai. Jejak itu satu per satu bergerak ke arahku, meski tak ada sosok yang berjalan.
Aku membeku. Jejak itu berhenti hanya satu meter dariku. Lalu sebuah suara perempuan terdengar, lembut, nyaris berbisik di telingaku.
“Raka… kau ingat Ibu?”
Air mataku langsung menggenang. Itu suara yang sama, lagi. Tapi aku tahu aku tidak boleh menjawab. Aku menutup mulut dengan tangan, tubuh gemetar.
“Raka… sini, Nak. Ibu kangen.”
Aku mundur, lalu berlari ke ruang tamu. Suara itu tidak mengejar, tapi jejak kaki basah tetap tertinggal di lantai, berbaris rapi, berhenti di depan kursi tempat Pak Lurah duduk semalam.
Dan kursi itu… basah lagi.
Malam berikutnya, aku tidak bisa tidur. Aku duduk dengan lilin di meja, menatap pintu bawah tangga. Kunci bertanda benang merah masih terikat di pergelangan tanganku. Seakan kunci itu ikut bernapas, dinginnya semakin menusuk setiap jam berlalu.
Tepat pukul dua belas, suara lain muncul. Kali ini bukan dari lorong timur, melainkan dari dapur. Suara seseorang sedang mengaduk sendok di dalam gelas. Kling… kling… kling…
Aku berjalan perlahan ke dapur. Dan benar saja—di meja makan, ada cangkir putih bergambar bunga biru. Airnya masih mengepul, sendok di dalamnya berputar sendiri, meski tak ada tangan yang menggenggam.
Aku menelan ludah, lalu menatap cangkir itu. Dan saat itulah, aku melihatnya. Di kaca lemari dapur yang retak, pantulan diriku tidak sama. Mataku hitam seluruhnya, bibirku tersenyum lebar, dan di bahuku ada tangan pucat yang tidak nyata di tubuh asliku.
Aku terhuyung mundur. Cangkir itu pecah sendiri, air panasnya menyebar di lantai. Dan dalam genangan air itu, muncul lagi tiga koin kuningan. Nomornya sama: 301.
Apa maksudnya?
Keesokan paginya, aku kembali menemui Bu Murni. Ia terkejut melihatku masih hidup.
“Masih kuat kamu? Harusnya semalam sudah ada yang datang menjemput.”
“Apa maksud Ibu?” tanyaku.
Bu Murni menatapku lama, lalu berkata lirih, “Tiga malam sebelum purnama… rumah itu biasanya menagih tanda. Suara, bayangan, jejak… semua itu peringatan. Malam berikutnya… biasanya korban pertama jatuh.”
Aku membeku. “Korban?”
Ia mengangguk. “Tumbal awal. Supaya pintu tetap terbuka.”
Aku pulang dengan kepala berputar. Kalau benar, berarti malam ini akan lebih parah dari sebelumnya. Dan aku tidak tahu siapa yang akan jadi korban.
Sore itu, aku menerima pesan di ponsel dari sahabat lama, Andi. Ia bilang sudah sampai di desa, datang khusus menjengukku setelah mendengar kabar aku kembali ke rumah kakek.
Aku panik. Aku tidak ingin ada orang lain masuk ke rumah ini. Tapi sebelum sempat mencegah, Andi sudah berdiri di depan pagar, melambai ceria.
“Rakaaa! Lama banget nggak ketemu! Astaga, rumah ini… serem bener, ya.”
Aku buru-buru menyambutnya. “Andi, kamu nggak boleh di sini. Ini bukan tempat aman.”
Tapi Andi hanya tertawa. “Ah, kamu terlalu banyak baca cerita horor. Ayo masuk, gue mau lihat koleksi harta kakekmu. Siapa tahu ada barang antik.”
Aku ingin menolak, tapi Andi sudah masuk. Dan rumah itu… seolah senang dengan kedatangannya. Udara langsung berubah lebih dingin, pintu menutup sendiri dengan keras, dan lilin di meja menyala padahal tak kusentuh.
Aku tahu, malam ini rumah tua sudah memilih tumbal barunya.
“Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak
Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal
Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d
Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe
Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i
Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua







