แชร์

Malam Tumbal Pertama

ผู้เขียน: M. Haz Bey
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-27 23:22:06

Andi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.

“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”

Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.

“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”

“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”

Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.

Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”

Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.”


Kami duduk di ruang tamu. Lilin-lilin menyala sendiri, lima sekaligus, padahal aku hanya menyalakan satu tadi siang. Api mereka bergoyang pelan, seakan menari mengikuti napas yang tidak terlihat.

“Andi,” kataku lirih, “kalau nanti kamu dengar ada yang memanggil nama, jangan jawab. Apa pun yang terjadi. Mengerti?”

Ia tertawa kecil. “Rak, serius amat. Iya, iya. Gue nggak akan jawab.”

Tapi tawa itu terputus ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu bawah tangga. Duk… duk… duk… Perlahan, tapi penuh ritme.

Andi bangkit, penasaran. “Itu apa? Tikus?”

Aku buru-buru menahan lengannya. “Jangan, Andi. Jangan buka.”

“Kenapa?”

Aku menelan ludah. “Kunci itu… hanya untuk pintu itu. Dan kalau terbuka, kita nggak tahu apa yang keluar.”

Andi menatapku heran, lalu menoleh ke pintu. Senyumnya perlahan hilang. Dari celah bawah pintu, sesuatu merembes keluar—air hitam pekat, berbau amis.

“Rak…” suaranya mulai bergetar. “Itu… bukan tikus, kan?”

Aku hanya bisa menggeleng.


Malam semakin pekat. Tepat pukul dua belas, suara gamelan samar terdengar dari halaman belakang. Nada pelog yang tidak beraturan, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang tidak mengenal irama.

Andi menelan ludah. “Lo yang nyetel musik?”

Aku menggeleng. “Itu… suara pesugihan.”

Tiba-tiba, dari dapur, terdengar suara sendok beradu lagi. Kling… kling… kling… Cangkir yang pecah semalam kini utuh kembali di meja, air panas mengepul di dalamnya. Dan kali ini bukan sendok yang berputar, melainkan jari pucat yang muncul dari dalam air, mengaduk perlahan.

Andi mundur. “Astaga… Rak…”

Aku menariknya, tapi sebelum sempat lari, suara dari lorong timur kembali terdengar.

“Andi…”

Suara itu bukan memanggilku, tapi dia. Suara perempuan lembut, penuh bujuk.

“Andi… sini. Aku sudah menunggu…”

Andi terpaku. Matanya kosong. Bibirnya bergerak, hampir menjawab. Aku menampar pipinya keras. “Jangan! Itu bukan manusia!”

Ia tersadar sesaat, tapi suara itu makin dekat. Dan kali ini, di ujung lorong, terlihat bayangan perempuan berbaju putih, rambut panjang menutupi wajah. Tubuhnya basah, meneteskan air ke lantai.

Andi berteriak. “Siapa itu?!”

Aku menariknya berlari ke kamar depan, menutup pintu rapat-rapat. Suara langkah mengejar dari lorong, semakin keras, semakin cepat.


Di dalam kamar, kami duduk kehabisan napas. Lilin kecil satu-satunya berkedip-kedip, seakan akan mati.

“Rak,” kata Andi gemetar, “apa yang sebenernya terjadi di rumah ini?”

Aku menutup wajah. “Kakekku… dulu membuat perjanjian. Pesugihan. Rumah ini haus tumbal.”

Andi menatapku dengan ketakutan. “Lo bercanda, kan? Itu cuma mitos…”

Belum sempat aku menjawab, pintu kamar bergetar keras. Duk! Duk! Duk!

Suara itu disusul bisikan dari celah pintu. “Andi… bukakan… aku ibumu…”

Andi langsung pucat. “Rak… suaranya sama persis…”

Aku menahan pundaknya. “Itu bukan ibumu! Jangan dengarkan!”

Pintu terus bergetar. Kunci pintu berputar sendiri, meski tidak ada yang menyentuh. Aku buru-buru mendorong lemari ke depan pintu.

Tapi suara itu berubah. Kali ini bukan lembut, melainkan penuh amarah.

“Buka, Andi! Kau sudah dipanggil!”

Suara itu menggema, membuat kaca jendela bergetar.


Lilin padam. Gelap total.

Dalam kegelapan itu, aku mendengar Andi berbisik. “Rak… aku lihat sesuatu…”

“Apa?” tanyaku, suara tercekat.

“Ada wajah… di pojok kamar…”

Aku memicingkan mata, berusaha melihat. Dan benar—di pojok gelap, ada wajah pucat melayang. Tanpa tubuh. Matanya hitam, mulutnya sobek sampai telinga. Ia tersenyum.

Andi menjerit. Wajah itu melayang mendekat, semakin cepat. Aku menarik Andi keluar lewat jendela, kaca pecah, kami terjun ke halaman.

Udara luar dingin membekukan, tapi lebih baik daripada terjebak di kamar itu.


Kami berlari ke sumur belakang. Tapi langkah Andi melambat. Tubuhnya gemetar, matanya kosong lagi.

“Andi! Jangan berhenti!” teriakku.

Ia menoleh padaku, dan wajahnya berubah pucat pasi. Bibirnya terbuka, tapi yang keluar bukan suaranya.

“Bayar… bayar… bayar…”

Aku mundur, ngeri. Itu bukan Andi lagi. Suara yang keluar adalah suara boneka di sumur.

Dan tepat saat itu, tali timba bergerak sendiri. Dari dalam sumur, boneka kain itu naik lagi, meneteskan air hitam. Kali ini, boneka itu tidak diam. Ia mengangkat kepala, menatap Andi dengan mata kancingnya.

Andi berteriak, lalu tubuhnya ditarik ke depan seolah-olah ada tangan yang mencengkeram kakinya. Ia terjatuh, terseret mendekati sumur.

“Andi!” Aku meraih lengannya, menarik sekuat tenaga. Tapi tarikan dari bawah lebih kuat.

Air sumur bergolak, tangan-tangan pucat bermunculan, menarik Andi ke dalam. Ia menjerit, wajahnya penuh ketakutan. “Rakaaa! Tolong!”

Aku menggenggamnya, tapi perlahan pegangan itu lepas. Jari-jarinya menghilang satu per satu ke dalam sumur. Dan akhirnya—plung!—ia lenyap ditelan air.

Sumur kembali tenang.

Hanya boneka kain yang tertinggal, terapung di permukaan, tersenyum dengan mulut sobeknya.


Aku terduduk di tanah, tubuhku gemetar hebat. Air mata mengalir, tapi rumah ini seakan menelan isakku. Tidak ada suara keluar dari mulutku.

Di kejauhan, gamelan kembali berbunyi. Pelan, teratur, seperti musik kemenangan.

Dan aku tahu, rumah tua ini baru saja menerima tumbal pertamanya.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Panggilan Kedua

    Aku masih berlutut di depan sumur, napasku tersengal. Udara malam menusuk tulang, tapi tubuhku dipenuhi keringat dingin. Boneka kain itu kini duduk di bibir sumur, kepalanya miring ke samping seperti anak kecil yang sedang bermain. Matanya yang terbuat dari kancing hitam menatapku tanpa berkedip, sementara senyum sobeknya semakin lebar.“Andi…” suaraku parau. “Apa yang mereka lakukan padamu…”Namun aku tahu, itu bukan lagi Andi. Tidak ada yang bisa mengembalikan sahabatku. Yang tersisa hanyalah tubuh kosong yang dikendalikan kutukan rumah ini.Dari arah rumah, pintu depan terbuka pelan. Engselnya berdecit panjang, diikuti suara langkah menyeret yang semakin mendekat. Aku tidak perlu menoleh untuk tahu—Andi, atau sosok yang menyerupainya, sedang datang ke arahku.Aku bangkit tergesa, berlari ke arah kebun belakang. Pohon-pohon bambu bergoyang keras meski angin tidak berhembus. Suara bisikan mengikuti setiap langkahku.“Rakha… jangan lari… giliranmu…”Aku menutup telinga, tapi bisikan i

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Tumbal Pertama

    Aku terduduk lemas di tanah berumput basah, tubuh gemetar tanpa bisa kukendalikan. Nafasku memburu, bercampur dengan isak yang kutahan di tenggorokan. Mataku tak lepas dari sumur tua di hadapanku—airnya yang gelap sudah kembali tenang, seakan tak pernah menyeret Andi ke dalam. Namun, di permukaan, boneka kain itu masih terapung. Mulut sobeknya membentuk senyum dingin yang menusuk.“Andi…” bisikku lirih, serak. “Kenapa harus kamu…”Aku ingin menjerit, tapi tak ada suara keluar. Hanya dada yang sesak dan tubuhku yang semakin lemah. Suasana malam makin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bau amis yang menusuk hidung. Gamelan samar terdengar lagi dari arah belakang rumah—pelog sumbang, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang patah.Aku berusaha berdiri, tapi lututku goyah. Dalam kepalaku, bayangan wajah Andi saat ditarik ke sumur terus terputar. Tangannya meraih, suaranya memanggil, dan aku… gagal menyelamatkannya. Rasa bersalah mencengkram dadaku, lebih berat daripada ketakutan it

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Malam Tumbal Pertama

    Andi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Lorong yang Tidak Pernah Sepi

    Kabut belum juga hilang meski pagi sudah lama datang. Dari jendela kamar, aku hanya melihat warna abu-abu yang menutup kebun belakang. Udara di dalam rumah pengap, berbau tanah basah bercampur anyir besi. Seolah-olah rumah ini menghirup darah malam dan menghembuskannya kembali di pagi hari.Aku duduk di lantai, punggung bersandar ke ranjang. Seluruh tubuh masih lemas setelah kejadian semalam. Sosok Pak Lurah yang wajahnya berubah rata terus menghantui pikiranku. Apakah benar dia yang asli sempat datang? Ataukah sejak awal hanya jelmaan rumah ini?Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca surat kakek sekali lagi. Tulisan tangannya, kasar dan bergetar, seperti ditulis dalam keadaan tergesa. “Jangan menjawab… jangan membuka… jangan bercermin…” Tiga larangan. Dan entah kenapa, makin aku membacanya, makin terasa seperti undangan.Aku harus keluar, pikirku. Kalau tidak, aku akan gila.Di warung kopi, beberapa warga menatapku dengan cara yang sama: cepat, waspada, lalu menunduk. Seolah-ol

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Tamu yang Tidak Diundang

    Malam turun dengan cara yang aneh. Langit di luar seharusnya masih menyisakan cahaya jingga, tapi rumah ini menelannya lebih cepat. Jam dinding di ruang tamu masih terhenti di pukul 19.45, padahal ponselku jelas menunjukkan lewat pukul delapan. Seakan-akan, waktu di dalam rumah ini berjalan dengan aturan sendiri, dan aku hanyalah tamu yang tersesat di dalamnya.Aku sedang duduk di kursi jati tua, berusaha membaca surat kakek sekali lagi, ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu depan. Duk! Duk! Duk! Tiga kali, cepat, mendesak.Aku merinding. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang panik, bukan sekadar tamu yang ingin berkunjung.Aku berdiri perlahan. “Siapa?” tanyaku dengan suara yang kupaksakan tegas.Tidak ada jawaban.Ketukan berhenti sejenak, lalu sebuah suara berat menyusul dari luar. Suara seorang pria tua, serak, tapi jelas:“Buka, Nak. Ini Pak Lurah. Ada hal penting yang harus kau tahu.”Aku tertegun. Pak Lurah. Nama itu sempat disebut Bu Murni siang tadi. Katanya,

  • Perjanjian Gaib Untuk Kekayaan   Bisikan di Balik Sumur

    Senter di tanganku meredup. Aku menutup mata sejenak, dan ketika kubuka, sosok itu sudah tidak ada. Hanya masih ada jejak air di anak tangga pertama sampai ketiga, menghilang di tangga keempat seakan ditelan kayu.Aku mundur ke meja kerja, mengais tas ransel, mencari korek dan lilin kecil yang selalu kubawa. Satu percikan, sumbu menyala, dan ruangan berubah: cahaya lilin membikin bayangan bergerak lebih hidup, lebih licik. Aku meletakkan lilin di dekat amplop surat, lalu menatap lagi potret kakek. Gelap di matanya kini tampak seperti lubang yang dalam, satu lubang bagiku untuk jatuh.“Kau menulis jangan menjawab panggilan dari lorong timur,” kataku, pura-pura berani. “Kalau ada yang memanggil dari sana, apa yang terjadi kalau kujawab?”Rumah bertenang. Lalu, seolah menjawab ucapanku, dari lorong sebelah kanan—lorong timur—ada sesuatu yang menyeret pelan di lantai, seperti karung berisi pasir. Tidak keras. Tidak kasar. Nyaris lembut. Tetapi cukup untuk menggurat kulit hatiku dengan kuk

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status