LOGINAndi menatap sekeliling rumah dengan mata berbinar, seolah-olah sedang berkunjung ke museum tua, bukan ke sarang kutukan. Ia menepuk bahuku dengan tawa lepas.
“Rak, gila. Rumah kakekmu keren banget! Kayak rumah di film-film horor. Pantes kamu kelihatan pucat, pasti tiap malam kebayang pocong, ya?”
Aku hanya menelan ludah. Ingin sekali aku berteriak padanya untuk pergi, tapi entah kenapa lidahku kelu. Seolah rumah ini tidak mengizinkan kata “keluar” terucap dari mulutku.
“Andi, dengar aku,” kataku pelan. “Kamu tidak boleh bermalam di sini. Ada sesuatu—”
“Yaelah,” potongnya. “Gue udah booking penginapan di desa, kok. Tenang aja. Cuma mampir sebentar. Paling sejam dua jam.”
Aku ingin lega, tapi rumah ini seakan tahu. Dari arah lorong timur, terdengar suara kriiit… kriiit… kayu yang bergeser. Jejak kaki basah muncul lagi di lantai, merayap pelan mendekat.
Andi memicingkan mata. “Eh, ini apaan? Kamu sengaja bikin efek biar gue takut, ya?”
Aku memegang lengannya. “Bukan aku. Itu… bukan aku.”
Kami duduk di ruang tamu. Lilin-lilin menyala sendiri, lima sekaligus, padahal aku hanya menyalakan satu tadi siang. Api mereka bergoyang pelan, seakan menari mengikuti napas yang tidak terlihat.
“Andi,” kataku lirih, “kalau nanti kamu dengar ada yang memanggil nama, jangan jawab. Apa pun yang terjadi. Mengerti?”
Ia tertawa kecil. “Rak, serius amat. Iya, iya. Gue nggak akan jawab.”
Tapi tawa itu terputus ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu bawah tangga. Duk… duk… duk… Perlahan, tapi penuh ritme.
Andi bangkit, penasaran. “Itu apa? Tikus?”
Aku buru-buru menahan lengannya. “Jangan, Andi. Jangan buka.”
“Kenapa?”
Aku menelan ludah. “Kunci itu… hanya untuk pintu itu. Dan kalau terbuka, kita nggak tahu apa yang keluar.”
Andi menatapku heran, lalu menoleh ke pintu. Senyumnya perlahan hilang. Dari celah bawah pintu, sesuatu merembes keluar—air hitam pekat, berbau amis.
“Rak…” suaranya mulai bergetar. “Itu… bukan tikus, kan?”
Aku hanya bisa menggeleng.
Malam semakin pekat. Tepat pukul dua belas, suara gamelan samar terdengar dari halaman belakang. Nada pelog yang tidak beraturan, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang tidak mengenal irama.
Andi menelan ludah. “Lo yang nyetel musik?”
Aku menggeleng. “Itu… suara pesugihan.”
Tiba-tiba, dari dapur, terdengar suara sendok beradu lagi. Kling… kling… kling… Cangkir yang pecah semalam kini utuh kembali di meja, air panas mengepul di dalamnya. Dan kali ini bukan sendok yang berputar, melainkan jari pucat yang muncul dari dalam air, mengaduk perlahan.
Andi mundur. “Astaga… Rak…”
Aku menariknya, tapi sebelum sempat lari, suara dari lorong timur kembali terdengar.
“Andi…”
Suara itu bukan memanggilku, tapi dia. Suara perempuan lembut, penuh bujuk.
“Andi… sini. Aku sudah menunggu…”
Andi terpaku. Matanya kosong. Bibirnya bergerak, hampir menjawab. Aku menampar pipinya keras. “Jangan! Itu bukan manusia!”
Ia tersadar sesaat, tapi suara itu makin dekat. Dan kali ini, di ujung lorong, terlihat bayangan perempuan berbaju putih, rambut panjang menutupi wajah. Tubuhnya basah, meneteskan air ke lantai.
Andi berteriak. “Siapa itu?!”
Aku menariknya berlari ke kamar depan, menutup pintu rapat-rapat. Suara langkah mengejar dari lorong, semakin keras, semakin cepat.
Di dalam kamar, kami duduk kehabisan napas. Lilin kecil satu-satunya berkedip-kedip, seakan akan mati.
“Rak,” kata Andi gemetar, “apa yang sebenernya terjadi di rumah ini?”
Aku menutup wajah. “Kakekku… dulu membuat perjanjian. Pesugihan. Rumah ini haus tumbal.”
Andi menatapku dengan ketakutan. “Lo bercanda, kan? Itu cuma mitos…”
Belum sempat aku menjawab, pintu kamar bergetar keras. Duk! Duk! Duk!
Suara itu disusul bisikan dari celah pintu. “Andi… bukakan… aku ibumu…”
Andi langsung pucat. “Rak… suaranya sama persis…”
Aku menahan pundaknya. “Itu bukan ibumu! Jangan dengarkan!”
Pintu terus bergetar. Kunci pintu berputar sendiri, meski tidak ada yang menyentuh. Aku buru-buru mendorong lemari ke depan pintu.
Tapi suara itu berubah. Kali ini bukan lembut, melainkan penuh amarah.
“Buka, Andi! Kau sudah dipanggil!”
Suara itu menggema, membuat kaca jendela bergetar.
Lilin padam. Gelap total.
Dalam kegelapan itu, aku mendengar Andi berbisik. “Rak… aku lihat sesuatu…”
“Apa?” tanyaku, suara tercekat.
“Ada wajah… di pojok kamar…”
Aku memicingkan mata, berusaha melihat. Dan benar—di pojok gelap, ada wajah pucat melayang. Tanpa tubuh. Matanya hitam, mulutnya sobek sampai telinga. Ia tersenyum.
Andi menjerit. Wajah itu melayang mendekat, semakin cepat. Aku menarik Andi keluar lewat jendela, kaca pecah, kami terjun ke halaman.
Udara luar dingin membekukan, tapi lebih baik daripada terjebak di kamar itu.
Kami berlari ke sumur belakang. Tapi langkah Andi melambat. Tubuhnya gemetar, matanya kosong lagi.
“Andi! Jangan berhenti!” teriakku.
Ia menoleh padaku, dan wajahnya berubah pucat pasi. Bibirnya terbuka, tapi yang keluar bukan suaranya.
“Bayar… bayar… bayar…”
Aku mundur, ngeri. Itu bukan Andi lagi. Suara yang keluar adalah suara boneka di sumur.
Dan tepat saat itu, tali timba bergerak sendiri. Dari dalam sumur, boneka kain itu naik lagi, meneteskan air hitam. Kali ini, boneka itu tidak diam. Ia mengangkat kepala, menatap Andi dengan mata kancingnya.
Andi berteriak, lalu tubuhnya ditarik ke depan seolah-olah ada tangan yang mencengkeram kakinya. Ia terjatuh, terseret mendekati sumur.
“Andi!” Aku meraih lengannya, menarik sekuat tenaga. Tapi tarikan dari bawah lebih kuat.
Air sumur bergolak, tangan-tangan pucat bermunculan, menarik Andi ke dalam. Ia menjerit, wajahnya penuh ketakutan. “Rakaaa! Tolong!”
Aku menggenggamnya, tapi perlahan pegangan itu lepas. Jari-jarinya menghilang satu per satu ke dalam sumur. Dan akhirnya—plung!—ia lenyap ditelan air.
Sumur kembali tenang.
Hanya boneka kain yang tertinggal, terapung di permukaan, tersenyum dengan mulut sobeknya.
Aku terduduk di tanah, tubuhku gemetar hebat. Air mata mengalir, tapi rumah ini seakan menelan isakku. Tidak ada suara keluar dari mulutku.
Di kejauhan, gamelan kembali berbunyi. Pelan, teratur, seperti musik kemenangan.
Dan aku tahu, rumah tua ini baru saja menerima tumbal pertamanya.
“Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak
Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal
Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d
Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe
Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i
Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua







