LOGINMalam turun dengan cara yang aneh. Langit di luar seharusnya masih menyisakan cahaya jingga, tapi rumah ini menelannya lebih cepat. Jam dinding di ruang tamu masih terhenti di pukul 19.45, padahal ponselku jelas menunjukkan lewat pukul delapan. Seakan-akan, waktu di dalam rumah ini berjalan dengan aturan sendiri, dan aku hanyalah tamu yang tersesat di dalamnya.
Aku sedang duduk di kursi jati tua, berusaha membaca surat kakek sekali lagi, ketika suara ketukan keras terdengar dari pintu depan. Duk! Duk! Duk! Tiga kali, cepat, mendesak.
Aku merinding. Ketukan itu terdengar seperti seseorang yang panik, bukan sekadar tamu yang ingin berkunjung.
Aku berdiri perlahan. “Siapa?” tanyaku dengan suara yang kupaksakan tegas.
Tidak ada jawaban.
Ketukan berhenti sejenak, lalu sebuah suara berat menyusul dari luar. Suara seorang pria tua, serak, tapi jelas:
“Buka, Nak. Ini Pak Lurah. Ada hal penting yang harus kau tahu.”
Aku tertegun. Pak Lurah. Nama itu sempat disebut Bu Murni siang tadi. Katanya, hanya lurah yang masih menyimpan cerita lama tentang rumah ini. Suaranya terdengar begitu nyata, tapi keraguan tetap mencengkeram. Surat kakek berulang di kepalaku: jangan menjawab jika ada yang memanggil…
Namun kali ini bukan panggilan samar, bukan bisikan dari lorong. Ini suara yang tegas, menyebut dirinya, memberi alasan untuk masuk. Aku mengambil napas panjang, meraih gagang pintu, lalu membuka sedikit celah.
Seorang pria tua berdiri di sana. Tinggi, tubuhnya masih tegap meski kurus. Ia memakai peci hitam, sarung cokelat, dan kemeja putih yang sudah menguning di bagian kerah. Wajahnya keras dengan keriput dalam. Matanya merah, mungkin karena sering menghisap kretek. Ia menatapku sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Boleh saya masuk?” tanyanya.
Aku menimbang sejenak, lalu mengangguk. “Silakan, Pak.”
Kami duduk berhadapan di ruang tamu. Lilin kecil di meja masih menyala, menebarkan cahaya oranye yang memantul di dinding dan potret kakek. Suasana jadi lebih mencekam daripada hangat.
Pak Lurah menatap sekeliling, matanya berhenti lama pada potret kakek di dinding. “Jadi… kau cucunya Surya.”
Aku mengangguk.
“Berarti kau sudah melihat sesuatu.”
Aku menelan ludah. “Maksud Bapak…?”
Ia mencondongkan tubuh, suaranya merendah. “Rumah ini bukan sekadar warisan. Ini adalah pintu. Dan setiap pintu… ada yang menjaga. Ada yang meminta bayaran.”
Aku merinding. Kata-katanya bukan sekadar penjelasan; lebih seperti kalimat yang sudah lama dipendam, kalimat yang berat di lidah tapi harus diucapkan.
“Bayaran apa, Pak?”
“Pesugihan,” jawabnya singkat.
Aku menegang. Kata itu sudah berulang kali kudengar sejak kemarin. “Jadi benar? Kakek saya…?”
Pak Lurah menghela napas panjang, wajahnya semakin berat. “Surya dulu orang pertama di desa ini yang berani. Ia membuat perjanjian. Setiap tiga puluh tahun, rumah ini harus memberi tumbal. Kalau tidak… keluarga yang akan jadi korban. Itu sebabnya kau dipanggil pulang. Rumah ini sedang lapar.”
Aku merasa darahku berhenti mengalir sejenak. “Jadi suara-suara itu… boneka di sumur… semuanya?”
Pak Lurah mengangguk pelan. “Itu baru permulaan. Kau belum melihat yang sebenarnya.”
Aku ingin bertanya lebih jauh ketika tiba-tiba suara langkah terdengar dari lorong timur. Tok… tok… tok… Perlahan, teratur, mendekat.
Aku menoleh, tubuhku kaku. “Bapak dengar?”
Pak Lurah menatap ke lorong, wajahnya menegang. “Dengar. Tapi jangan hiraukan. Jangan pernah menjawab.”
Langkah itu berhenti. Sunyi sebentar, lalu sebuah suara perempuan terdengar dari kegelapan. Suara lembut, hangat, menusuk jantungku.
“Raka… sini, Nak. Ibu sudah menunggu…”
Aku membeku. Itu suara ibu. Sama persis. Nada, intonasi, bahkan cara memanggilku—semuanya. Padahal aku tahu betul ibu sudah meninggal bertahun lalu. Air mataku nyaris pecah, mulutku hampir merespons, ketika Pak Lurah menepuk bahuku keras.
“Diam!” bisiknya tajam. “Itu bukan ibumu. Itu penjaga pintu.”
Aku menggigit bibir hingga terasa asin. Suara itu memanggil lagi, lebih lembut, lebih menyayat. Aku menutup telinga, tapi getarannya terasa langsung menembus tulang. Lilin di meja bergetar, apinya meliuk panjang seolah diterpa angin besar yang sebenarnya tak ada.
Lalu, hening.
Pak Lurah berdiri, wajahnya pucat. “Aku tak bisa lama di sini. Ingat baik-baik: jangan buka pintu bawah tangga sampai waktunya tiba. Dan kalau kau mendengar suara yang kau kenal, biarkan saja. Mereka hanya meniru. Mereka lapar, tapi jangan beri mereka makan.”
Aku mengangguk, meski tubuhku masih gemetar. “Pak… kalau memang rumah ini minta tumbal, lalu apa yang harus saya lakukan?”
Pak Lurah menatapku lama, matanya berkilat samar dalam cahaya lilin. “Cepat atau lambat, kau harus memilih: jadi pemberi, atau jadi persembahan.”
Kata-kata itu menancap seperti paku di kepalaku.
Aku berdiri, mengantarnya sampai depan pintu. Udara malam dingin sekali. Kabut turun lebih tebal, hampir menutup pagar. Pak Lurah menoleh sebentar sebelum melangkah pergi. “Ingat, Nak. Tiga malam lagi purnama. Itu waktunya. Bersiaplah.”
Ia berjalan perlahan ke jalan desa, bayangannya hilang ditelan kabut.
Aku menutup pintu dengan hati-hati, lalu berbalik.
Dan di saat itulah aku sadar—kursi tempat Pak Lurah duduk masih basah. Ada genangan kecil di lantai kayu. Aku meraba… airnya dingin sekali, berbau amis, persis seperti air sumur di belakang rumah.
Aku terduduk di lantai, memelototi kursi itu. Pikiranku berputar. Bagaimana mungkin? Apakah tadi benar-benar Pak Lurah? Atau hanya peniru lain, sama seperti suara ibuku?
Aku menoleh ke jendela. Dari balik kaca, samar-samar aku melihat sosok Pak Lurah masih berdiri di luar pagar, tidak bergerak. Bayangannya kabur dalam kabut, tapi aku bisa mengenali peci hitamnya. Ia berdiri saja, menatap rumah.
Aku mendekat ke jendela. Saat jarak tinggal satu meter, aku sadar sesuatu: wajahnya tidak ada. Kosong, rata, hanya kulit pucat.
Aku mundur terhuyung. Sosok itu tiba-tiba mengangkat tangan, melambaikan pelan ke arahku.
Lilin di meja padam dengan sendirinya.
Dan rumah pun kembali gelap.
“Aku… atur pintu!”Angin melambat. Suara-suara yang tadi banyak surut ke tepi, seperti air yang menolak menggenang. Boneka kain menoleh padaku—aku bersumpah ia kecewa—lalu ia duduk. Bayangan di tanah menyusut, menyisakan garis tipis pada tepi genteng.Prawira menghela napas. “Bagus. Tahap angin selesai.”Namun sebelum kami sempat turun, pintu rumah depan terbuka. Seorang perempuan muda masuk begitu saja, langkahnya cepat. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya dingin, tapi mata—mata itu—kosong. Ia naik tangga ke atap tanpa memedulikan larangan. Sinta hendak menghalangi, namun perempuan itu menyibakkan tangan Sinta seperti menyibak kain. Aku terpana; ada tenaga dingin di gerakannya, bukan tenaga otot.“Siapa kamu?” tanya Prawira, suaranya tenang lagi, tapi matanya bersiaga.Perempuan itu berdiri di hadapanku, terlalu dekat. Parfum murah bercampur bau lembap. Bibirnya bergerak, tapi yang keluar bukan suaranya. “Kunci,” katanya—kata itu terdengar dari perut, bukan dari tenggorokan. “Ikut.”Ak
Malam setelah kami kembali dari makam Ki Jana, aku tidak tidur. Dengung di dada tidak lagi datang sebagai dua ketukan ragu, melainkan langkah-langkah kecil yang mondar-mandir, seperti sesuatu yang gelisah mencari celah. Aku duduk di lantai kamar kos baru—sementara—yang kubooking untuk tiga malam ke depan. Kos lama masih digaris polisi; warga menyalakan dupa, menabur garam, dan berdoa agar “kebakaran” semacam itu tidak terulang. Di koridor kos baru, suara televisi tetangga memutar sinetron, butiran tawa kaleng memantul di dinding tipis.Sinta mengirim pesan: “Besok pagi ada orang yang bisa kita temui. Namanya Pak Prawira. Penyintas. Dulu pernah bantu tetanggaku soal gangguan.”Pagi menjelang, aku bertemu Sinta di gang pasar. Ia membawa termos kecil, menyodorkan padaku. “Wedang jahe. Kau masih pucat.”Aku menghirup hangatnya, mengangguk. “Terima kasih.”Kami berjalan menembus gang yang makin sempit, melewati pintu-pintu kayu yang dicat hijau pudar. Di ujung gang itu ada rumah dengan hal
Sehari setelah aku cukup kuat untuk berjalan, aku keluar dari rumah sakit. Sinta yang menemaniku membawa kantong plastik berisi obat, sementara aku berjalan pelan dengan langkah tertatih. Setiap orang yang kami lewati menatapku aneh—mungkin karena perban di dadaku, mungkin karena berita tentang kebakaran kos sudah menyebar. Aku mendengar bisik-bisik lirih: “Itu anak yang selamat…” atau “Katanya ada yang aneh malam itu.”Aku menunduk, tidak peduli. Yang lebih berat dari tatapan mereka adalah dengung rendah yang masih sesekali muncul dari dadaku. Dua ketukan… kadang tiga… seakan-akan ada sesuatu yang mulai belajar berbicara dengan bahasa tulangku sendiri.Sinta menggenggam lenganku. “Kau yakin sudah cukup kuat keluar?”Aku mengangguk. “Kalau aku diam di rumah sakit, aku hanya akan jadi tontonan. Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya kakekku lakukan dulu. Semua ini tidak akan berhenti kalau kita tidak tahu asalnya.”Kami berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan. Aku butuh duduk, d
Aku membuka mata dengan susah payah, cahaya putih menyengat retina. Udara berbau obat antiseptik menusuk hidungku. Mesin di samping ranjang berbunyi ritmis, menandai detak jantungku. Untuk sesaat aku berpikir aku sudah mati dan ini adalah ruang tunggu menuju akhirat.Tapi suara seseorang memanggilku.“Rakha…”Aku menoleh pelan. Sinta duduk di kursi dekat ranjang. Wajahnya lelah, mata sembab, rambut acak-acakan. Begitu ia melihatku sadar, ia langsung berdiri, menatapku penuh lega.“Kau bangun juga,” katanya pelan. Suaranya serak, tapi penuh harapan.Aku mencoba bicara, tapi tenggorokanku kering. “Di… mana… ini?”“Rumah sakit kota,” jawabnya cepat. “Kau pingsan setelah… setelah malam itu.”Aku menutup mata, mencoba menahan ingatan. Malam itu. Bayangan besar, boneka terbakar, darahku, jeritan Wira. Aku gemetar. “Yang lain… selamat?”Wajah Sinta menegang. Ia menunduk, menatap lantai. “Beberapa. Tapi tidak semuanya.”Aku menunggu, hatiku berdegup kencang.“Wira… dia meninggal.” Suaranya pe
Malam itu, aku tahu sesuatu akan terjadi. Sejak sore, tanda di dadaku berdenyut lebih kencang dari biasanya, seolah gong dipukul berulang-ulang dari dalam tulang. Nafasku terasa berat, langkahku limbung. Aku duduk di ranjang kamar kos, memandang jendela yang tertutup tirai. Di luar, suara kota terdengar biasa: motor melintas, anak-anak berteriak, radio tetangga memutar lagu dangdut. Tapi di dalam kamar, udara menebal, pekat, seperti ada dinding lain yang menutup rapat.Aku mencoba menggambar lingkaran dengan kapur di lantai, menyiapkan mangkuk air untuk menampung darah. Sudah tiga malam berturut-turut aku melakukan ini, dan selalu berhasil menahan bayangan agar tetap di dalam. Tapi malam ini berbeda. Tanda di dadaku menolak tenang. Setiap kali aku mencoba menggoreskan keris ke kulit untuk meneteskan darah, bilahnya terasa panas, bukan dingin. Seakan-akan benda itu menolak.Jam dinding berdentang dua belas kali.Dinginnya langsung menusuk.Bayangan gelap muncul di pojok ruangan, kali i
Kota menyambutku dengan hiruk-pikuk yang asing, tapi anehnya menenangkan. Jalanan ramai, pedagang berteriak, klakson bersahutan, dan aroma gorengan bercampur asap knalpot memenuhi udara. Semua ini mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, setelah malam-malam di rumah kakek, keramaian seperti ini terasa seperti pelukan. Aku duduk di bangku terminal, memandang orang-orang berlalu-lalang. Anak kecil berlari mengejar balon, remaja bercanda sambil membawa tas sekolah, ibu-ibu menawar harga sayur. Dunia seakan berkata, “Kau masih hidup, Rakha. Kau masih bagian dari kami.”Namun aku tahu, hidupku tidak akan pernah benar-benar sama. Di dada, tanda hitam samar yang kutulis dengan darahku berdenyut pelan, seolah mengingatkanku: aku membawa sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kuletakkan begitu saja.Aku mencari tempat untuk tinggal. Tidak mungkin aku kembali ke losmen kecil tempat boneka itu muncul. Aku berjalan ke arah barat kota, ke kawasan yang lebih sepi. Akhirnya kutemukan rumah kos tua, dua







