Share

Bab 3

"Pak Yogi, saya belum selesai makan, Pak," terangku dengan menahan diri dari tarikan tangan Pak Yogi.

"Kanaya, cukup!" jawabnya sembari menutup bibirku dengan jari telunjuknya. 

Aku langsung terdiam dengan tatapan yang terarah pada laki-laki tampan tersebut. Ih ... apa-apaan sih, Kanaya? Ingat ya, nikah enam bulan saja. Jadi kamu harus benar-benar bisa mengontrol perasaan! ucapku sendiri dalam hati.

"Sudah, memandang saya?" 

Pak Yogi terus menggandeng tanganku dan mengajak masuk ke dalam kamar.

Ya ampun ... kamar lagi, kamar lagi. Emangnya ngga ada tempat lain apa? Secara rumah sebesar ini. 

Pak Yogi langsung duduk di sofa tempatku tidur dengan masih tetap menggenggam tanganku.

Dia terlihat seperti memikirkan sesuatu yang sangat serius. Aku masih berdiri dengan tangan yang digenggam Pak Yogi, berusaha untuk melepaskan.

Bukannya terlepas, tapi justru tubuhku terjatuh di atas tubuh Pak Yogi yang seketika ambruk karena tertindih olehku.

Dadaku terasa berdegup kencang. Napasku seakan begitu sesak. Beberapa kali aku menelan saliva hingga terasa kering.

"Kamu dengar 'kan apa yang diinginkan Kakek tadi?" ucapnya begitu dekat diwajahku. Hembusan napasnya yang hangat begitu terasa. "Kakek menginginkan cucu dari kita, Naya." Seketika mataku terbelalak. Jangan bilang kalau Pak Yogi menginginkan anak dariku. Tidakk .... Aku tidak mau dimanfaatkan oleh Pak Yogi terlalu jauh.

"Kamu tidak sedang berpikir macam-macam 'kan?" tandas Pak Yogi dengan mendorong tubuhku semakin menjauh.

"Macam-macam? Maksud Bapak?" tanyaku sok polos. "Sudahlah, Pak, saya mau mandi dulu."

Segera kujauhkan tubuhku dari Pak Yogi dan gegas mengambil baju dari dalam tas, lalu buru-buru masuk ke kamar mandi.

Berulang kali aku menarik napas panjang dan menghembuskannya. Perasaan apa ini? Kenapa jantungku berdegup begitu kencang ketika berada di dekat Pak Yogi? Hemh ... Pasti ini hanya perasaan sesaat saja. 

***

Selesai mandi, aku langsung mencuci baju yang sudah kurendam di bak besar. 

"Naya .... Kamu tidur di kamar mandi, ya?" teriak Pak Yogi sembari menggedor pintu.

Apa-apaan sih, Pak Yogi? Orang lagi nyuci baju digedor-gedor. Segera kubuka pintu kamar mandi dengan perasaan kesal. "Ada apa sih, Pak? Lagi nanggung nyuci," tanyaku dari balik pintu karena hanya memakai handuk.

"Ngapain? Harusnya saya yang tanya. Kamu ngapain saja di kamar mandi sampai berjam-jam?" 

Nih orang. Masa' di kamar mandi saja ditanya ngapain. "Memangnya Bapak kalau di kamar mandi ngapain? Mandi 'kan? Nyuci baju juga 'kan?"

Netra Pak Yogi membelalak. "Nyuci baju?"

Aku menjawab pertanyaan Pak Yogi dengan anggukan kepala. "Memangnya kenapa? Ada yang salah, Pak?"

"Kamu nyuci baju di kamar mandi saya? Ini kamar mandi pribadi, Naya. Lagian sudah ada banyak ART di rumah ini. Mereka yang akan membereskan semua pekerjaan rumah, termasuk mencuci."

"Mau kamar mandi pribadi atau umum, sama saja 'kan Pak? Intinya buat nyuci ngga masalah," terangku sedikit ketus.

Saat ingin menutup kembali pintu kamar mandi, Pak Yogi justru mendorongnya sampai aku hampir terjatuh. Tangan Pak Yogi pun segera meraih lenganku dengan cepat. 

Kini tubuhku begitu dekat dengan tubuh Pak Yogi. Netra kami saling memandang. Aku menatap wajah tampan Pak Yogi, bibirnya yang indah, hidungnya yang mancung. Sempurna. Ya. Pak Yogi memang laki-laki yang sangat menawan. 

 

"Jangan bilang kamu terpesona dengan saya, Nay? Benerin tuh handuk, kamu!" ucap Pak Yogi dengan memalingkan wajah.

Ya ampun, ternyata lilitan handukku hampir lepas. Dengan cepat aku langsung mengencangkan kembali. 

Tenang Nay! Jangan grogi seperti ini! Aku mengatur napas yang dari tadi tak beraturan. 

"Pa - Pak Yogi ngapain ikut masuk? Ingat ya, Pak! Kita hanya menikah selama enam bulan. Jadi Bapak jangan macam-macam!"

"Cepat kamu ganti baju! Cucian biar diberesin sama ART." Pak Yogi langsung ke luar. "Oh ya, kamar mandi saya tidak pernah untuk mencuci, apalagi sampai bath-tubnya dibuat merendam baju," jelasnya tanpa membalikkan badan.

Huft ... ternyata jadi orang kaya itu ribet, ya. Apa-apa ngga boleh. Begini salah, begitu salah. 

"Nay, cepatan!" teriak Pak Yogi.

"I - iya, ini juga lagi ganti baju!" teriakku tak mau kalah.

-

-

-

Selesai ganti baju, gegas aku ke luar. Pak Yogi terlihat sedang menekan sebuah bel. 

"Tolong ke kamar saya, sekarang!"

Lagi-lagi Pak Yogi menatapku seperti tadi malam. Hah ... pasti dia mau mencela pakaianku lagi. "Saya memang hanya punya baju seperti ini, Pak. Maklum, saya bukan orang kaya seperti Bapak. Yang dengan mudah bisa membeli apa yang diinginkan," terangku sebelum mendapat protes dari Pak Yogi.

Pak Yogi terlihat mengernyitkan kening.  Bibirnya seakan menahan tawa. "Nanti kamu ikut saya!"

"Ke mana, Pak?"

Belum sempat Pak Yogi menjawab, terdengar ketukan pintu.

"Masuk saja!" titah Pak Yogi. "Kamu ambil semua cucian yang ada di dalam kamar mandi! Buang saja semua pakaian itu! Lalu bersihkan kamar mandinya!" Perintah Pak Yogi pada ART yang baru saja masuk.

"Baik, Mas Yogi."

"Tunggu! Maksud Pak Yogi, pakaian saya mau dibuang? Enak saja." Aku pun menyusul ART tersebut ke kamar mandi. "Mbak, jangan dibuang pakaiannya!" 

"Ta - tapi, Mbak Naya. Mas Yogi sudah menyuruh untuk membuang pakaian ini."

"Ya sudah. Kamu cuci kembali saja! Nanti kamu kasihkan lagi pada Naya!"

"Baik Mas Yogi."

Aku pun melepaskan pakain tersebut dan membiarkan untuk dibawa Mbak ART.

"Jangan mentang-mentang banyak uang, lalu seenaknya saja Bapak membuang barang yang menurut Bapak tidak ada harganya. Saya membeli pakaian tersebut harus nabung dulu, Pak."

Pak Yogi menyeret tanganku dan mengajak ke luar dari kamar.

"Yogi, kenapa menyeret Kanaya seperti itu?" tanya Kakek Jaya yang sedang duduk di ruang tengah.

Pak Yogi langsung melepaskan tanganku. "Yogi mau ke luar dengan Naya, Kek."

"Memangnya mau ke mana? Mau bulan madu, ya? Ya sudah, kalian mau bulan madu ke mana? Biar Kakek yang urus semuanya."

Pak Yogi menggelengkan kepala di depan Kakek Jaya. "Yogi cuma mau jalan-jalan saja, Kek."

"Ya sudah, kalian hati-hati! Jaga Kanaya baik-baik!"

Pak Yogi hanya menganggukkan kepala. Aku pun mendekati Kakek Jaya untuk berpamitan.

"Kek, Naya pergi dulu," ucapku sembari  mencium tangan Kakek Jaya.

-

-

-

"Pintar juga kamu mencari perhatian dari Kakek," celetuk Pak Yogi sesaat setelah masuk ke dalam mobil.

"Maksud Pak Yogi?"

"Ngapain juga cium tangan Kakek kalau bukan ingin cari perhatian?"

"Ya ampun ... jadi Bapak pikir, dengan berpamitan seperti tadi itu cari perhatian? Justru saya yang heran sama, Bapak. Kenapa Bapak pergi begitu saja? Apa Bapak sudah lupa sopan santun?

Pak Yogi tidak menanggapi ucapanku, dia menekan tombol musik dan memutar volume dengan kencang. 

Ish ... ternyata Pak Yogi sangat menyebalkan. Baru sehari jadi istrinya. Dan aku masih harus menunggu beberapa bulan lagi untuk berpisah darinya.

Kulirik wajah tampannya yang kini fokus menatap kedepan. 

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ahmad dae Rhobi
orang kaya mn tau sopan santun
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status