Kakek Jaya tersenyum melihat perubahanku.
"A - aneh ya, Kek?"
"Bukan aneh, tapi kamu sangat cantik, Nay. Pantes cucu Kakek terpikat."
Aku tersenyum malu menanggapi pujian Kakek Jaya. Sedangkan Pak Yogi, seperti biasa, dia hanya diam dengan sikapnya yang kaku.
"Kamu betah 'kan Nay, tinggal di rumah ini? Kalau kurang nyaman karena ada Kakek, kalian bisa tinggal di rumah yang satunya lagi. Kakek tidak keberatan. Kalian 'kan sudah menikah."
Sebenarnya enakan tinggal di rumah Bapak dan Ibu. Bisa nyantai. Rumah sebesar dan semewah ini tak menjamin rasa nyaman. Apalagi ... punya suami nyebelin, kaku dan sombong, ucapku dalam hati dengan melirik Pak Yogi yang duduk di sampingku.
Seketika Pak Yogi menatapku. Dia menggeser duduknya lebih dekat. "Kamu membatin saya?"
Aku melihat ke arah Kakek Jaya dengan senyum yang dibuat-buat.
"Kalian ini. Sudah dekat hampir satu tahun. Tapi masih terlihat kaku."
Apa? Satu tahun? Pasti Pak Yogi sudah mengarang cerita. Meskipun aku kerja di perusahaannya. tapi jarang sekali kami bertemu. Apalagi dekat.
Tiba-tiba Pak Yogi menarik tanganku. "Kek. Yogi dan Naya berenang dulu, ya."
Kakek Jaya hanya mengangguk dengan senyum hangat yang terlukis di wajahnya.
"Berenang, Pak? Saya ...."
Belum selesai bicara, Pak Yogi langsung mengajakku pergi dari hadapan Kakek.
"Pak. Saya itu tidak bisa berenang. Ngapain Pak Yogi ngajak saya ke sini?"
"Kalau tadi tidak saya ajak pergi, pasti kamu sudah menjawab macam-macam ucapan Kakek soal kedekatan kita."
"Hemm ... ternyata benar. Pak Yogi sudah mengarang cerita 'kan? Ish, tega sekali Pak Yogi membohongi Kakek Jaya terus menerus. Lepaskan tangan saya!"
Byurrrr
Pak Yogi melepaskan tangan dengan begitu kasar. Sampai aku yang berdiri di pinggir kolam renang terjebur.
"P - Pak. Pak Yogi." teriakku dengan tangan yang melambai ke atas, kode minta tolong.
"Saya tau, Nay. Kamu pasti sedang membohongi saya. Kamu sebenarnya bisa berenang 'kan?"
"P - Pak." Sudah banyak air yang masuk ke dalam mulut. Napasku pun mulai terasa sesak.
Byurrr
Pak Yogi langsung menceburkan diri untuk menolongku. "Nay. Naya. Kamu tidak apa-apa 'kan? Maafin saya Nay!"
Pak Yogi mengangkatku naik ke pinggir kolam. Napasku masih tak beraturan. Air masuk dari hidung maupun mulut.
Aku menangis sekencang-kencangnya. Dengan sesekali terbatuk.
"Nay, Maafin saya! Saya pikir kamu bisa berenang. Saya juga tidak sengaja membuatmu terjatuh."
Ucapan Pak Yogi tidak kuhiraukan. Aku masih terus menangis. Sampai akhirnya Pak Yogi mendekapku begitu erat. "Nay, jangan nangis lagi! Nanti ketauan Kakek."
Napasku yang sudah sesak semakin tambah sesak karena dekapan Pak Yogi. Napas hangatnya begitu terasa. Badan kekarnya membuatku seketika merasa hangat.
Rasanya masih tidak percaya. Kalau sekarang ini aku sedang dipeluk Yogi Adijaya.
Nay. Jangan sampai terbawa perasaan! Kalian menikah bukan karena cinta. Melainkan sebuah perjanjian.
Segera kulepaskan dekapan Pak Yogi. "Bapak jangan cari kesempatan, ya!" ucapku dengan napas masih tersengal-sengal.
"Saya, nyari kesempatan? Buang-buang waktu saja untuk hal seperti itu. Apalagi sama kamu. Saya sudah menolong kamu, Nay. Harusnya berterima kasih. Bukan malah menuduh yang tidak-tidak. Lebih baik, tadi saya biarkan saja kamu tenggelam."
Nih orang. Sedikitpun tidak merasa bersalah. "Bapak pikir, saya menceburkan diri begitu saja? Pak Yogi yang sudah membahayakan nyawa saya." Aku menatap tajam dengan perasaan begitu kesal.
"Saya tidak sengaja. Lagian tadi sudah minta maaf. Tidak perlu dibesar-besarkan! Nyatanya kamu masih hidup 'kan?" jawab Pak Yogi dengan langsung berdiri.
Ish ... begitu entengnya dia menjawab seperti itu.
Langsung kutarik tangan Pak Yogi dan menggigitnya. Niat hati ingin melampiaskan rasa kesal. Tapi justru membuatku salah tingkah. Pak yogi bukan hanya menarik kembali tangannya yang kugigit. Tapi dia juga menarik tanganku.
Kini aku dan Pak Yogi berdiri berhadapan. Kedua tangan Pak Yogi mencekeram lenganku. Sesaat kami pun saling memandang.
Perasaan apa ini? Tidak mungkin aku jatuh cinta dengan laki-laki menyebalkan seperti Pak Yogi.
"Cepetan ganti baju!" jelasnya berlalu begitu saja.
Hah ... cuma ngomong gitu doang?
Gegas aku mengikuti langkah Pak Yogi masuk ke dalam.
"Yogi, Naya. Kalian berenang dengan baju seperti itu?" tanya Kakek yang melihat baju kami basah kuyup.
"Tadi."
"Ya sudah. Buruan mandi dan ganti baju! Nanti kalian sakit." titah Kakek memotong ucapan Pak Yogi.
***
"Saya dulu."
"Saya dulu, Pak. Bapak ngalah dong sama istri sendi .... Mak - maksud saya, Pak Yogi harus ngalah sama perempuan." Aku menarik baju Pak Yogi.
"Nay. Aku kedinginan."
"Sama lah, Pak. Tadi 'kan Pak Yogi yang salah."
Dengan cepat kulangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi. Tapi tiba-tiba perutku terasa mules.
Terdengar suara keras dengan bau yang membuat diriku langsung menutup hidung.
Aduh, mudah-mudahan Pak Yogi tidak dengar suara barusan. Bisa malu aku.
"Kamu sakit perut, Nay?"
Ya ampun, ternyata Pak Yogi dengar aku ke*t*t? ucapku pada diri sendiri dengan menepuk kening.
"Pak Yogi nungguin saya di depan pintu, ya? Pasti mau ngintip 'kan?"
"Kamu pikir, pintu kamar mandi saya terbuat dari triplek? Lewat mana saya ngintip kamu, Nay? Kurang kerjaan."
"Terus. Ngapain berdiri dekat pintu?"
"Baju saya basah, Nay."
Alasan saja. Dia 'kan bisa ganti baju dulu. Ngapain juga masih pakai baju yang basah. Ternyata Pak Yogi juga aneh.
"Lepas bajunya, Pak! Pake handuk dulu, kek. Atau ganti baju!" jelasku dengan tangan yang memegang perut karena semakin mules.
-
--Hampir 25 menit aku di dalam kamar mandi.
Ya ampun, aku lupa membawa baju ke dalam. Masa' iya aku ke luar dengan handuk seperti ini?
"P - Pak. Pak Yogi ... minta tolong dong."
"Apa lagi sih, Nay? Buruan, gantian!"
"Minta tolong ambilin baju saya, Pak! Tadi saya langsung masuk kamar mandi begitu saja. Lupa bawa baju."
Tidak berapa lama, Pak Yogi mengetuk pintu.
Segera aku membukanya.
"Aaaaa ...." Reflek aku teriak karena melihat Pak Yogi yang hanya memakai handuk dan bertelanjang dada.
"Ada apa, Nay? Kenapa?"
"P - Pak. Kenapa Bapak hanya memakai handuk seperti itu? Handuknya pendek, lagi," jawabku dengan tangan yang menutup wajah.
Pak Yogi menghembuskan napas kasar. "Bukannya tadi kamu yang menyuruh saya pakai handuk saja, ya? Kenapa sekarang protes? Jangan bilang kamu n*ps* melihat saya seperti ini?"
Aku langsung meraih baju yang ada di tangan Pak Yogi, dan segera menutup kembali pintunya.
Bisa jantungan kalau harus seperti ini. Aku 'kan malu melihat Pak Yogi hanya memakai handuk seperti itu.
Aku ke luar dari kamar mandi dengan netra terpejam. "Pak. Cepetan masuk!"
"Kamu ngapain merem segala, Nay?"
"Malu lah, Pak."
Tiba-tiba aku merasakan Pak Yogi berdiri persis di depanku. "Pak. Mau ngapain? Jangan macam-macam, ya!" tanyaku dengan netra yang masih terpejam.
"Buka, Nay!"
Seketika jantungku berdegup begitu kencang. "Bu - buka? Jangan, Pak! Ingat perjanjian kita!"
"Buka!" pinta Pak Yogi dengan tangan yang membuka kelopak netraku.
"Ternyata Pak Yogi sudah memakai baju?"
"Pikiran kamu saja yang jorok, Nay."
Bersambung
Pagi ini aku joging dengan Kakek Jaya di depan rumah."Kakek tiap hari joging seperti ini, ya?" tanyaku dengan menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri."Iya, Nay. Sudah jadi rutinitas wajib untuk Kakek. Dulu Yogi selalu menemani Kakek. Sekarang dia terlalu sibuk dengan kerjaannya.""Iya tuh, Kek. Di kamar saja sibuk dengan laptopnya."Kakek Jaya tersenyum dengan pandangan tetap ke depan. "Tapi kamu cinta 'kan Nay dengan cucu Kakek?""Cinta? Pak Yogi itu bukan type Nayla, Kek. Jadi mana mung ... kin." Astaga. Keceplosan. Aduh, Nay ... to*ol banget sih, kamu, ucapku dalam hati dengan menepuk bibirku sendiri.Kakek Jaya langsung menghentikan gerakan jogingnya. "Apa, Nay?"Ma*pus. Tamat riwayatmu, Nay.Belum sempat aku menjawab. Pak Yogi tiba-tiba datang di situasi yang begitu menegangkan."Kek. Besok Yogi sudah mulai berangkat ke kantor lagi." Kakek Jaya tidak menjawab ucapan Pak Yogi. Beliau masih teru
Netraku membulat sempurna ketika melihat isi kotak yang diberikan Kakek Jaya.Sebuah kalung yang begitu indah. Sangat indah. Dan juga sebuah kunci. Tapi aku sendiri tidak tahu itu kunci apa.Di dalam kotak tersebut terselip sebuah surat.Untuk Kanaya, cucu mantu tersayang.Kanaya. Kakek berharap, kamu mau memakai kalung tersebut.Sebelum neneknya Yogi meninggal, dia pernah berpesan agar kalung tersebut diberikan pada siapapun perempuan yang menjadi istrinya, Yogi. Dan Kakek sudah memenuhi wasiat dari neneknya Yogi.Sedangkan untuk kunci. Kamu simpan baik-baik! Jangan sampai siapapun tahu tentang kunci tersebut! Bahkan Yogi sekalipun.Suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan kunci itu.Salam sayang dari Kakek Jaya.Memangnya ini kunci apa? Kenapa Kakek memberikannya padaku? tanyaku dalam hati dengan begitu penasaran."Apa isi kotak itu, Nay?"Segera kusimpan kunci dan surat di kantong celana sebel
"Dari tadi Kakek perhatikan, sikap kalian tidak seperti biasanya? Ada apa? Kalian sedang bertengkar?" Setelah kejadian tadi malam, sikap Pak Yogi lebih banyak diam. Ya ... meskipun setiap hari memang cuek, tapi ada kalanya dia bicara. Meskipun menyebalkan. Apa dia marah karena kejadian tadi malam? Aku 'kan tidak sengaja tidur di kasurnya. Lagian aku sudah berusaha bangunin, juga. Terus. Salahku di mana? "Ng - ngga ada apa-apa kok, Kek," jawabku dengan senyum kaku. "Mas Yogi mau sarapan roti pake selai apa? Biar Naya ambilin?" Aku berusaha bersikap perhatian. Semua ini kulakukan untuk Kakek Jaya. Sama sekali Pak Yogi tidak menanggapi ucapanku. Hih, benar-benar ya, nih, cowok. Kaya' anak kecil saja ngambeknya. "Sayang ... pake selai apa?" tanyaku dengan suara halus sembari menginjak kakinya. "Aaa ...," teriak Pak Yogi karena kakinya kuinjak. "Ada apa, Gi? Kamu seperti kesakitan." Pak Yogi men
POV Author--------Yogi segera mengunci pintu kamar setelah Kanaya keluar dengan membawa bunga yang sangat mengganggunya."Lama-lama bisa gila menghadapi kelakuan Kanaya. Kenapa bisa, waktu itu saya memilih dia untuk perjanjian menikah selama enam bulan? Hahh ..., tapi semua sudah terjadi," gerutu Yogi dengan memegang kepala.Baru saja Yogi sedikit tenang. Tiba-tiba Kanaya sudah balik lagi.Dok dok dok"Pak Yogi ... bukain pintunya! Saya mau ambil ponsel!" teriak Kanaya dengan terus menggedor pintu."Hari ini kamu tidak boleh masuk kamar, Nay! Saya mau istirahat tanpa ada gangguan dari kamu.""Okey. Tapi ambilin ponsel dan baju saya, Pak! Nanti saya ganti pakai baju apa?""Bukan urusan saya," jawab Yogi ketus."Iiih ... awas saja kamu, Pak Yogi." Dengan perasaan kesal, Kanaya pun langsung pergi."Ada apa, Mbak Naya? Kok cemberut begitu?" tanya Minah salah satu ART yang sedang sibuk memb
Tin tin tin Ketika Kakek Jaya dan Kanaya sedang asyik berjoged. Tiba-tiba datang sebuah mobil mewah berwarna hitam. Kakek Jaya pun langsung menghentikan gerakan tangan dan kaki yang dari tadi membuat beliau tertawa begitu lepas. Satpam yang berada di pos jaga dengan cepat membukakan pintu gerbang. Kini pandangan Kakek Jaya, Yogi serta Kanaya tertuju pada mobil yang sudah berhenti di halaman. Terlihat perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat serta berpakaian seksi keluar dari mobil. Dia menatap Yogi sembari mengulas senyum indah. Kakek Jaya langsung menoleh ke arah Yogi ketika melihat perempuan tersebut. Tidak berapa lama, datang lagi sebuah mobil yang tak asing bagi Kakek Jaya dan Yogi. Terlihat Papa dan mamanya Yogi serta laki-laki tampan keluar dari mobil tersebut. Kejutan yang luar biasa. Ketika mereka semua datang secara bersamaan tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Apalagi per
"Kenapa, Siska? Kamu kok sedih begitu?" tanya Dina dengan mendekati Siska."Kakek sudah berubah, Tante. Dulu sebelum Yogi menikah, sikap Kakek begitu baik. Tapi sekarang, sepertinya Kakek tidak suka dengan kedatangan Siska di rumah ini," adu Siska.Ketika Siska dan Dina sedang bicara, Kakek Jaya, Yogi dan Kanaya datang."Yah, boleh Dina bicara sebentar?""Nanti saja!" jawab Kakek Jaya tegas.Tiba-tiba Kanaya mendekati mama mertuanya. Dia mengulurkan tangan hendak berpamitan karena mau diajak pergi oleh Kakek Jaya. Tapi niat baik Kanaya diabaikan begitu saja. Siska terlihat begitu senang atas sikap Dina tersebut.Kanaya menarik kembali tangannya. Dia tetap mengulas senyum meskipun sudah diacuhkan oleh mama mertuanya sendiri."Kanaya, ayo!" ajak Kakek Jaya dengan menepuk bahu cucu mantu kesayangannya. Kakek Jaya menatap tajam Dina-menantunya dan juga Siska sebelum akhirnya beranjak pergi.***"Pak Yogi. Mama
Malam sudah semakin larut. Setelah tiga puluh menit Yogi pergi meninggalkan Kanaya di taman sendirian. Akhirnya Kanaya pun masuk ke dalam.Berkali-kali Kanaya menguap karena sudah mengantuk. Dia pun langsung berjalan menuju ke kamar. Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika sudah di depan pintu. Kanaya merasa ragu untuk masuk ke dalam."Masuk ngga, ya? Kalau masuk, takutnya ganggu Pak Yogi. Apa lebih baik aku tidur di kamar lain saja? Tapi bagaimana kalau Kakek tahu? Ya sudahlah. Aku tidur di kamar lain saja. Besok pagi-pagi sekali aku akan bangun. Sebelum semua orang di villa ini terbangun. Dengan seperti itu, Pak Yogi tidak akan terganggu olehku." Kanaya bicara sendiri.KlekKanaya begitu kaget ketika Yogi tiba-tiba membuka pintu."Kamu ngapain berdiri di sini? Mau ngerjain saya lagi?" cecar Yogi."Tidak, Pak Yogi. Permisi," ucap Kanaya langsung membalikkan badan dan pergi meninggalkan Yogi."Tunggu!" titah Yogi menghentik
"Turun!" titah Yogi setelah sampai di villa.Dengan pelan Kanaya pun turun dari gendongan Yogi."Yogi .... Antar Kanaya sampai ke kamar sekalian!" titah Kakek Jaya.Yogi terlihat keberatan dengan perintah kakeknya. Tapi dia tidak berani membantah."Kek. Naya jalan sendiri saja. Lagian sudah lebih enakan kakinya.""Ayo, Yogi! Gendong Kanaya sampai kamar!"Dengan cepat Yogi langsung mengangkat tubuh Kanaya.Perasaan Kanaya semakin tidak karuan ketika menatap wajah Yogi begitu dekat.'Ya Tuhan. Pak Yogi benar-benar tampan. Eits. Aku tidak boleh terpesona dengan dia. Lagian, dia itu laki-laki nyebelin, Kanaya. Ingat itu!' ucap Kanaya dalam hati. Kata-kata yang selalu Kanaya lontarkan untuk dirinya sendiri ketika dia tidak bisa mengontrol perasaannya.Yogi menurunkan Kanaya di kasur sesaat setelah sampai di kamar. "Jangan kelamaan aktingnya!"Ucapan Yogi membuat Kanaya marah. "Akti