Share

Bab 5

Kakek Jaya tersenyum melihat perubahanku. 

"A - aneh ya, Kek?" 

"Bukan aneh, tapi kamu sangat cantik, Nay. Pantes cucu Kakek terpikat."

Aku tersenyum malu menanggapi pujian Kakek Jaya. Sedangkan Pak Yogi, seperti biasa, dia hanya diam dengan sikapnya yang kaku. 

"Kamu betah 'kan Nay, tinggal di rumah ini? Kalau kurang nyaman karena ada Kakek, kalian bisa tinggal di rumah yang satunya lagi. Kakek tidak keberatan. Kalian 'kan sudah menikah."

Sebenarnya enakan tinggal di rumah Bapak dan Ibu. Bisa nyantai. Rumah sebesar dan semewah ini tak menjamin rasa nyaman. Apalagi ... punya suami nyebelin, kaku dan sombong, ucapku dalam hati dengan melirik Pak Yogi yang duduk di sampingku. 

Seketika Pak Yogi menatapku. Dia menggeser duduknya lebih dekat. "Kamu membatin saya?"

Aku melihat ke arah Kakek Jaya dengan senyum yang dibuat-buat.

"Kalian ini. Sudah dekat hampir satu tahun. Tapi masih terlihat kaku."

Apa? Satu tahun? Pasti Pak Yogi sudah mengarang cerita. Meskipun aku kerja di perusahaannya. tapi jarang sekali kami bertemu. Apalagi dekat. 

Tiba-tiba Pak Yogi menarik tanganku. "Kek. Yogi dan Naya berenang dulu, ya."

Kakek Jaya hanya mengangguk dengan senyum hangat yang terlukis di wajahnya.

"Berenang, Pak? Saya ...."

Belum selesai bicara, Pak Yogi langsung mengajakku pergi dari hadapan Kakek.

"Pak. Saya itu tidak bisa berenang. Ngapain Pak Yogi ngajak saya ke sini?" 

"Kalau tadi tidak saya ajak pergi, pasti kamu sudah menjawab macam-macam ucapan Kakek soal kedekatan kita."

"Hemm ... ternyata benar. Pak Yogi sudah mengarang cerita 'kan? Ish, tega sekali Pak Yogi membohongi Kakek Jaya terus menerus. Lepaskan tangan saya!"

Byurrrr

Pak Yogi melepaskan tangan dengan begitu kasar. Sampai aku yang berdiri di pinggir kolam renang terjebur.

"P - Pak. Pak Yogi." teriakku dengan tangan yang melambai ke atas, kode minta tolong.

"Saya tau, Nay. Kamu pasti sedang membohongi saya. Kamu sebenarnya bisa berenang 'kan?"

"P - Pak." Sudah banyak air yang masuk ke dalam mulut. Napasku pun mulai terasa sesak.

Byurrr

Pak Yogi langsung menceburkan diri untuk menolongku. "Nay. Naya. Kamu tidak apa-apa 'kan? Maafin saya Nay!"

Pak Yogi mengangkatku naik ke pinggir kolam. Napasku masih tak beraturan. Air masuk dari hidung maupun mulut. 

Aku menangis sekencang-kencangnya. Dengan sesekali terbatuk.

"Nay, Maafin saya! Saya pikir kamu bisa berenang. Saya juga tidak sengaja membuatmu terjatuh."

Ucapan Pak Yogi tidak kuhiraukan. Aku masih terus menangis. Sampai akhirnya Pak Yogi mendekapku begitu erat. "Nay, jangan nangis lagi! Nanti ketauan Kakek."

Napasku yang sudah sesak semakin tambah sesak karena dekapan Pak Yogi. Napas hangatnya begitu terasa. Badan kekarnya membuatku seketika merasa hangat.

Rasanya masih tidak percaya. Kalau sekarang ini aku sedang dipeluk Yogi Adijaya. 

Nay. Jangan sampai terbawa perasaan! Kalian menikah bukan karena cinta. Melainkan sebuah perjanjian.

Segera kulepaskan dekapan Pak Yogi. "Bapak jangan cari kesempatan, ya!" ucapku dengan napas masih tersengal-sengal.

"Saya, nyari kesempatan? Buang-buang waktu saja untuk hal seperti itu. Apalagi sama kamu. Saya sudah menolong kamu, Nay. Harusnya berterima kasih. Bukan malah menuduh yang tidak-tidak. Lebih baik, tadi saya biarkan saja kamu tenggelam."

Nih orang. Sedikitpun tidak merasa bersalah. "Bapak pikir, saya menceburkan diri begitu saja? Pak Yogi yang sudah membahayakan nyawa saya." Aku menatap tajam dengan perasaan begitu kesal.

"Saya tidak sengaja. Lagian tadi sudah minta maaf. Tidak perlu dibesar-besarkan! Nyatanya kamu masih hidup 'kan?" jawab Pak Yogi dengan langsung berdiri.

Ish ... begitu entengnya dia menjawab seperti itu. 

Langsung kutarik tangan Pak Yogi dan menggigitnya. Niat hati ingin melampiaskan rasa kesal. Tapi justru membuatku salah tingkah. Pak yogi bukan hanya menarik kembali tangannya yang kugigit. Tapi dia juga menarik tanganku. 

Kini aku dan Pak Yogi berdiri berhadapan. Kedua tangan Pak Yogi mencekeram lenganku. Sesaat kami pun saling memandang. 

Perasaan apa ini? Tidak mungkin aku jatuh cinta dengan laki-laki menyebalkan seperti Pak Yogi.

"Cepetan ganti baju!" jelasnya berlalu begitu saja.

Hah ... cuma ngomong gitu doang?

Gegas aku mengikuti langkah Pak Yogi masuk ke dalam.

"Yogi, Naya. Kalian berenang dengan baju seperti itu?" tanya Kakek yang melihat baju kami basah kuyup.

"Tadi."

"Ya sudah. Buruan mandi dan ganti baju! Nanti kalian sakit." titah Kakek memotong ucapan Pak Yogi.

 ***

"Saya dulu."

"Saya dulu, Pak. Bapak ngalah dong sama istri sendi .... Mak - maksud saya, Pak Yogi harus ngalah sama perempuan." Aku menarik baju Pak Yogi.

"Nay. Aku kedinginan."

"Sama lah, Pak. Tadi 'kan Pak Yogi yang salah."

Dengan cepat kulangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi. Tapi tiba-tiba perutku terasa mules. 

Terdengar suara keras dengan bau yang membuat diriku langsung menutup hidung.

Aduh, mudah-mudahan Pak Yogi tidak dengar suara barusan. Bisa malu aku.

"Kamu sakit perut, Nay?" 

Ya ampun, ternyata Pak Yogi dengar aku ke*t*t? ucapku pada diri sendiri dengan menepuk kening.

"Pak Yogi nungguin saya di depan pintu, ya? Pasti mau ngintip 'kan?"

"Kamu pikir, pintu kamar mandi saya terbuat dari triplek? Lewat mana saya ngintip kamu, Nay? Kurang kerjaan."

"Terus. Ngapain berdiri dekat pintu?"

"Baju saya basah, Nay."

Alasan saja. Dia 'kan bisa ganti baju dulu. Ngapain juga masih pakai baju yang basah. Ternyata Pak Yogi juga aneh.

"Lepas bajunya, Pak! Pake handuk dulu, kek. Atau ganti baju!" jelasku dengan tangan yang memegang perut karena semakin mules.

-

-

-

Hampir 25 menit aku di dalam kamar mandi. 

Ya ampun, aku lupa membawa baju ke dalam. Masa' iya aku ke luar dengan handuk seperti ini? 

"P - Pak. Pak Yogi ... minta tolong dong."

"Apa lagi sih, Nay? Buruan, gantian!"

"Minta tolong ambilin baju saya, Pak! Tadi saya langsung masuk kamar mandi begitu saja. Lupa bawa baju."

Tidak berapa lama, Pak Yogi mengetuk pintu.

Segera aku membukanya. 

"Aaaaa ...." Reflek aku teriak karena melihat Pak Yogi yang hanya memakai handuk dan bertelanjang dada.

"Ada apa, Nay? Kenapa?"

"P - Pak. Kenapa Bapak hanya memakai handuk seperti itu? Handuknya pendek, lagi," jawabku dengan tangan yang menutup wajah.

Pak Yogi menghembuskan napas kasar. "Bukannya tadi kamu yang menyuruh saya pakai handuk saja, ya? Kenapa sekarang protes? Jangan bilang kamu n*ps* melihat saya seperti ini?"

Aku langsung meraih baju yang ada di tangan Pak Yogi, dan segera menutup kembali pintunya.

Bisa jantungan kalau harus seperti ini. Aku 'kan malu melihat Pak Yogi hanya memakai handuk seperti itu. 

Aku ke luar dari kamar mandi dengan netra terpejam. "Pak. Cepetan masuk!"

"Kamu ngapain merem segala, Nay?"

"Malu lah, Pak."

Tiba-tiba aku merasakan Pak Yogi berdiri persis di depanku. "Pak. Mau ngapain? Jangan macam-macam, ya!" tanyaku dengan netra yang masih terpejam.

"Buka, Nay!"

Seketika jantungku berdegup begitu kencang. "Bu - buka? Jangan, Pak! Ingat perjanjian kita!"

"Buka!" pinta Pak Yogi dengan tangan yang membuka kelopak netraku.

"Ternyata Pak Yogi sudah memakai baju?" 

"Pikiran kamu saja yang jorok, Nay."

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ahmad dae Rhobi
hehe dasar naya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status