Share

Bab 4

Mobil Pak Yogi berhenti di depan sebuah salon. "Ayo turun!"

Aku pun mengekori langkah Pak Yogi. Kami masuk ke sebuah salon yang begitu mewah. "Pak. Bapak mau nyalon di sini?" Pak Yogi hanya diam tanpa menghiraukan pertanyaan dariku.

Terlihat beberapa karyawan salon yang sangat cantik. "Pantes nyalon di sini. Karyawannya saja cantik-cantik begitu." Pak Yogi menghentikan langkahnya dan menatapku serius.

"Kamu bisa diam ngga?"

Segera kututup bibirku dengan tangan.

"Saya minta, kalian rubah perempuan aneh ini menjadi cantik!" pinta Pak Yogi pada karyawan salon.

"Eh, Yogi. Ada yang bisa kami bantu?" tanya perempuan cantik dengan rambut berwarna cokelat dan postur tubuh yang semampai.

"O - oh. Aku nganter istriku nyalon."

Perempuan tersebut menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Di - dia istri kamu, Gi? Aku denger sih, kamu udah nikah. Tapi ...."

"Maaf. Pernikahan kami memang dipercepat. Jadi banyak teman yang lupa ku-undang." Pak Yogi memotong ucapan perempuan tersebut.

"Ternyata perempuan ini istrinya." Terdengar karyawan salon saling berbisik. 

Huh ... ngapain juga Pak Yogi ngajakin aku ke salon ini. Harusnya bilang dulu kalau mau ngajak ke salon. Aku 'kan sudah punya salon langganan.

"Kenapa malah pada diam? Tadi saya sudah bilang sama kalian 'kan?" tegur Pak Yogi pada karyawan salon. "Mel. Aku harap kamu tidak berpikir macam-macam tentang istriku. Dia perempuan baik-baik. Makanya aku pilih dia menjadi pendampingku."

Ish ... ternyata pinter akting juga, Pak Yogi. 

"Ma - maaf, Gi. Aku tidak ada maksud apa-apa. Okey. Akan aku rubah penampilan istrimu biar cantik."

"Biar cantik? Maksud Mbak, saya jelek?" 

"Mak - maksud saya, biar lebih cantik lagi. Maaf. Saya salah bicara!"

"Mari, Mbak. Ikut kami!" ajak karyawan salon yang seketika berubah menjadi ramah.

Pak Yogi terlihat menganggukan kepalanya padaku. 

Gegas aku pun mengikuti langkah karyawan salon tersebut. 

Baru kali ini aku perawatan di salon mewah. Ternyata nyaman juga. Tapi masih tetap nyaman di salon langgananku. Murah lagi.

Hampir 3 jam lamanya. Akhirnya selesai juga. Aku benar-benar tidak percaya dengan perubahanku ini. 

"Cantik. Aku terlihat cantik sekali," ucapku dalam hati. 

Sesaat Pak Yogi menatapku. Tapi tidak berapa lama, dia memalingkan wajahnya. 

"Terima kasih ya, Gi. Jangan lupa mampir lagi ke salon kami."

Pak Yogi langsung menarik tanganku untuk ke luar. "Pak. Tadi Bapak membayar sampai jutaan. Apa ngga salah? Coba tadi ke salon langganan saya. Paling cuma habis tiga ratus ribu."

"Nay. Bisa tidak, kamu diam sebentar saja? Tidak usah banyak protes!"

Hmm, apa ngga kebalik? Siapa coba yang dikit-dikit protes.

***

Pak Yogi mengajakku ke suatu tempat lagi. Kali ini dia mengajakku ke butik. Butik ini sangat terkenal. Hanya orang-orang berduit yang ke luar masuk tempat ini.

"Pak. Bap ...." Belum selesai aku bicara, Pak Yogi menutup bibirku dengan jari telunjuknya.

"Saya sudah bilang 'kan? Jangan banyak bicara!"

Kali ini Pak Yogi menggandeng tanganku setelah turun dari mobil. Pasti ada alasannya dia melakukan hal ini. Aku yakin itu.

"Biasa saja kalau memandang saya! Nanti kamu bisa beneran suka sama saya."

"Jangan GR, Pak! Bapak itu bukan type saya." Kubalas ucapan Pak Yogi yang kemarin bilang begitu padaku.

"Selamat siang Pak Yogi. Wah. Pengantin baru. Mesra sekali."

Benar 'kan dugaaanku. Pasti Pak Yogi sedang cari muka. Biar dibilang suami baik, penyayang. Padahal aslinya super nyebelin.

"Nay, kamu ambil saja baju-baju yang kamu suka!" 

"Beneran, Pak? Banyak boleh?"

"Terserah."

Aku mulai berselancar melihat baju-baju yang sangat bagus di butik ini. Netraku tertuju pada dress panjang berwarna ungu. Bagus sekali. 

Ya ampun. Mahalnya. Buat beli baju yang biasa kupakai bisa dapat sepuluh potong.

Aku mendekati Pak Yogi yang duduk menungguku di kursi panjang. "Pak. Kita cari toko baju yang lain saja, yuk! Sumpah, Pak. Harganya mahal banget." Aku berbisik di telinga Pak Yogi.

"Mbak. Ambilkan semua koleksi baju di butik ini!"

"Baik, Pak."

Karyawan butik dengan cepat mengambil beberapa baju dan memperlihatkan semuanya pada kami.

"Nay, sekarang kamu coba satu per satu!"

"Ta - tapi, Pak."

"Kamu jangan bikin saya malu. Kamu pikir saya tidak mampu membayarnya? Toko pun bisa saya beli, Nay."

Huh ... sombong sekali.

Aku mulai mencoba satu per satu baju tersebut dan memperlihatkan pada Pak Yogi.

Semua yang kucoba ditanggapi Pak Yogi biasa saja. Wajahnya pun begitu datar. 

"Mbak. Saya ambil semua baju-baju tersebut."

***

"Tadi Pak Yogi tidak memberi komentar apapun saat saya mencoba baju-baju ini. Terus kenapa Pak Yogi membeli semuanya?"

"Harusnya kamu itu terima kasih sama saya. Karena saya sudah membelikan baju-baju yang mahal untuk kamu."

"Salah Pak Yogi sendiri. Ngapain beliin saya baju mahal. Buat saya, baju itu yang penting sopan dan bersih. Masalah harga atau bagus. Itu nomor sekian."

"Tapi kamu juga harus ingat. Kalau sekarang ini status kamu sebagai istri Yogi Adijaya. Sampai di sini. Paham 'kan?"

Hemh ... kenapa malah jadi ngga bebas seperti ini jadi istri orang kaya. Heran. Sama perempuan yang selalu berharap memiliki suami kaya.

"Pak. Kalau nanti Kakek Jaya tau soal pernikahan kita yang memiliki perjanjian, gimana?"

Cittt

Seketika Pak Yogi menghentikan mobil dengan mendadak. "Kamu tidak ada niat ingin memberitahu Kakek soal ini 'kan Nay?" Tatapan Pak Yogi begitu serius. 

"Ti - tidak, Pak. Saya 'kan hanya tanya saja."

"Saya sudah membantu kamu untuk melunasi hutang orang tuamu dari rentenir. Jadi kamu juga harus membantu saya. Simpan rahasia ini baik-baik! Karena yang tau soal ini hanya kita berdua."

"Memangnya Pak Yogi tidak punya pacar? Harusnya 'kan Pak Yogi bisa menikahi pacar Bapak tanpa harus ada perjanjian seperti pernikahan kita saat ini."

"Kamu tidak perlu tau masalah pribadi saya. Saya harap kamu bisa menepati janji."

"Kalau akhirnya Pak Yogi sendiri yang ingkar janji, bagaimana?"

Pak Yogi kembali menatapku. Kali ini tatapannya semakin dekat. Wajahnya mendekat ke wajahku. Netranya yang indah tak berkedip sedikitpun. Lagi-lagi napasku terasa sesak ketika berdekatan dengan Pak Yogi. 

Ya Tuhan. Pak Yogi mau ngapain? Aku memejamkan mata karena tak sanggup menatapnya. Kini bibir Pak Yogi terasa menyentuh bagian telinga. "Yogi Adijaya tidak mungkin ingkar janji. Paham," ucap Pak Yogi di telingaku.

Langsung kubuka netraku kembali. Seketika Pak Yogi menjauhkan wajahnya dariku.

Hah ... ya ampun. Hampir saja aku pingsan. Aku pikir Pak Yogi mau ngapa-ngapain. Ternyata, hanya ingin bicara begitu saja.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status