Share

Bab 6

Pagi ini aku joging dengan Kakek Jaya di depan rumah. 

"Kakek tiap hari joging seperti ini, ya?" tanyaku dengan menggerakkan tangan ke kanan dan ke kiri.

"Iya, Nay. Sudah jadi rutinitas wajib untuk Kakek. Dulu Yogi selalu menemani Kakek. Sekarang dia terlalu sibuk dengan kerjaannya."

"Iya tuh, Kek. Di kamar saja sibuk dengan laptopnya."

Kakek Jaya tersenyum dengan pandangan tetap ke depan. "Tapi kamu cinta 'kan Nay dengan cucu Kakek?"

"Cinta? Pak Yogi itu bukan type Nayla, Kek. Jadi mana mung ... kin." Astaga. Keceplosan. Aduh, Nay ... to*ol banget sih, kamu, ucapku dalam hati dengan menepuk bibirku sendiri.

Kakek Jaya langsung menghentikan gerakan jogingnya. "Apa, Nay?"

Ma*pus. Tamat riwayatmu, Nay.

Belum sempat aku menjawab. Pak Yogi tiba-tiba datang di situasi yang begitu menegangkan.

"Kek. Besok Yogi sudah mulai berangkat ke kantor lagi." Kakek Jaya tidak menjawab ucapan Pak Yogi. Beliau masih terus menatapku dengan serius.

"Ini ada apa sih, Kek? Kenapa Kakek diam saja? Dan kamu, Nay. Kenapa wajahmu pucat seperti itu? Kamu sakit?" cecar Pak Yogi yang semakin membuatku gugup.

Aku mencoba mengerdipkan kedua netra pada Pak Yogi. Berharap dia bisa membantuku saat ini.

"Naya. Kenapa malah diam? Coba kamu ulangi ucapanmu tadi!" 

"Mak - maksud Naya. Naya dulu tidak cinta sama Mas Yogi. Iya 'kan Sayang? Tapi setelah Naya kenal lebih dekat. Perasaan cinta dan sayang tumbuh di hati Naya, Kek. Makanya, Naya langsung mau ketika Mas Yogi meminang Naya."

Pak Yogi menatapku dengan pandangan aneh. Dahinya terlihat mengernyit. Mungkin dia kaget ketika aku menyebut dia dengan sebutan Mas dan Sayang. 

Aku mendekati Pak Yogi dan mencubit kecil pingganya. "Iya 'kan Sayang?" tegasku lagi dengan berusaha memberi senyum manis.

"Ekhem. Iya, Kek."

"Alhamdulillah. Kakek lega mendengarnya, Nay. Tadi Kakek pikir kamu tidak cinta sama Yogi."

"Tadi Naya belum selesai bicara, Kek."

"Oh iya, Gi. Tadi kamu bilang, besok mau ke kantor? Kakek tidak ngizinin. Kalian 'kan baru tiga hari ini menikah. Setidaknya satu minggu lah menikmati pengantin baru. Apalagi kalian tidak honeymoon di luar," terang Kakek dengan menepuk bahu Pak Yogi dan berlalu dari hadapan kami.

Hah ... kuhembuskan napas lega setelah Kakek Jaya pergi.

Kini tatapan tajam Pak Yogi mengarah padaku. "Kamu bikin ulah, ya?"

Aku menggelengkan kepala mencoba mengelak. 

"Kamu itu harus hati-hati, Nay! Jangan sampai keceplosan kalau bicara!" Pak Yogi pun berlalu begitu saja.

Kamu itu harus hati-hati, Nay, ucapku pelan menirukan gaya bicara Pak Yogi. Namanya juga keceplosan. 'Kan reflek, gerutuku.

Tapi aku memang harus hati-hati. Bagaimana kalau Kakek Jaya sampai tau dengan perjanjian pernikahan kami. Aku mulai membayangkan seperti di sinetron. Kakek sakit jantung. Terus meningg .... Tidakkkk. 

Teriakanku seketika membuat Pak Yogi menghentikan langkahnya. Dia menoleh le arahku.

"Da*ar perempuan aneh," celetuk Pak Yogi dengan menggelengkan kepala.

***

"Nay, Nay ...," panggil Pak Yogi ketika aku sedang merebahkan tubuh di sofa sembari bermain ponsel.

"Hemm ..., kenapa, Pak?"

"Tolongin saya bicara sama Kakek!"

"Bicara apa?" jawabku santai.

"Tadi kamu dengar 'kan Kakek bicara apa? Kakek minta saya menunggu sampai satu minggu baru boleh ke kantor lagi."

"Terus. Saya mesti ngapain, Pak?"

"Kamu bilang saja kalau kita tidak perlu honeymoon di rumah sampai satu minggu."

Aku membalikkan badan dan menatap Pak Yogi yang sedang sibuk dengan laptop'nya.

"Bapak mau saya bohong sama Kakek? Iya? Saya ngga mau. Titik."

"Kenapa tidak mau? Kamu pengen berlama-lama sama saya di rumah?"

"Enak saja. Saya juga bosen, Pak, di rumah terus. Apalagi Pak Yogi cuma ngajakin saya ke kamar terus."

Seketika Pak Yogi menghentikan jemarinya dan gantian menatapku. "Kamu jangan berpikir macam-macam, Nay! Saya ngajakin kamu ke kamar biar aman. Saya takut, kamu terlalu sering bertemu dengan Kakek di rumah ini. Nanti keceplosan seperti tadi pagi."

Gimana ngga sering ketemu. Orang kita memang satu rumah. 

"Yah ... baterainya habis. Bapak sih, ngajakin ngomong terus."

"Memang apa hubungannya dengan saya? Mau kita diam pun baterai kamu tetap bakalan habis."

Aku segera beranjak dari sofa untuk mengambil charger di dalam tas. 

"Pak. Colokannya mana, ya?"

Pak Yogi menunjuk arah samping nakas di samping tempat tidurnya.

"Pak. Saya boleh 'kan duduk di sini? Soalnya kalau duduk di sofa ngga nyampai."

"Kamu itu banyak maunya ya, Nay. Sekalinya saya mintain tolong, nolak."

"Saya ngga mau bohongin Kakek lagi, Pak. Takut kualat. Memangnya Pak Yogi tidak takut?"

Ternyata kasurnya empuk banget. Aku duduk dengan memantul-mantulkan pa*tat. 

"Ekhem." Pak Yogi berdehem. Sepertinya dia tidak nyaman dengan apa yang kulakukan.

Segera kuhentikan dan duduk manis di samping Pak Yogi.

"Pak. Serius amat. Memangnya Pak Yogi tidak jenuh tiap hari mantengin laptop gitu?"

Seperti biasa. Pak Yogi tidak banyak bicara. Meskipun aku selalu membuka obrolan. Beda sekali dia dengan kakeknya. Yang begitu ramah, bahkan kadang juga humoris.

Ya sudahlah. Lebih baik aku mainan ponsel lagi. 

"Yogi, Naya .... Kalian sudah tidur belum?" Terdengar suara Kakek Jaya dengan beberapa kali mengetuk pintu. "Kakek boleh masuk?"

"Kakek," ucapku dan Pak Yogi bersamaan. 

"Pak, bagaimana ini? Kita pura-pura diam saja! Biar Kakek taunya kita sudah tidur."

Tiba-tiba terdengar putaran knop pintu dari luar.

"Naya. Cepetan kamu duduk disamping saya!" pinta Pak Yogi dengan menyingkirkan laptopnya. "Cepat, Naya!"

"Iya, iya ...."

Gegas aku pun duduk di samping Pak Yogi. Dan Pak Yogi langsung menutup setengah badan kami dengan selimut. Tangan yang kanan merangkul pundakku. Dan tangan yang kiri menggenggam erat tanganku.

"Pak Yogi. Apa-apaan, sih?"

"Diam!"

Tiba-tiba Kakek Jaya sudah muncul dari balik pintu. "Yogi, Naya. Maaf kalau Kakek sudah mengganggu kalian." Kakek memandang kami dan tersenyum.

Pak Yogi mempererat genggamannya sampai jari-jariku sakit. "Tidak apa-apa, Kek. Yogi malah senang Kakek mau datang ke kamar Yogi. Iya 'kan Sayang?"

Ish ... suka berdusta kau Yogi Adijaya, ucapku dalam hati dengan menahan kesal. 

"Kamu kenapa, Nay? Sepertinya menahan sakit."

"Oh. Biasa, Kek. Naya itu alergi dengan AC. Sini, Sayang! Aku peluk." 

"Sampai Pak Yogi berani meluk saya, awas," bisikku pelan di telinga Pak Yogi.

Aku berusaha tersenyum di depan Kakek. "Iya, Kek. Yang dikatakan Mas Yogi memang benar. Naya alergi dingin. Maklum, Kek, di rumah Naya tidak pakai AC soalnya."

Aku sedikit menurunkan posisi duduk dan meraih betis Pak Yogi. Kucubit dengan sedikit memlintir. Dia terlihat menahan sakit atas cubitanku yang tidak segera kulepas. Rasain kamu, Pak Yogi. 

"Ini kenapa di sofa ada bantal, guling dan juga selimut? Kalian tidak tidur terpisah 'kan?" tanya Kakek membuat kami gelagapan. 

"Bagaimana ini, Pak?" bisikku lagi dengan lebih mengencangkan cubitan.

"Tidak lah, Kek. Iya 'kan Sayang?" Pak Yogi berusaha bersikap tenang dengan kegugupannya. Dan juga menahan rasa sakit atas cubitanku.

"Terus. Ini buat tidur siapa?" Sepertinya Kakek benar-benar ingin menginterogasi kami.

"Yogi." 

"Naya." 

Kami menjawab secara bersamaan.

Aduh. Pak Yogiii .... Kenapa harus ikut menjawab, sih?

Kakek Jaya langsung menatap tajam aku dan Pak Yogi. 

"Mak - maksud Mas Yogi. Kadang untuk tidur Naya. Kadang juga untuk tidur Mas Yogi. Cuma buat nyantai saja, Kek."

"Kakek tumben datang ke kamar Yogi?" tanya Pak Yogi berusaha mengalihkan obrolan.

"Iya, Gi. Ada sesuatu yang ingin Kakek berikan pada Naya. Kebetulan besok pagi Kakek ada urusan. Takutnya kamu dan Naya belum bangun."

"Sesuatu buat Naya, Kek? Memangnya apa?"

Kakek memberikan sebuah kotak padaku. "Kamu buka nanti saja setelah Kakek ke luar! Selamat malam Yogi, Naya."

"Malam, Kek."

Setelah Kakek ke luar dari kamar. Pak Yogi langsung membuka selimut dan melihat betisnya yang sudah berwarna merah. "Keterlaluan kamu, Nay. Sakit sekali betis saya."

Ya memang sakit. Orang aku cubit. Siapa suruh akting begitu di depan Kakek. 

"Bapak pikir, jari saya tidak sakit digenggam seperti tadi? Lagian, Bapak sudah mencari kesempatan dekat-dekat dengan saya."

"Tidak usah GR? Saya bersikap seperti tadi juga terpaksa, Nay. Mana rambutnya bau apek lagi."

"Apa, Pak? Rambut saya apek? Nih rasain." Aku kembali mencubit betis Pak Yogi. Kali ini lebih kenceng lagi nyubitnya.

"Nay. Cukup, Nay. Sakit."

Pak Yogi meraih tanganku. Kali ini dia menggenggam begitu hangat. Wajahnya yang tampan membuatku salah tingkah.

"Kamu cinta ya, sama saya?" tanya Pak Yogi dengan terus memandangku. "Wajah kamu selalu merah ketika saya dekati."

"Ngga usah GR, Pak. Mana mungkin saya suka dengan Bapak," jawabku dengan menempelkan kotak pemberian Kakek ke wajahnya.

Aku pun gegas pindah ke sofa dan segera membuka kotak tersebut.

Penasaran dengan isinya.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ahmad dae Rhobi
kira2 isinya apa ya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status