“Akh … kalian sudah saling kenal?” Chantal menatap Louis dan Lily bergantian.“Mmm … kami teman masa kecil, Nyonya Chantal,” balas Lily menyeringai.“Oh ya? Menarik, sangat menarik.” Mata Chantal berbinar mendengar jawaban Lily.Sementara itu, Louis masih terpana dengan pemandangan di depannya. Chantal sampai menggeleng kemudian terkekeh. Wanita itu kemudian pamit.“Baiklah. Aku tinggalkan kalian berdua untuk bernostalgia.”“Terima kasih, Nyonya Chantal," balas Lily dengan santun.Sebelum Chantal berlalu, ia menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya pada Louis. Wanita itu juga mengusap dada Louis dan berbisik pelan di telinga lelaki muda itu.“Mungkin ini jawaban dari rasa penasaranmu.”Louis tersentak sedikit. Kepalanya menoleh menatap kepergian Chantal. Lalu, tersadar saat Lily kembali menyapanya.“Kamu baik-baik saja?”“Entahlah. Bertemu lagi denganmu … cukup mengejutkan,” aku Louis.Kepala wanita cantik bergaun putih itu meneleng ke kanan. Bibirnya rapat namun menyunggingkan s
“Baby, jangan cemberut terus. Tolong, maafkan aku,” mohon William saat mereka telah dalam pesawat.Keyna tidak menjawab. Ia sibuk menatap laptopnya dan memberikan layanan kesehatan melalui online. Bahkan saat William kembali berkata, Keyna langsung mengenakan headset hingga suara suaminya sama sekali tidak terdengar lagi.William mengembuskan napas berat. Ia tau dirinya salah. Tetapi, bukankah alasannya cukup masuk akal? Apa ini karena Keyna cemburu?Pusing memikirkan sikap istrinya, William bangkit dari duduknya. Lelaki itu mengecup puncak kepala Keyna sebelum berjalan menjauh. Ia mendatangi Princess yang sedang bermain dengan Sacha.“Kenapa Daddy meninggalkan Keyna?” tanya Sacha.“Keyna sedang konsultasi online.”“Pasti Keyna marah pada Daddy.”“Iya, sepertinya begitu.”“Kenapa Mommy marah pada Daddy?” tanya Princess.Keduanya lalu tersadar bahwa P
Untuk mengalihkan rasa kesal, Keyna berjalan-jalan sendirian di tepi laut. Pulau ini memang cantik dan eksotik. Gabungan antara penduduk pribumi dan modern masih sangat kentara. Namun begitu, pelayan di sekitar resort terlihat telah lebih mengenal peradaban. “Cantik, ya?” Kepala Keyna menoleh ke samping. Chantal berdiri dengan wajah menatap laut. Wanita itu menarik napas dalam-dalam menghirup udara laut dan mengembuskannya perlahan. “Mau menemaniku berkeliling?” Itu bukan sebuah ajakan, nada suara Chantal jelas menuntut Keyna untuk ikut. Tangan kanan wanita pulau itu terentang ke sisi kanan untuk memberi kode agar berjalan. Keduanya berjalan menyisiri pinggir laut. Angin hampir saja menerbangkan topi lebar yang dikenakan Keyna jika ia tidak memeganginya. Sementara Chantal dengan santai berjalan tanpa alas kaki menembus angin yang mengibarkan pakaian tipis hingga lekuk tubuhnya tampak jelas terlihat. “Aku sudah berhasil membawa peradaban modern ke pulau ini. Namun begitu, sebagai
Malam harinya, tanpa membuang waktu, William dan keluarganya bertolak ke bandara untuk pulang. Tidak ada alasan lagi bagi William untuk menetap di Pulau Chantal setelah mengetahui sang putra baik-baik saja. Mereka pun pergi tanpa berpamitan pada sang pemilik pulau. William sudah bertekad menutup semua akses komunikasi dengan Chantal maupun semua wanita. Mengingat pernyataan keras Keyna, William merinding. Sejak itu, matanya tak pernah lepas dari sang istri. Hatinya sangat tidak tenang jika mereka berjauhan. "Cha, Keyna kenapa akhir-akhir pendiam, ya?" tanya William. "Apa Keyna masih marah, ya sama Daddy?" Sacha sedang duduk di depan meja kerja sang Daddy. Menatap berkas perusahaannya yang akan bergabung dengan perusahaan Will Universe. Kini matanya mengamati wajah William yang termenung. "Daddy masih berurusan dengan ibu-ibu komite sekolah Princess? Atau masih berhubungan dengan Chantal?" "Tidak sama sekali, Cha." Akhirnya mereka berkesimpulan, Keyna memang sedang lelah saja. M
"Keyna! Kenapa Cedric bilang kalian sudah putus?" Keyna yang sedang terduduk lemas dengan air mata di pipi mengerutkan kening, lalu menjawab, "Siapa yang memberitahu Mama?" "Barusan Mama menelepon Cedric." "Pasti Mama mau minta uang lagi 'kan? Kenapa sih Mama membuat aku malu saja?" "Cedric itu calon suamimu. Wajar kalau Mama minta uang. Sudah, jangan mengalihkan perbincangan. Apa benar, kalian putus?" Keyna mengangguk pelan. "Iya. Cedric memutuskan hubungan denganku." "Dasar anak bodoh!" maki Wina, ibu kandung Keyna. "Kamu tidak boleh putus dengannya. Kalian 'kan sudah merencanakan pernikahan." "Pernikahan batal, Ma.” Keyna mengukir senyum sinis untuk mamanya. “Kalau Mama tidak menghentikan biaya kuliahku, aku sudah lulus satu tahun yang lalu dan pernikahan itu tidak akan batal.” Masih jelas di benak Keyna kejutan yang diberikan sang kekasih tadi sore. Pertemuan yang ia kira akan berisikan kata-kata manis, justru berakhir tragis–untuknya. Perbedaan status keduanya ternyata
"Membuat Anda sakit?” ulang Keyna dengan gugup. “Ta-tapi, Tuan, bagaimana caranya?”“Kamu bisa membuat aku terkena stroke, lumpuh, atau komplikasi penyakit yang menyebabkan aku hanya terbaring di ranjang saja.”Keyna membulatkan matanya lebar-lebar. "Astaga. Saya tidak mungkin melakukan hal-hal seperti itu, Tuan. Itu melanggar sumpah seorang dokter. Kami mengobati bukan memberi penyakit kronis."William mendengus kasar. "Kamu belum disumpah karena belum menjadi dokter!"Benar juga. Keyna memutar otaknya. Satu-satunya yang terlintas di pikirannya adalah lelaki di depannya ini ingin merekayasa hasil tes kesehatan agar mendapat uang asuransi yang sangat besar.“Apa karena Anda ingin membohongi petugas asuransi untuk mendapatkan uang kesehatan?”William mengernyitkan dahi. Seketika Keyna merasa bodoh. Dilihat dari hunian sangat besar yang dimiliki lelaki di depannya ini, ia memang pasti orang yang kaya raya. Wanita itu merasa telah menyinggung calon majikannya.“Maafkan saya, Tuan William
“Anda yakin masih akan melanjutkan rencana Anda, Tuan? Masih ada waktu untuk membatalkannya.”Pertanyaan itu dilontarkan oleh Bastian kala William baru saja memasuki ruang kerjanya. “Kamu sudah menanyakan ini berpuluh-puluh kali, Bas. Apa kamu tidak bosan mendapat jawaban yang sama?”“Saya hanya berusaha meyakinkan, Tuan.”William tidak menanggapi keberatan pelayan setianya. Dengan cekatan, ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di atas meja. Setelah meja kerjanya rapi, lelaki itu berdiri.“Istirahatlah, Bas.” William menepuk bahu Bastian sambil melewatinya.Lelaki berusia hampir kepala lima itu melewati kamar yang ditempati Keyna. Perlahan, ia membukanya. Wanita muda itu tertidur pulas tanpa beban.Sudah tujuh tahun ia menduda. Istrinya meninggal karena penyakit kanker. Satu tahun kemudian, ketiga anaknya yang telah dewasa pun memilih jalan sendiri-sendiri dan berkarir di luar negeri. Akhirnya, ia hidup sendiri ditemani sepi dan sunyi.Keinginannya hanya satu. Dapat mengumpulk
"Bastian! Ceritakan, kenapa Daddy bisa sampai seperti ini!'Tak lama setelah William berhasil dibuat lumpuh, kamar yang disulap menjadi ruang perawatan itu tiba-tiba penuh. Ketiga putra dan putri William kini menatap sosok di hadapan mereka yang terbaring di ranjang. Dua orang lelaki yang sangat tampan dan wanita muda yang cantik mempesona.“Seperti yang pernah saya ceritakan di telepon, Tuan Fred. Tuan besar mengalami kelumpuhan satu minggu setelah kecelakaan. Jadi, keadaannya memang seperti ini."Pelayan setia itu bersandiwara. Ia memasang wajah menyedihkan dan prihatin pada keadaan tuannya. Dengan lancar, Bastian menceritakan skenario kebohongan yang telah mereka susun bersama.Frederix, putra sulung William berdecak pelan usai mendengar penjelasan Bastian. Orang kepercayaan William itu pun kembali melanjutkan sandiwaranya. "Tuan Muda sudah tau sejak sebulan yang lalu, mengapa baru sekarang menjenguk?""Kami sibuk!" balas Fred kesal karena seorang pelayan berani menegurnya."Kamu p