Edward mengusap kening Jema yang berkeringat. Tubuh mereka masih sama-sama telanjang. Tapi—Jema sedikit malu dan memasukkan tubuhnya ke dalam selimut. Memegang selimut dengan kedua tangannya. ia juga berbaring ke samping. Menatap Edward yang sedang menatapnya intens. “Sebenarnya…” lirihnya. Edward menunggu apa yang ingin dikatakan oleh Jema. “Aku sudah bercerita bagaimana keluargaku….” Lirih Jema. Ya… beberapa hari yang lalu, Jema memberitahu Edward bagaimana keluarganya. Keluarganya yang selalu memuji adiknya sendiri, namun selalu menghinanya. Ibu dan ayahnya sama. Mereka menatap sebelah mana Jema yang selalu berpenampilan cupu. Jema juga mengalami penghianatan dari beberapa pria yang dekat dengannya. Mereka yang dekat denga Jema, akan tiba-tiba berhenti. lalu, mengejar adiknya yang lebih cantik. “Apa kamu benar-benar yakin ingin menikah denganku?” tanya Jema. “Tentu. Mau tanya berkali-kali pun jawabanku tetap sama.” Edward tersenyum. “Aku ingin menikah den
21++ “Waaah….” Yerin berdecak kagum. Melalui kaca mobil, ia bisa melihat langit yang dihiasi oleh kembang api. Mobil keluar dari parkiran seiring dengan dinyalakannya kembang api. “Mereka pasti sedang bahagia,” ucapnya. “Pasti.” Arsen mengangguk dan fokus menyetir. Mereka memutuskan untuk pulang setelah melakukan kegiatan panas di hotel. Yerin mendekat—memeluk lengan suaminya. “Aku bangga pada kamu. kamu membantu Edward. Aku pikir hubungan kalian hanya sebatas rekan kerja saja. ternyata kalian lumayan dekat.” “Aku tidak dekat dengan bocah itu…” balas Arsen tidak terima dikata dekat dengan bocah tengil seperti Edward. Yerin tertawa. “Kalian memang dekat, bahkan kalian lebih banyak bersama daripada kamu denganku.” “Tidak mau.” Aren menoleh sebentar. mengecup puncak kepala Yerin. “Aku hanya membantunya sedikit. Dia meminta saran dan aku memberikannya." yerin berdecak. “Dasar gengsi.” “Baiklah terserah kamu.” menyerah untuk berdebat. Yerin menyandarkan kepalanya di b
“Kenapa lama sekali?” tanya Jema. Edward berdehem pelan. Berusaha mengurangi ketegangannya. “Kenapa wajah kamu merah?” tanya Jema mendekat. tangannya terulur mengusap pipi Edward. “Kamu alergi? Gatal?” “Tidak.” menggeleng keras. Jema mengalungkan tangannya di leher Edward. “Kenapa kamu jadi aneh begini?” Jema berjinjit. Mencium bibir Edward lebih dulu. Edward tidak bisa menahanna. Pada akhirnya ia membalas ciuman Jema dengan lebih liar. Tapi ponselnya berbunyi. Edward menjauh—memunggungi Jema dan melihat pesan dari Arsen. ‘Hampir selesai. kau bisa mengajaknya ke sana. jalan pelan-pelan saja.’ Edward menunduk—tiba-tiba Jema memeluk perutnya. Menyandarkan kepala di punggungnya. “Kamu kenapa? jangan tiba-tiba berubah. kamu ada masalah?” tanya Jema. “Tidak sama sekali.” Edward berbalik. Mereka saling berpandang. Edward mengusap pipi Jema. “Sepertinya kita tunda dulu kegiatan kita. Aku—” “Kamu mau pergi?” tanya Jema. “Kita.” Edward mengambil tangan Jema. Me
Lampu padam… Dua orang yang berada di dalam kamar itu bingung. “Aku akan coba keluar.” Si pria yang berinisiatif untuk keluar. Menyorot senter di ponsel. Sampai seorang pria juga keluar—mereka saling menyorot cahaya dari ponsel. Dan… “AAAA!” saling berteriak. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Arsen yang baru keuar tapi malah bertemu dengan Edward. Edward menatap bosnya yang hanya menggunakan bathrobe. “Bos…” lirihnya. “Kenapa?” tanya Arsen. “Aku ke sini berama Yerin, kenapa?” Edward mengerjap pelan. “Tapi hotel ini tidak selera anda, sir.” Arsen berkacak pinggang. “Benar, karena hotel ini seleramu.” Arsen menunjuk Edward. “Intinya urusi urusan masing-masing.” Akhirnya lampu kembali menyala. Arsen bersiap kembali ke dalam kamar. “Tunggu, Sir. Sebenarnya saya ingin bertanya.” Edward menoleh ke belakang sebentar sebelum mendekat ke arah Arsen. “Kenapa? kenapa lagi?” sedikit ngegas. Edward mengeluarkan kotak dari saku celananya. “Sebenarnya saya berniat
21++++ “Kenapa kamu begitu murung?” tanya Arsen. Yerin menoleh. “Maaf. Hari ini aku makan mie…” lirihnya. “padahal aku sudah berjanji akan makan makanan yang lebih sehat.” “Tidak masalah.” Arsen mengusap punggung tangan Yerin. “makan apa yang ingin kamu makan.” Yerin menatap suaminya yang sibuk menyetir. “Maaf, gara-gara aku. Aku harus berusaha lebih keras.” “Aku bilang tidak apa-apa, sayang.” Arsen menepikan mobilnya. “Aku tidak masalah…” “Jangan khawatir.” Arsen mengusap pipi Yerin. “Aku tahu kamu ingin sekali punya anak. Aku jadi merasa bersalah.” Arsen menghela nafas pelan. “Aku memang ingin, tapi aku juga tidak ingin menyiksa istriku sendiri.” “Intinya kita berusaha saja semampu kita. Mau kamu hamil atau tidak, aku tetap mencintai kamu.” Yerin mendekat—memeluk suaminya. “Terima kasih.” “Coba kamu pegang yang bawah sayang…” lirih Arsen. Yerin melepaskan pelukannya. “Kita sedang di jalan loh…” “Memangnya kenapa?” tanya Arsen. “Kita cari tempat kalau begitu
“Bukankah ini bagus? kita jadi bisa berkumpul bersama. Apalagi sebentar lagi kita akan lulus dan pergi masing-masing,” ucap Willie. Gwen menyusul setelah les. Les untuk ujian masuk perguruan tinggi. Gwen tidak lolos jalur pertama yaitu lewat Rapot. Jadi, Gwen harus belajar untuk ikut ujian masuk universitas. “Benar.” Vando mengangguk. “Aku tidak sabar melihatmu botak,” ucap Brayson pada Vando. “Aku botak pun masih tampan,” ucap Vando percaya diri. Gwen tertawa. “Kalian tidak tahu kan? Dia memikirkan hal itu berhari-hari. Dia takut wajahnya tidak tampan lagi saat rambutnya dicukur.” “Hahaha…” Ernando tertawa. “Aku juga tidak sabar melihatmu botak.” Vando menghembuskan nafasnya. “Aku tidak bisa membayangkan selama 4 tahun aku seperti itu. Aku juga harus menggunakan seragam ke manapun aku pergi.” Bastian melempar Vando dengan kulit kacang. “Kau itu niat atau tidak jadi polisi?” “Lumayan,” Vando mengangguk. “Aku suka hal-hal menantang. Aku sudah merencanakan ingin masu