Menatap sekitar. Sheril mengernyit—kenapa kak Eve tidak kunjung kembali. “Kenapa mereka tidak kunjung kembali? Mereka baik-baik saja?” tanyanya pada Brayson. Brayson menoleh—bangku Eve dan Bastian yang kosong. “Biarkan saja. Mereka pasti…” Brayson mengernyit. Tentu saja tahu apa yang dilakukan mereka berdua. “Mereka pasti baik-baik saja.” Brayson mengangguk meyakinkan pada Sheril. “Tadi kak Eve terlihat pusing. Aku hanya takut dia tiba-tiba sakit atau pingsan?” “Dia pasti baik-baik saja,” balas Brayson. “Kalau Eve sedang bersama Bastian, kau tidak perlu menghawatirkannya. Bastian adalah orang yang paling mengerti Eve.”Brayson mengambil gelas—mengisinya dengan alkohol. “Mau minum lagi?” tawarnya pada Sheril. “Tidak!” Sheril menggeleng. “Aku tadi sudah minum banyak.” Brayson mengerjap. awalnya ingin minum bersama tapi karena Sheril menolak ia juga tidak jadi minum. Melihat gerak gerik Sheril yang canggung. Mengusap lengan pelan. mengembungkan pipinya dan mengurucutkan bibirn
21++ Mengambil pengaman yang berada di nakas. Segera memasangnya pada miliknya yang sudah tidak sabar masuk ke dalam milik wanita. Wanita yang saat ini tidak beradaya di bawahnya. Eve meneguk ludahnya kasar saat Bastian tengah memastikan pengaman itu terpasang dengan sempurna. “Bukankah kau suka ini?” Bastian mengambil tangan Eve. mengarahkan pada perutnya yang memiliki pahatan sempurna. Meski sedang kacau dan kesal. Tetap saja, tubuh Bastian di hadapannya. Tidak bisa diacuhkan begitu saja. Tubuh pria itu menggoda, seksi dan terbentuk dengan sempurna. Bagaimana bisa Eve tidak memandanginya apalagi tidak menyentuhnya. Jemari lentiknya menyentuh perut pria itu. “fuck me,” ucap Eve tidak sabar. Bastian menunduk—memangut bibir Eve. Dengan penyatuan mereka yang dimulai. “Ahh!” Eve memejamkan mata—mengalunkan tangannya di punggung pria itu. Goresan-goresan di punggung Bastian masih terlihat dengan jelas. Semua jejak di tubuh Bastian tentu saja berasal dari jemar
Menarik dagu Eve ke atas. Memberikan kecupan lembut dan berubah menjadi ciuman yang intens. Eve mendongak—ciuman ini membakar dirinya. Alkohol yang sebagain mengendalikan dirinya. Mengalunkan tangannya di leher Bastian. Membalas setiap ciuman pria itu di bibirnya. Tidak ada penolakan ataupun tamparan agar pria ini pergi dari hadapannya. Justru gairah yang sedang terpacu ini membuat tubuh mereka semakin menempel. Bastian menarik pinggang Eve. “Kau masih berpikir aku harus pergi?” tanyanya ketika pangutan mereka terlepas. Bastian menyatukan dahi mereka. Matanya yang tajam menatap Eve. Eve yang semula menunduk tidak berani bertatapan dengan pria itu, perlahan mendongak. “Tidak.” Eve mengusap helaian rambut Bastian pelan. Lalu, ia mencium bibir pria itu lebih dulu. Tangannya menarik kerah leher Bastian. “Jangan pergi.” mencengkramnya sangat kuat. “Kau mencekikku, Eve—” Bastian menarik tangan Eve terlepas dari kerah lehernya. “Kau marah padaku?” “Ya.” Eve meng
Eve pergi ke kamar mandi. Duduk di dalam toilet—menyugar rambutnya. Menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Sampai terdengar hisakan kecil yang keluar dari bibirnya. Air matanya mulai turun. membasahi pipinya yang memerah—bibirnya bergetar. Namun tidak sanggup mengeluarkan kata. Suara isakannya tertahan—sekuat tenaga berusaha agar tidak mengeluarkan suara. Brak! Pintu yang dibuka secara paksa. “Apa yang kau lakukan?” Bastian menatap Eve yang duduk di atas toilet. Eve membuka telapak tangannya—mendongak. Dengan wajah yang sudah basah. Make up yang luntur. “Eve,” panggil Bastian. “Ayo pulang.” Eve bangkit—menepis tangan Bastian yang berusaha menarik tangannya. Berjalan keluar dari toilet dalam diam—mengacuhkan Bastian yang berada di hadapannya. “Eve!” panggil Bastian lebih keras. Kali ini Eve berhenti. Bukan karena panggilan pria itu, melainkan pintu toilet yang tidak bisa dibuka. Terkunci, pasti pria itu yang menguncinya. Terpaksa Eve berhenti dan memutar
Akhirnya perkelahian itu berhenti juga. Bastian menarik pinggang Eve. Monika tertawa remeh melihat Eve dan Bastian. “Kalian…” lirihnya. Bastian menoleh ke belakang. “Bawa dia keluar!” perintahnya pada security. Monika belum sempat berbicara tapi tubuhnya sudah lebih dulu ditarik oleh dua security klub. “Kalian sampah!” teriak Monika sebelum benar-benar keluar dari klub. “Dok—kak Eve baik-baik saja?” tanya Sheril dengan rambut berantakan. awut-awutan seperti terkena badai. Eve pun dengan keadaan yang sama. Rambutnya pun seperti terkena kibasan angin putting beliung. “Tidak masalah!” Eve tertawa pelan. “Lihat dirimu sendiri.” mengusap kepalanya sendiri. Rasa pusingnya berangsur menghilang meski rasa sakitnya masih terasa. Pasti rambutnya rontok akibat tarikan dari Monika. “Kau seperti singa!” Meta menatap Sheril. “Apa seburuk itu?” Sheril berusaha menata rambutnya lagi. Eve melepaskan rangkulan dari tangan Bastian. Mendekati Meta dan Sheril merangkul mereka
“Jaga ucapanmu!” Eve memotong ucapan Monika. Tidak ada yang menghalanginya untuk membantah ataupun bersikap tidak sopan pada wanita ini. Lagipula ia tidak akan bertemu dengan wanita ini. Apalagi ibu Monika yang bekerja di rumah sakit. “Yang aku katakan adalah kenyataan, kenapa dokter marah?” heran Monika yang kesal. “Kau hanya asal bicara. Kau tidak tahu apapun.” Eve mengernyit—sungguh menguras tenaganya harus berhadapan dengan manusia seperti ini. “hah!” Monika tertawa sumbang. “Lebih baik kau pergi ke rumah sakit, menunggu adikmu yang sedang sekarat itu—” “Cukup!” Eve mengepalkan kedua tangannya. “Apapun yang aku lakukan tidak ada urusannya denganmu.” Perdebatan mereka cukup menarik beberapa pasang mata yang ada di sana. Tidak semuanya, mungkin juga karena musik di sini berdentum sangat keras. Sehingga suara mereka bisa teredam oleh musik. “Pergi dari sini,” Eve masih melihat antiran yang banyak. Tidak tahu apa saja yang dilakukan orang lain di dalam kamar mand